Pengikut Hidupnya
Sudah geram aku sebenarnya memandang wanita tua itu dengan
gerak-geriknya yang cenderung sama kesehariannya. Tangannya ada bekas luka
karena menghapus tato bertuliskan nama seseorang. Terus saja ia tersenyum
dengan sorotan mata menuju sebuah foto seorang wanita dengan raut muka masih
muda. Sudah kusam potret wanita itu namun tak jemu-jemu baginya memujanya. Kasihan
aku menatapnya. Jika saja dulu ia menunggu sabar wanita itu mungkin tak jadi
begini seharusnya. Ia mungkin tak jadi pergi ke luar negeri. Ia akan menjadi
guru dan tak menjadi orang jalanan di negeri Paman Sam sana. Ia tak harus gila
dan suka tersenyum atau menangis tanpa ada yang membuat salah. Dia sudah tua
namun masih saja dibuat cemoohan anak-anak kecil. Tetap kuingatkan dia untuk
memakan obatnya yang sudah menjadi kebiasaan. Aku tahu itu tak enak namun itu
lebih baik dibanding ia harus masuk rumah sakit kejiwaan lagi.
Ia dulunya berangan memberikan pendidikan ke anak-anak sekolah
dasar sehingga menjadi awal pertemuanya dengan Wina. Ada sebuah cinta yang mereka
bina di sebuah bangku perguruan tinggi. Namun mereka tak tahu jika harus
beralih menjadi sebuah jalan cerita yang tak menyenangkan hati. Di saat ada
kesulitan ekonomi yang menimpa Wina, mengharuskannya pergi dan meninggalkan
pakdheku. Ia tak mungkin menolak ujian Tuhan sehingga mengharuskannya melupakan
cita-citanya menjadi guru sekolah dasar. ia pergi ke sebuah negara besar sana
dan siap menjadi pramusaji di sebuah restoran sana. Keputusannya sangat
mengusik pakdheku dan tak rela jika kekasihnya meninggalkan dirinya. Ia sudah putus
asa dan tiada keinginan mengajari anak-anak kecil itu.
Ibuku memang sudah melarang kakaknya untuk menyusul kekasihnya
di Amerika. Ia harus melanjutkan pendidikannya. Lagi pula pikirnya satu tahun
bukan waktu sebentar dan untuk seorang pakdhe yang dulunya adalah orang terpelajar
pasti akan mudah melupakan seorang gadis yang sudah pergi meninggalkannya. Dengan
wajah muda dan otak yang berkualitas, pikir ibu akan mudah bagi pakdhe mencari
pengganti seorang Wina.
Namun apa daya usaha satu keluarga hanya berjalan sia-sia dan
tiada arti. Pakdheku yang masih muda sangat keras kepala. Angan untuk hidup
bersama dengan seorang Wina lebih menang menguasai jalan pikirnya ketimbang
angan mengajari anak-anak kecil itu. Ia ikut mengembara menyusul Wina tanpa
tahu alamat tempat tinggal Wina. Yang ia tahu Wina hidup dalam negeri Paman Sam
sana. Ia tak gentar akan resiko kehilangan pendidikannya.
Dalam pesawat semakin membuatnya lega setelah mendapat kekangan
keluarga. Yang terpikir hanyalah Wina seorang gadis yang mengusik dirinya.
Ibuku hanya salut penuh kecewa melihat kakaknya yang tak bernalar dan begitu
bodohnya. Kakaknya sudah berusia 21 tahun dan memang sudah tak bisa dibilang
anak kecil. Lagi pula mencari Wina memang sudah menjadi keputusannya. Kala itu
ibuku masih muda belia dengan usia 19 tahun. Seluruh keluarga melepas kepergian
pakdheku dan menduga akan hanya butuh waktu satu bulan untuk pakdhe menemui
Wina lalu sudah hilang rasa rindunya terhadap kekasihnya.
Namun keluarga salah dugaan. Anak lelaki satu-satunya mereka
justru lupa jalan pulang menuju Indonesia. Satu bulan, dua bulan keluarga
menunggu di pintu depan rumah, tak juga anak lelaki itu menampakkan batang
hidungnya.
“Memang kita harus kehilangan satu anak laki-laki. Dia sudah
bahagia dengan kekasihnya. Biarkan dia menentukan jalan hidupnya. Dia
laki-laki. Dia sudah dewasa. Tak pantaslah jika kita mengekangnya.” Ucap kakek
yang kala itu masih menjadi kepala keluarga.
Pakdhe memang sudah buta karena cinta. Dia melupakan keluarga
dan pendidikan di tanah tempat dilahirkannya. Janji yang terucap memang satu
bulan namun dalam kenyataan sudah hampir satu tahun ia membuat keluarga cemas
tanpa kabar. Dalam dunia memang seperti ini, susah untuk janji agar sama dengan
bukti . Berat keluarga melepasnya dan berat pula mereka menantinya. Rasa putus
asa keluarga semakin menjadi setelah satu tahun lebih kakak dari ibuku tak
kunjung datang.
Ingin bagi ibuku mencari kakaknya di negeri sana. Namun keluarga
mengekang, takut kalau-kalau ibuku akan bernasib sama dengan kakaknya. Sangat
disesalkan memang jika anak terpandai dalam keluarga harus hilang tanpa kabar.
Kepergiannya hanya membuat sakit keluarga terlebih bagi ayah dari ibuku.
Kesehatannya yang menurun karena penyakit gulanya. Kehilangan satu petak sawah
untuk sekolah anaknya tak berarti apa pun jika harus kehilangan anak. Pikiran
tentang kakak dari ibuku hanya menyusutkan daging di tubuhnya. Ia semakin kurus
dan semakin lemah.
