Monsternya Bebebku Part 2
Hari itu Eki dan Yusuf sengaja makan bersama di sebuah restoran
yang memang agak menguras kantong mereka. Maklum hari ini Yusuf sedang melunasi
nazarnya untuk ngajak Eki makan di tempat yang mahal jika ia menang kuis bola
di Indosiar. Namun acara makan berdua saja tinggal rencana, Yusuf yang
cerewetnya bukan main tentunya punya teman yang lebih cerewet juga. Dia bernama
Radit dan ada orangnya di restoran tempat mereka bertemu. Bagaikan tamu yang
tak diundang namun ada saja bahan obrolan untuknya dengan Yusuf. Eki yang sama
sekali tak mengenal siapa manusia doyan cuap-cuap ini bahkan tak sekali pun ia
ditegur sapa. Radit tak sama sekali mengajaknya bicara bahkan tanya namanya. Ia
hanya pesan makanan dan langsung bicara dengan Yusuf tentang bola, otomotif,
jaman mereka SD sampai SMA, sampai gosip selebriti cantik terupdate idola
mereka. Eki pun jadi BT sendiri. Ingin baginya membungkam mulut satu pria ini
dan menyuruhnya untuk tidak minta bayaran makanan ke pacarnya lalu pergi. Yusuf
pun yang memang sangat akrab dengan Radit begitu saja menjadikan Eki seperti
kambing congek.
Akhirnya Eki yang sudah lama termenung dan terkagum karena
ternyata ada manusia tipe seperti ini pun memberanikan untuk angkat bicara,
“Mas-mas aku gantian ngomong boleh?” tanya Eki ke Radit sambil mencoleknya.
“Oh ya boleh dong Mbak. Mau ngomong apa?” tanya Radit sambil
menghadap muka Eki. “Oh Mbaknya pacarnya Yusuf ya Mbak? Sering lhoh Yusuf
cerita tentang Mbak dan ternyata teman saya ini emang jarang bohong karena Mbak
nggak terlalu cantik seperti yang Yusuf ceritakan.” Ucap Radit yang membuat Eki
tertegum dan merasa risih dengan Yusuf. “Oh ya Mbak saya sudah tahu banyak
tentang Mbak dari Yusuf dan profil Mbak di facebook jadi tak perlu Mbak
menceritakan diri Mbak ke saya. Oh ya saya juga sudah jadi temen Mbak di
facebook lhoh. Tapi wajah Mbak nipu nggak kaya di foto facebook yang sedikit
aja cantik, sedikit aja tapi. Santai aja Mbak saya ini teman deketnya Yusuf.
Yang tahu hubungan kalian berdua cukup saya aja....” Radit melanjutkan
obrolannya tentang siapa dirinya ke Eki tanpa memberikan peluang bagi Eki untuk
juga berbicara. Dalam hati Eki berbicara, “Ya Allah nih orang egois banget.
Ngomong mulu, kapan gue ngomong? Temen deketnya boleh ngomong, kok gue enggak?”
Radit ini ternyata teman curhat Yusuf yang memang sudah sedari
kecil mereka bersama mengingat rumah mereka yang tetanggaan. Sedari SD sampai
SMA mereka dalam satu kelas sehingga rasa canggung keduanya tak terlihat. Namun
di bangku kuliah ini mereka tak lagi di kelas yang sama karena Radit memilih
untuk bekerja setelah lulus dari SMA, di sebuah bengkel dekat kosan mereka.
Namun meskipun demikian, suasana persahabatan mereka tetap terbina dalam satu
atap kosan yang sama. Cerewet memang sudah kesan pertama yang menjadi sifat si
Radit ini, namun ternyata selain cerewet manusia ini juga aneh, gretonger, dan
perhatian sampai kelewat menjadi kepo. Sangking cerewetnya dan keponya pria
satu ini, dengan serta merta ia membeberkan ke Eki tentang sifat Yusuf sebenarnya. Dari mulai bagaimana keluarga
Yusuf, kenakalan-kenakalan Yusuf, dan perjalanan karier dan cinta Yusuf sampai
saat ini.
