SURGA TERBENGKALAI
Masih saja kupandangi indahnya alam
yang menyapa. Tak ingin aku segera beranjak dari sini. Biru di atas sana tanpa
ada asap kelabu yang merisau. Burung-burung berterbangan dengan gembiranya
bersiul menyapaku yang tengah berdiri dengan santainya. Hidungku semakin
dimanja menghirup sejuknya udara pagi. Bibir tersenyum berbahagia dan penuh
bangga memandang alam di desaku. Hijau desaku yang subur, indah, dan permai.
Para petani tengah sibuk dengan sawahnya yang penuh padi yang begitu hijaunya
tanaman ini. Tegur sapa muncul di raut mereka terhadapku. Kubalas mereka dengan
lambaian tangan penuh anggunnya.
Ayahku datang mendekatiku dan
memukul pundakku secara halus. Ia sangat bahagia mendapat julukan juragan padi.
Sawah terbesar dengan suburnya tanah di sana telah dimiliki ayahku. Ia sudah tua
namun tak gentar mengelola sebidang tanah seluas ini. Untung ada dua anak muda
yang setia membantunya dengan upah sewajarnya. Ada gazebo di ujung sana menjadi
saksi keletihan ayah mengelola padi. Itu akan terbayar di saat musim panen
tiba.
“Andai tidak ayah jual kala itu
mungkin tidak menjadi seperti ini.”
“Namun aku hanya ingin kalian masih
hidup. Biarkan penguasa itu bahagia. Kita yang menderita sudah cukup senang
dengan utuhnya keluarga kita.”
“Tapi ayah egois. Ayah hanya
memikirkan nasib keluarga ayah saja. Bagaimana dengan nasib alam kita?”
“Mereka mengancam akan membunuh kita
semua. Maka aku serahkan saja tanah ini dengan harga murah. Kaki Pak Bani yang
tinggal satu juga karena ulah mereka. Mereka nekat Nak. Ayah tak tahu jika itu
terjadi padamu.”
“Mengapa harus aku?”
“Iya. Mereka akan menyiksa semua
orang yang menghalangi niat mereka. Termasuk aku dan anak-anakku. Jika tanah
ini tetap tak kuberikan ke mereka mungkin kita akan jauh lebih menderita dari
Pak Bani dan tetap saja tanah ini jadi milik mereka.”
“Tapi ayah semudah itu menyerahkan
tanah ini ke mereka tanpa berpikir panjang bagaimana nasib anak cucu kita?”
“Sudahlah Nak kau belum pernah
berada di posisi ayah saat itu. Kau masih kecil dan belum tahu bagaimana rasa
cinta kepada keluarga.”
Ah sudahlah perdebatan yang tak
berguna. Lagi pula semuanya sudah terlambat. Alam yang menyelimuti kecilku dulu
telah tiada. Itu sangat berbeda saat kutengok saat ini. Tak ada lagi tanaman
hijau itu. Tanah sudah rata dengan bekas bangunan. Mereka yang seharusnya
menanggung resiko justru mereka serahkan ke buruh-buruhnya.
Ketika dulu para petani diteror
siang dan malam agar mau menyerahkan tanah mereka ke investor, ayahku sama
sekali tak gentar. Padahal ia menjadi panutan warga karena luas tanahnya yang
berkali-kali lipat dari pada yang lain. Jika ia akan jual tanahnya, semua warga
juga akan jual tanahnya. Begitu juga ketika ayahku bersikeras tak akan jual
tanahnya maka semua warga pun begitu. Tapi semua itu berubah ketika ancamannya
benar-benar terjadi. Ancaman untuk menyakiti para petani. Semakin melonjak ulah
penguasa itu. Uang telah menghapus nurani mereka. Warga semakin goyah dan tak
tahan dengan siksaan para teroris itu. Kaki seorang sahabat karib telah mereka
renggut. Dan ayahku tak ingin anak-anaknya menerima imbasnya. Terlebih ketika
aku, Aryani, dan Sandra sudah sering mereka beri uang dan makanan. Awalnya, aku
tak percaya bahwa orang dari kota itu begitu kejamnya. Tapi ayahku tidak, ia
selalu khawatir anak-anaknya akan diracun.
Ayahku menyerah dan menerima uang
yang tak sebanding dengan luas tanahnya. Berat sebenarnya tapi uang memang
seperti raja dan mengalahkan mereka yang hina. Hijau padi yang menghiasi luas
tanah yang berhektar-hektar mereka ganti dengan pabrik yang begitu megahnya.
Polusi telah menyelimuti atmosfer kami. Bising suara mesin giling memecahkan
gendang telinga kami dan tak tahan kami mendengarnya. Pernapasan kami semakin
sesak dan kasihan anak-anak kecil di desa kami. Warga sini semakin tak leluasa
menetap di sana. Satu per satu pergi dan tak ingin menetap di desa industri
ini. Pekerja yang seharusnya adalah warga kami, mereka ganti dengan orang luar
sana yang lebih berpendidikan.
Akhirnya desa kami sesak dengan
rakyat pendatang yang mencari penghasilan. Aku dan keluargaku memutuskan
meninggalkan saja tempat lahir kami. Lagi pula kami sudah tak berhak dan tak
punya apa-apa. Biarkan mereka yang bahagia dan menikmati usaha kerasnya. Kemajuan
jaman sudah kita alami dan mungkin sangat ketilnggalan jika desa kami masih
saja bertani. Jika saja mereka tahu betapa besar kami bergantung terhadap luas
tanah itu hingga setiap bulan kami menanti. Sabar kami tiada hasil dan mungkin
hidup di lingkungan lain bisa saja memberi kesempatan kami untuk bertanam.
Ingin aku mengenang masa lalu dengan
bernostalgia dengan lingkungan kecilku. Bukan hanya indahnya desa cocok tanam
yang tidak kujumpai, bahkan megahnya bangunan pabrik tidak juga kujumpai. Tanah
yang meluas dengan asrinya telah berubah menjadi negeri industri, namun aku
tinggal menuju dewasa rupanya juga telah berubah menjadi hamparan yang meluas
dengan puing-puing bekas bangunan. Api telah meluluh-lantakkan bangunan ini.
Mungkin ini sebagai teguran dari Tuhan setelah apa yang mereka lakukan terhadap
kami. Mereka rebut tanah kami secara paksa, sekarang mereka berikan saja usaha
mereka ke Tuhan. Buruh pabrik harus menerima akibatnya. Banyak yang sibuk
menjalani tugas ketika api itu menghabiskan bangunan dan seisinya. Investor merugi
bertrilyun-trilyun dan tak tahu mau kemana mencari gantinya. Mereka yang sabar
bisa saja menerima dengan lapang dada tetapi ada juga mereka yang memilih mengakhiri
hidupnya dengan tangan mereka sendiri. Sudah lupa dengan siapa yang memberi
mereka nyawa. Mungkin mereka sudah cukup pusing karena menghitung gepokan uang
di brankasnya selama ini.
Masa lalu susah untuk diulang. Surga
telah mereka renggut dan dirusaknya tanpa bisa mereka kembalikan seperti
semula. Alam marah karena ulah manusia yang membuatnya terbengkalai. Hidup itu
akan seperti ini jika manusianya masih serakah dan tak ada lagi tepa selira
dengan alam. Uang yang terbuat dari logam atau kertas seakan membuat mereka lupa
dan ingin terus berbuat lebih. Itulah sifat manusia.
TAMAT
Tag = #CerpenAlam #CerpenBahasaIndonesia #CerpenNasihat
Tidak ada komentar:
Posting Komentar