Cerpen Keluarga : Malam Tumbuh Dewasa Gadis
Ibuku
Aku tak beranjak dari rasa marahku pada ibuku.
Disaksikan kursi sekeliling taman dan gelapnya malam yang mencekam. Aku sengaja
keluar malam ini untuk tenangkan diri setelah adu mulut dengan ibuku. Rasa
jenuh yang begitu mencekam setelah selama ini harus turuti larangan ibu.
Bayangkan saja selama ini aku tak mengenal siapa diriku, tak
mengenal teman-temanku, lingkunganku, dan mereka yang sebenarnya di
sekelilingku. Selama ini aku harus berurusan dengan pelajaran di sekolah atau
pun cerita fiksi dari buku atau pun film yang sudah diatur oleh ibuku.
Jangankan keluar rumah, berdiri di depan pagar rumah saja aku sudah dicegah.
Segalanya sudah disediakan di rumah. Makanan yang sudah siap di meja, atau pun
seekor kucing yang dia tempatkan sebagai teman berceritaku. Aku sulit
menafsirkan mengapa dia berikan aku seekor kucing untuk bercerita yang
jelas-jelas tak mungkin baginya mengerti maksudku. Apa oleh ibuku aku hanya
seekor kucing yang selalu menurut untuk dipelihara.
Sebelumnya aku disekolahkan di tempat yang elit.
Hanya lingkungan mereka, keluarga berkelas yang aku kenal. Pergi dan pulang
bersama orang suruhan ibuku. Seorang lelaki separuh baya sengaja mengantarkan
aku ke sekolah, seolah aku seperti putri tidur yang tak bisa apa-apa. Aku
seperti dipaksa pulang lalu berdiam di rumah dan seolah tak tahu apa-apa di
sekelilingku. Mustahil bagiku untuk berani pergi, melepaskan diri dari sergapan
si suruhan ibuku.
"Apa Bapak punya anak gadis?"
Tanyaku pada bayaran ibuku.
"Iya punya Neng. Seusia Neng. Emang
kenapa?"
"Apa Bapak tega jika anaknya dijadikan
seperti hewan peliharaan? Apakah Bapak senang?"
"Maaksudnya Neng?" Pikirnya sambil menggaruk kepala.
"Ya nggak Neng. Anak kan manusia bukan hewan. Anak adalah titipan
Neng." Lanjutnya kembali.
"Itulah Bapak. Omong kosong." Marahku tiba-tiba.
"Lho?" Tanyanya pelan bingung.
"Selama ini aku hewan peliharaan itu. Ibuku pemiliknya
dimana Bapak adalah pawangnya. Yang mengaturku atas perintah ibuku."
Jelasku setengah marah.
Sejak pernyataanku yang terlontar saat itu,
bapak satu anak ini seakan tak enak hati kepadaku. Mungkin tak sepantasnya aku
bicara demikian terhadapnya karena bagaimana pun ini bukan salahnya. Hanya
salah ibuku yang menempatkan posisinya sebagai seorang diktator ulung.
Aku selama ini ditempatkan dalam sebuah kurungan
besi berisi emas. Sebuah ikatan penuh kemewahan tanpa ada kemungkinan pergi
dari kurungan itu. Tetapi bagaimana pun aku hanyalah manusia. Manusia yang
sudah pasti akan merasa jenuh karena sifat kodratinya.
Ibuku sibuk mencari materi lalu ia berikan materi
itu terhadapku. Seolah aku hanya seorang patung yang hanya berdiam diri seakan
merasa menerima. Saking sibuknya mungkin ia tak tahu bahwa aku telah tumbuh
dewasa. Bukan lagi menjadi aku seperti yang dulu ketika masih mudah diatur
sana-sini. Aku memaklumi itu mengingat posisinya sebagai seorang single parents. Tetapi aku harus melampiaskan hidupku
sebenarnya. Menjadi aku sebebas-bebasnya ketika aku lepas dari dekapan ibu dan
bapak bayarannya.
Bahkan saking tidak sadarnya ibuku terhadapku
yang telah tumbuh dewasa aku pernah kena marah. Ketika teman laki-lakiku kuajak
ke rumahku, dia begitu marahnya. Dan menerkam anak orang itu saja. Mudah bagiku
memahami karakter ibuku yang begitu takut kehilangan anak tunggalnya.
“Kamu Nak! Mau pergi kemana?” tanya ibuku
dengan mata memerah.
“Sudah sering aku katakan Bu. Apa masih kurang
jelas.” Jawabkan berpaling muka.
“Di mana pun Kamu bisa belajar. Tak perlu
jauh-jauh.” Seru ibuku.
“Tapi aku ingin seperti yang lain. Merasakan
lepas dari orang tua. Pergi mencari ilmu. Hidup di rumah orang. Lalu tahu
bagaimana hidup dengan teman-teman seusiaku.” Terangku panjang lebar.