Ada suatu kebanggan dari diri Eki mendengar penjelasan Radit
tentang perjalanan cintanya, “Mbak Yusuf ini tak punya mantan lho selain Mbak.
Eh kok Mbak sih? Mbak ‘kan masih pacar ya hehe.” Eki merasa tersanjung dan
percaya bahwa selama ini Madona bukanlah siapa-siapa baginya. Atau memang Yusuf
menganggap Eki spesial karena pacar pertamanya justru tak begitu saja
diceritakan ke sahabatnya, lain dengan dirinya yang langsung saja Yusuf
ceritakan ke sahabatnya. Yusuf hanya tersipu malu mendengar sahabatnya menghina
dan menyanjung dirinya. Ia hanya tersenyum dan tertawa keras sesekali.
Pertemuan itu bukanlah menjadi pertemuan singkat atau hanya
sampai di situ saja. Bahkan kisah mereka menjadi tiga sahabat dimana di
dalamnya ada kisah cinta, yaitu antara Yusuf dan Eki. Eki yang awalnya agak
risih dengan Radit justru semakin dekat karena sifat keduanya yang sok kenal.
Radit jadi sering tegur sapa dan berkomunikasi dengan Eki. Bahkan kuantitas
bagi Eki untuk berkomunikasi dengan Yusuf hampir sama dengan obrolan bersama
Radit mengingat susahnya memutus pembicaraan dengan Radit. Awalnya Radit dan
Eki hanyalah saling tegur sapa di pesan di facebook namun kian lama mereka
sering berbicara lewat telepon bahkan sengaja bertemu berdua di warung makan
atau kafe. Eki memang sengaja mencari tahu lebih banyak informasi tentang Yusuf
dari Radit dan tak ada maksud lain sedangkan Radit hanya ingin melakukan
kebiasaan lamanya yang memang sering tebar-tebar pesona ke semua orang
sekaligus ngerjain Yusuf dengan menguak rahasianya. Tapi tak satu pun apa yang
diceritakan tentang Yusuf, membuat Eki ilfil atau sakit hati ke Yusuf bahkan
hanya menambah rasa penasarannya sehingga mengharuskannya untuk bertemu kembali
dengan Radit. “Em selain dia menerapkan pola hidup sehat dengan tak merokok
serta mengkonsumsi mie instan dia ini juga ....” ucap Radit yang tak dilanjutkan.
“Bersambung, besok aja ya buat Lo penasaran. Pokoknya ini tentang watak ibu
Yusuf. Hehe.” Lanjut Radit membuat Eki penasaran dan mengajaknya kembali
bertemu. Radit ini memang lihai sekali membuat Eki butuh dengannya dan ingin
bertemu lagi. Namun ternyata seringnya mereka bertemu sama sekali tak diketahui
Yusuf dan akan sangat fatal jika tiba-tiba ia mengetahuinya.
Hari-hari seperti bapak-ibu tukang gosip telah lama Eki dan
Radit kerjakan. Tetapi kali ini Radit lebih segan menelepon Eki lebih dulu,
“Halo Eki apa kabar? Ada berita terbaru buat kamu nih. Tahu nggak kalau hari
ini ibu Yusuf lagi ulang tahun makanya dia lagi bingung mau nyari kado ulang
tahun apa buat ibunya. Paling bentar lagi dia bakal ngajak Lo ke pasar buat
nyari kado ibunya.” Jelas Radit tanpa biarkan Eki ungkapkan apa yang menjadi
unek-unek dalam hatinya. “Thut...thut...thut...”, begitulah bunyi telepon
sehabis percakapan diusaikan. Jelas pendek namun membuat Eki penasaran dan
meneleponnya lagi.
“Eh Lo apaan sih? Gimana, gimana?”
tanya Eki dengan raut penasaran.