Pakdheku memang nekat. Ia harus hidup di negeri orang selama
satu tahun tanpa arah dan tujuan kecuali Wina.
Tapi naas, bukan Wina yang ia temui, melainkan obat-obat terlarang itu.
Ia mau saja menjadi tukang cuci piring demi obat yang hanya membunuhnya secara
pelan. Sudah gila pakdhe ini. Pernah juga ia kehabisan uang, sehingga
mengharuskan menerima saja tawaran menjadi model sebuah pakaian wanita. Pakdhe
begitu saja tak berpikir panjang. Ia menyalahi adat. Tak ada sifat
kejantanannya sehingga mau berpakaian wanita.
Memang jauh selisih pengahasilan tukang cuci piring dengan model
wanita. Pakdheku tak mau menjadi amatiran. Ia mau lebih mendalami dan sepenuh
jiwa untuk bekerja. Hasrat butuh uang di negeri orang akan lebih terpenuhi jika
penghasilannya besar pula. Bukan menjadi tukang cuci piring. Ia mau saja
mendapat perintah manajernya menjadi wanita seutuhnya. Ia mau operasi transgender. Kini Sandi Laksmono sudah
hilang ditelan bumi. Ia telah berganti nama menjadi Santi Lasmini, wanita
cantik dengan keanggunan berbusana wanita. Ketelitiannya menjadi hilang jika
nantinya Wina tak mengenalinya. Namun biarkan karena Wina tak juga ia temui.
Akal warasnya yang kian menurun semakin saja menjadi. Ketika
hatinya harus remuk dan hancur berkeping-keping. Ia seakan mau mati dan depresi
yang amat sangat. Hingar-bingar kota New York menjadi kelam dan penuh murka.
Tak ada lagi asanya untuk hidup. Obat penenang bahkan tak mampu karena sakit
hatinya yang terlalu. Tapi ini kenyataan yang harus dihadapi pakdheku. Ketika
Wina yang ternyata masih mengenalinya, Sandi Laksmono yang begitu ayunya
menjadi Santi Lasmini, seorang model busana wanita di kota ini. Namun pertemuan
di sebuah kafe itu bagaikan sebuah peristiwa penuh sambaran petir yang mengenai
pakdheku. Bagaimana tidak jika harapan pakdheku hanya sia-sia. Bukan karena
statusnya yang sudah menjadi wanita tetapi karena status Wina yang sudah
bersuami. Bahkan masa lalunya bersama Sandi sudah tak dikenang lagi. Rasa
cintanya sudah pudar sedari kakinya pertama kali menginjak di tanah Paman Sam.
“Pakdhe ayo minum obat?” Pintaku terhadapnya.
“Sudah tak ingin. Biarkan aku sakit saja. Lagi pula menjadi gila
itu sudah keputusanku. Usiaku sudah tua. Padahal ingin aku tetap menajadi pengikut
hidupnya. Sebenarnya sangat bisa jika aku masih menikahi Wina. Memang tak boleh
wanita menikahi seorang wanita. Wujudku memang wanita namun batinku masih pria.
Kamu juga boleh menikahi seorang wanita jika perasaanmu kau ubah layaknya pria.
Untuk apa HAM? Jangan bodoh kau manusia. Sudah biarkan aku mengajari anak-anak
ini. Sudah rindu rupanya mereka terhadap gurunya.”
Sudah tak sanggup aku hidup dengan orang tua gila ini. Namun
harus ikhlas dan rela kumenerimanya. Jika aku meninggalkannya hanya akan menambah
penderitaanya. Ditinggalkan kekasihnya 25 tahun yang lalu sudah sangat pedih
untuk ia jalani apalagi aku tinggalkan, semakin kelamlah kisah hidupnya. Bahkan
untuk hiburannya menakuti anak-anak tetangga menjadi kesibukannya sendiri.
Sejak ia tahu bahwa kekasihnya telah menikah dengan orang lain,
ia menjadi sinting dan tak tahu jadi dirinya. Bahkan karena kebaikan teman Wina
yang mau mengantarnya ke Indonesia sudah cukup berjasa untuknya. Tak mungkin
untuknya hidup sendiri dengan penyakit kejiwaannya di Amerika sana. Aku sangat
berterimakasih dengan orang yang mengantarkan pakdheku itu. Ia adalah bapakku,
suami dari ibuku. Dari Amerika, ia harus menetap di sebuah rumah sakit.
Sakit hatinya memang terlanjur parah sehingga membuatnya tak
ingin menikah. Ia tak punya anak sehingga harus aku yang menjadi keponakanya harus
bersedia merawatnya. Biarkan ini menjadi kisahnya dan sudah tak mungkin lagi
untuk diubah. Sulit pula buatku untuk memanggilnya. Jika aku panggil “Budhe”
bisa dibunuh aku karena marahnya. Namun jika aku memanggilnya “pakdhe” pasti
aku dikira orang buta. Ini hanya akan aku simpan dan sedikit membawa pelajaran
untukku. Pelajaran dari pakdhe semasa menjadi pengikut di hidup seseorang. Ini juga
memberitahuku bahwa cinta ada bukan untuk membuat kita buta melainkan cinta ada
untuk kita bahagia meskipun sebatas memandang dia bahagia.
TAMAT
Tag = #Cerpen Cinta #Cerpen Sedih #Cerpen Kesetiaan #Cerpen
Perjuangan Cinta #Cerpen Bahasa Indonesia
Tidak ada komentar:
Posting Komentar