Hingga malam ini ketika emosiku memuncak
setelah mendengar larangannya untukku melanjutkan ke perguruan tinggi. Ibuku
melarangku tanpa alasan. Memang benar. Untuk keluar rumah saja sudah repot,
apalagi harus keluar kota. Entah itu disebabkan egonya yang tinggi atau pun
rasa khawatirnya takut kehilangan aku. Ketegangan itu berlangsung memuncak
hingga aku memutuskan saja untuk pergi dari rumah menenangkan diri. Berharap
agar ibuku bisa berpikir lebih panjang.
"Rasti!" Seseorang memelukku dari arah belakang sambil
menyebut namaku secara pelan. Pelukan itu terasa khas. Aku pun menikmati
kehangatan itu seakan seseorang sudah lama tak aku jumpai. Ia melangkah dan ikut
duduk di sampingku. Bibirnya tersenyum mendamaikan suasana. Ia menganggup dan
mata sayunya seakan ikut tersenyum. Ia kembali merangkulku secara hangat dari
arah depan.
Aku tak mampu membendung rasa haru itu. Air
mata mengalir deras dari kedua bola mataku. Sudah rindu aku merasakan kenangan
semacam ini.
"Ibu, maafin putrimu." Aku pun
terucap di sela-sela aku menghela nafas. Rupanya rasa haru itu menyusahkan
untukku bernapas.
"Iya. Ibu juga minta maaf. Ibu tak sadar
bahwa selama ini putri ibu telah tumbuh dewasa dan harus meninggalkan
ibu." Bisiknya pelan karena harus beriringan dengan tangisnya yang tulus.
"Tidak Bu. Aku nggak akan kemana-mana.
Aku akan selalu bersama Ibu. Maafin aku jika selama ini cara pikirku masih juga
belum tumbuh dewasa. Selalu membuat Ibu khawatir dan takut jika harus
kehilangan aku." Kami pun masih berpelukan mengabaikan dinginnya malam
kala itu. Kami malas untuk beranjak dari tempat duduk itu. Hangat pelukan ibu
membuat dinginnya malam musim kemarau terasa hilang.
Aku memaklumi jika ibu terlalu merasa
ketakutan jika harus kehilangan aku. Meskipun aku hanya anak angkat tetapi tak
ingin baginya harus kehilangan seorang anak perempuan seperti dulu. Iya waktu
itu anak kandung Ibu baru seusiaku. Ketika anaknya mulai beranjak dewasa ia harus
kehilangan anaknya. Bagi Tuhan, ibuku ini sudah cukup membesarkan anaknya hanya
sampai remaja. Tidak menyaksikan anaknya tumbuh dewasa.
Tepatnya ketika Ibuku bercerai dengan
suaminya. Anaknya yang selama ini lebih dekat dengan ibunya justru lebih memilih
hidup dengan ayahnya. Hanya karena gara-gara rasa marahnya terhadap ibunya yang
melarangnya pacaran. Anaknya pergi dan memilih hidup bersama ayahnya.
Sudah 19 tahun tiada kabar. Apakah anak dan
bekas suaminya itu masih hidup atau sudah mendahuluinya menghadap Sang Kuasa.
Jika masih hidup ia juga tak tahu bagaimana kabarnya dan dimana tempat
tinggalnya.
Mungkin jika ia masih bersama putrinya, ia
sudah mempunyai cucu. Membesarkan hingga putrinya tumbuh dewasa. Menyaksikan
anaknya lulus menjadi sarjana dan dipinang oleh menantunya. Ia terbuka dan mau
bercerita tentang itu kepadaku ketika malam ulang tahunku yang ke 17.
Ibuku menganggapku seperti anaknya sendiri. Ia
menyayangiku dan membesarkan aku setulus hatinya. Ia seperti malaikat suruhan
Tuhan untuk mendampingiku. Tak mungkin bagiku meninggalkannya setelah apa yang
diberikan kepadaku. Sebuah kasih sayang dan segalanya yang ia hadiahkan
kepadaku. Belum aku membahagiakannya sebagai balasannya, sudah saja aku
menyakitinya.
Mungkin di sini memang kotaku. Aku tak akan
meninggalkan Ibu. Hidup bersamanya di masa-masa tuanya. Biarkan giliranku yang
merawatkunya. Lagi pula di sini masih banyak perguruan tinggi yang bagus. Aku
berjanji akan tumbuh lebih dewasa. Tidak hanya tubuhku yang semakin tinggi dan
besar tetapi bagaimana aku memaknai hidup. Tetapi aku mohon izinkan aku maknai
hidupku sendiri. Biarkan aku menggapai mimpi bersama ibuku. Malam ini menjadi
saksi tumbuhnya dewasa gadis ibuku. Menjadi seseorang yang tidak hanya tumbuh
dewasa fisiknya, tetapi juga pikirannya. Menjadi seseorang yang semakin sayang
terhadap ibunya.
TAMAT
Hastag =
Contoh Cerpen Bahasa Indonesia
Cerpen Remaja
Cerpen Keluarga
Cerpen Kasih Sayang
Tidak ada komentar:
Posting Komentar