“Oh maaf pulsa limited nih. Jadi hari ini ibunya Yusuf ulang tahun. Lo belum
pernah ketemu ibunya ya? Tahu nggak sih ibunya Yusuf tuh galaknya nggak karuan.
Cerewet abis pokoknya. Apalagi kalau sama calon mantu kaya Lo. Ibu baik kaya
dia itu tuh yang wujud luarnya aja yang kaya monster tapi hatinya putri salju. Temen
ceweknya Yusuf aja pernah dilabrak padahal mereka nggak pacaran. Itu tuh si
Madona atau siapa gue lupa. Termasuk gue. Gue juga pernah dimarahin gara-gara
itu tuh dia pergi dari rumah ke neneknya di Solo. Katanya ajakan gue padahal
emang iya. Sampai bentrok keluarga dia ama keluarga gue meskipun akhirnya
baikan lagi. Hehe.” Jelas Radit panjang lebar dengan kecepatan bicara kaya
pesawat luar angkasa dan penuh semangatnya membuat Eki gundah-gelisah.
“Serius Lo?” tanya Eki penasaran.
“Iya lah. Walah kalau dia ngomong
sepatah-dua patah kata hati Lo mengkerut jadi roti tawar jamuran tahu. Apalagi
Lo yang dibilang calon menantu pasti galaknya lebih lagi. Dia ‘kan nggak mau
kalau terjadi apa-apa sama anaknya.” Jelas Radit lagi.
Tiba-tiba suara telepon kembali
berbunyi lain, “thut...thut...thut....” Pertanda pulsa Eki habis. Obrolan yang
suram dan pulsa yang sia-sia karena hanya memberikan fasilitas ngobrol gratis saja
untuk Radit.
Suara ketukan pintu terdengar dan
membuat Eki penasaran. Eki sudah menebak akan kedatangan Yusuf dan memang benar
apa yang sudah menjadi tebakannya. Sontak Yusuf mengajaknya untuk pergi.
“Ke pasar?” tanya Eki penasaran.
“Yo,a.” Jawab Yusuf yang langsung
saja ia pegang tangan Eki dan membawanya pergi.
Baru kali ini kepergian mereka tak
dengan mobil atau motor Yusuf. Cukup dengan kendaraan umum warna kuning mereka
beranjak. Suasana angkot menjadi semakin berisik begitu ada dua manusia ini.
Semua menjadi terdiam dan orang-orang di situ hanya menguping saja apa yang
tengah hot menjadi cerita Eki dan Yusuf.
“Kok ke stasiun si Suf? Emang kita
mau pulang. Besok gue mau ke Jogjanya. Orang duit gue belum abis juga. Nyokab
gue nggak kangen gue, gue juga belum kangen nyokab gue kali!” seru Eki yang
menolak diajak Yusuf ke stasiun.
“Siapa juga yang mau nyuruh Lo
pulang. Kita emang mau ke Jogja tapi ke rumah nyokap gue. Gue mau kenalin Lo ke
nyokab gue. Kalau habis itu Lo mau pulang ke nyokab Lo ya terserah.” Tutur
Yusuf yang sontak membuat Eki tertegun begitu kerasnya.
Eki memang tak menolak hendak diajak
Yusuf menemui orang tuanya. Namun apakah sanggup ia digertak oleh seekor singa
yang lepas dari pedalaman. Apalagi jika mendengar cerita Radit yang meskipun
agak sedikit ngawur dan menurutnya agak kelebihan muatan. Hatinya semakin
berdebar dan merasa canggung dengan Yusuf. Tak ada obrolan dengan Yusuf
melainkan pikirannya yang tergambar seorang wanita dengan bermuram durja tiba-tiba
melotot bermuka merah dan taring di giginya. Ya gambaran ibu Yusuf. Sama-sekali
tak ada persiapan dalam dirinya. Rasa cemasnya sampai dibawa ke dalam mimpi
hingga membangunkan tidur semua orang di dalam gerbong kereta.
“Hati semakin tak tahu hendak
berbuat apa. Aliran darah sejenak berhenti dengan seketika. Detak jantung
begitu kencang dan kerasnya seperti pukulan bedug masjid dekat rumahnya.
Apalagi sesampainya di rumah Yusuf yang dari pagarnya saja sudah berdiri tegak
dan kokoh seperti untuk menjaga singa agar tak bisa keluar dari rumah dan
mencelakakan orang banyak.
“Assalamualaikum!” Yusuf mencium
tangan seorang ibu-ibu dengan rambut keriting lebat hitam sebahu, kacamata
bulat dengan rantainya, lipstik merah merona, make up tebal, dan tipas begitu besarnya.
Nyali Eki menciut memandang ibu-ibu
bermuka kejam seperti ini. Cantik namun sadis persis seperti cerita Radit.
Hatinya mendadak berubah menjadi sebutir pasir begitu memandang alis ibu-ibu
ini yang hitam lebat dan menyambung antara kanan dan kirnya.
“Eki ya? Pacarnya Yusuf? Anak mana? Semester
berapa? Ngambil jurusan apa? Orang tuanya kerja apa? Ipk terakhir berapa?”
Pertanyaan yang bertubi-tubi keluar dari mulut ibu brangas ini tanpa senyum
dalam bibirnya.
“Iya Bu. Saya anak Jogja juga.
Sekarang semester 5 di Ekonomi. Orang tua jualan bisnis online Buk. IPK
terakhir 3 kurang Bu.” Jawab Eki dengan ragu dan tak ada rasa keberanian.
“Oh! Yusuf buatkan minum terus
bantuin Pak Bejo cuci mobil sama cuciin ya koleksi guci saya di kamar nenekmu.
Awas jangan sampai pecah jumlahnya ratusan lhoh.” Perintah ibu ini ke Yusuf.
Seperti tak bernurani, ibu ini
langsung memberikan setumpuk tugas untuk seorang anak laki-laki yang baru saja
keletihan dari perjalanan jauh. Susah sekali bagi Eki menelan air liurnya dan
tertegun melihat kesadisan seorang ibu yang katanya sayang terhadap anaknya. Ia
tak tahu harus berbuat apa, jika dengan anak kandungnya saja ia sudah berbuat
seperti itu apalagi dengannya. Ibu itu langsung melanjutkan obrolan yang
panjang lebar dengan segudang pertanyaan yang memojokkan Eki. Sudah seperti
suasana sidang Eki disodori seratus pertanyaan dengan setiap pertanyaan
membutuhkan jawaban panjang lebar. Dari mulai bakat dan riwayat organisasi
menjadi salah satu pertanyaan yang harus ia jawab. Bahkan satu gelas sirup
jeruk yang dibuat Yusuf akan sangat kurang untuk membasahi tenggorokannya dalam
menjawab pertanyaan yang bertubi-tubi. Ini benar bahwa ibu ini seperti monster
yang siap menerkamnya. Eki hanya berpikir bagaimana bisa Yusuf hidup dengan
seorang ibu seperti ini sedangkan dia yang berbincang-bincang selama dua jam
saja keringatnya sudah panas dingin. Dengan satu pernyataan tegas dan sindiran
yang menghina ini sudah saja membuat Eki sakit hati. Jika Eki diizinkan ingin
saja baginya berteriak dan memanggil nama Yusuf yang memang sedang menjalankan
tugas.
Ini sudah penyiksaan secara halus,
ia harus dijejali dengan setumpuk pertanyaan, pernyataan, dan sindiran yang
tajam tanpa diberi makan siang hingga pukul telah menunjukkan pukul 14.00.
Sudah tiga jam mereka berdua terlibat percakapan sengit.
“Gimana nih asyik banget
ngobrolnya?” tanya Yusuf yang tiba-tiba datang dengan muka kusamnya.
“Asyik mbakmu,” balas Eki dalam hati
dengan cukup tersenyum terhadapnya.
“Udah Suf,” seru Ibu dengan
memandang wajah Yusuf begitu dalamnya. “Pacarmu ini lho, nggak mutu,” sindirnya
tanpa senyum sedikit pun lalu pegi hendak menengok guci-gucinya.
“Udah bersihin gucinya?” tanya Eki
dengan wajah merah.
“Orang tinggal sedikit kok.
Dibantuin Pak Bejo juga jadi lumayan. Gimana ngobrol sama Budhe Mira?”
“Budhe? Itu budhemu bukan Ibumu?”
Tanya Eki penasaran agak sedikit lega.
“Oh itu Budhe gue. Orangnya sedikit
galak dan emang agak sadis juga sih. Tapi baik kok. Gue kasihan ama dia makanya
gue mau aja disuruh-suruh ama dia. Dia habis dari Solo. Di sini paling
seminggu. Udah nggak punya anak ama suami gara-gara kecelakaan. Semenjak itu
dia jadi amnesia makanya sifatnya jadi angker gitu. Kalau nyokab gue tuh baru
aja pulang tapi lewat belakang begitu tahu ada tamu. Yuk gue kenalin!” Ajak
Yusuf dengan menyeret saja tangan Eki.
Belum lama ia melegakan apa yang
mengusiknya namun ia diharuskan menemui orang yang memang benar-benar ia takuti
saat ini. Ujian terbesar selanjutnya membuat nyalinya hilang dan tak tahu harus
berbuat apa. Jika boleh ingin baginya untuk pamit dari rumah penuh pertanyaan
ini.
Begitu bertemu dengan ibunya, sangat kejutan baginya jika
ternyata seperti ini wujud asli ibu Yusuf. Sangat berbeda dengan Yusuf yang
banyak bicara dan ceria. Ibu yusuf sangat pendiam dan tak satu patah pun keluar
dari mulutnya kecuali “Iya” dan “tidak”. Eki yang tak mau suasana ini menjadi
garing dan krik-krik terus saja memutar otaknya untuk mengajaknya bicara
meskipun gagal dan masih iya dan tidak yang keluar dari mulut ibu Yusuf.
Suasana canggung masih mewarnai atmosfir di sana. Eki bingung harus mengarahkan
pembicaraan kemana sedangkan Yusuf malah pergi dan sibuk dengan kucingnya di
sana. Jangankan bicara, ibu Yusuf pun enggan menatap bola mata Eki. Eki malah
bingung bagaimana perasaan ibu ini terhadapnya. Apakah suka atau kecewa atau
malah menjadi suatu perkenalan yang mengharukan. “Yuk kita ngobrol dalam hati
Bu!” pintanya dalam hati namun tak disampaikan dalam nyata. Bagaimana bisa
waktu dua jam hanya ada cerita dalam hati dan tak sepatah pun kalimat keluar
dari mulut ibu ini. Sangat berbeda dengan apa yang dibilang Yusuf bahwa ibunya
sangat ramah atau menurut Radit yang bilang bahwa ibu Radit seperti monster.
Yang ada ini seperti ratunya monster yang hanya cukup diam saja semua
monster-monster anak buahnya langsung paham apa yang menjadi maunya.
Eki menjadi putus asa dan diam untuk beberapa menit. Dia ingin
bicara tentang bola tapi apa calon mertuanya itu akan paham dan mengerti apa
yang dibicarakan.
“Em ibu tahu tentang sepak bola tidak?” tanya Eki basa-basi.
“Eki, gini ya....” Tanggap ibu Yusuf yang cukup membuat Eki
senang karena tak lagi kata-kata monoton yang keluar dari mulutnya. “Eki, gini
ya kamu bisa diam nggak? Dari tadi saya tak senang kamu ngomong apa. Soalnya
saya memang tak tertarik dengan pembicaraan kamu. Saya juga lagi pusing semua
harga sembako naik jadi saya lagi pusing bagaimana saya harus mengatur biaya
bahan baku di restoran saya. Saya kirain kamu anak ekonomi pembicaannya akan
mengarah ke situ tapi ternyata hampir 2 jam saya tunggu belum juga kamu
mengarah ke situ.” Seru ibu Yusuf yang dengan sikap lemah lembutnya
mengungkapkan isi hatinya.
Memang benar apa yang menjadi pikiran Eki. Ini dia biangnya
monster. Diam-diam menghanyutkan. Tak perlu banyak jurus untuk matikan lawan.
Satu tembakan saja lawan sudah mati kutu tak berkutik.
Tak beberapa lama secuil kalimat yang keluar dari ibu Yusud,
Yusuf datang dan menghampiri kedua orang ini. Eki sudah sangat lega jadi ia tak
sendiri lagi terlihat kikuk di situ. Menurut dugaan Eki memang benar bahwa
sebenarnya ibu Yusuf ini orangnya ceria karena begitu ada Yusuf sontak saja ia
mendadak banyak bicara. Mungkin ia hanya canggung saja jika dihadapkan pada
orang yang belum pernah sekali pun ia temui.
Pertemuan yang sangat tak membuat Eki nyaman. Eki ingin marah
dengan Yusuf namun tak mungkin baginya karena Yusuf terlihat ceria dan seperti
tah tahu bagaimana perasaannya yang remuk tak berbentuk begitu menghadapi sikap
keluarganya. Baginya mungkin ini yang disebut kasih sayang keluarga terhadap
anak tunggal. Yusuf seperti senang bukan kepalang begitu mengetahui bahwa
seperti tak ada konflik antara Eki dengan ibunya.
Hingga keesokan harinya. Waktu menunjukkan pukul 07.00 berlatar
di kamar Eki di kediaman orang tua kandungnya. Eki terus memikirkan pertemuan konyolnya
di rumah Yusuf. Ingin baginya memutar waktu agar semua itu tak terjadi
demikian. Terdengar dering handphone Eki yang di layarnya bertuliskan Yusuf.
“Maafin aku jika kali ini aku nggak pake istilah gue dan lo lagi
melainkan aku dan kamu. Mungkin ini adalah pembicaan kita terakhir di saat kita
berstatus pacaran. Ibuku menyuruh buat aku melupakan semua tentangmu. Usia kita
masih muda dan menurut silsilah keluargaku. Anak-anaknya harus segera menikah
jika ia sudah berani pacaran, karena keluargaku nggak ingin mengarah ke hal
keburukan. Kamu tahu ‘kan aku masih ingin mengejar masa depanku. Aku masih
ingin selesai kuliah S1, kemudian mengejar cita-citaku S2, dan mengejar S3 ku.
Kalau kamu masih ingin lanjut maukah kamu menungguku hingga hari suksesku nanti.
Aku S1, S2, dan S3 dua kali untuk sarjana mesin dan sarjana komunikasi karena
dua bidang itu yang aku suka. Setelah itu aku ingin kerja selama lima tahun
untuk membahagiakan orang tuaku. Aku nggak ingin menikah sebelum sukses. Lagi pula
maafkan aku, kata orang tuaku, membawamu adalah suatu penyesalan karena kamu
nggak masuk kriteria standar menantu ibuku. Terimakasih sudah menjadi teman
cowokku yang mau berdebat tentang bola. Aku nggak mau kamu menunggu begitu
lama. Jadi lebih baik kita putus aja.” Bunyi pesan singkat yang ternyata
panjang juga rupanya.
Eki tak bisa berbuat apa. Jika itu memang sudah mau Yusuf dia
sanggup saja menjalaninya. Lagi pula jika ia sudah tak bersama Yusuf takkan ada
lagi monster bebebku untuk kesekian kalinya kecuali kesalahan teknis.
TAMAT
Tag = #Cerpen Remaja #Cerpen Cinta #Cerpen Bahasa Indonesia
#Cerita Pendek #Cerita Bersambung #Cerbung Remaja #Cerbung Cinta #Cerbung
Bahasa Indonesia
Tidak ada komentar:
Posting Komentar