USIA MUDA KAMI
Aku baru saja pulang menyusuri udara
malam bersama my best friends, Alex
dan Adit. Trio A yang hidup selalu bahagia selama ini. Kami lewati bahagianya
dunia ini secara bebarengan. Seperti prinsip hidup kami “Forever Young”. Bagi
kami untuk mendapat barang mewah itu sangat mudah. Hanya tinggal sebutkan nama
barang itu ke orang tua, tak akan lama barang itu sudah menjadi milik kami. Apa
lagi bagi Alex dan Adit yang bapaknya saja sudah konglomerat. Buat ayahku saja
yang hanya karyawan bawahan, akan sangat mudah untuk turuti kemauanku. Aku
tinggal sebut “minta ini” ayahku sudah bergegas membelikanku. Maklum beginilah
asyiknya anak tunggal seperti juga Alex dan Adit.
Hari yang terus berganti dari Senin
menuju Senin adalah suatu waktu yang sangat senang kami lalui. Kalian juga
pasti merasakan hal yang sama jika menjadi aku. Bagaimana tidak pekerjaan kami
hanya memakai harta orang tua. Pergi menikmati indahnya dunia. Sangat tak
mungkin aku berbuat marah ke orang tuaku. Karena tak mungkin baginya menolak
kemauanku. Dan itu semua sangat aku nikmati.
Usia 23 tahunku sangat tidak
kelihatan. Bagaikan 20 tahun karena masalah demi masalah yang kami lalui itu
bagaikan kesenangan tersendiri. Tuhan memang sangat berbuat adil. Jika kami
diberi suatu rintangan dalam hidup, cuek dan jalani tanpa berpikir menjadi
langkah yang kami tempuh. Bagaimana tidak? Kami tak bermasalah dalam finansial.
Masalah cinta juga bukan sesuatu yang menyulitkan. Iya karena kami hanya urusi
persahabatan kami. Apalagi menitih karier, itu bukan kami karena masih ada
botol ajaib pengabul semua keinginan kami. Iya, kami memang tidak bekerja
apalagi kuliah. Prinsip yang begitu dalamnya untuk meninggalkan semua yang
menurut kami hanya membuat pusing dan melelahkan otak saja.
Aku sudah dimanja sedari kecil. Aku
seperti orang yang dilarang pusing memikirkan lika-liku kehidupan. Jalan
kehidupan benar-benar mulus tak meliuk-liuk. Santai saja kujalani. Namun ada
satu yang terkadang membuatku pusing. Di saat aku lelah, aku takut orang tua
yang begitu sayangnya terhadapku bisa jadi kecewa karena ulah dan perbuatanku.
Seperti biasa malam yang begitu
dinginnya udara melingkupi tubuhku. Aku beranjak pulang dari kafe sana untuk
menghibur pikir dan menghabiskan uang bersama Alex dan Adit. Seperti ini memang
sudah biasa aku lakukan untuk jalani kehidupan layaknya anak muda saja. Sengaja
tidak kubuat kegaduhan karena kasian ayah dan ibuku yang pastinya sudah lelap
mereka tidur. Aku datang menyelinap, menginjak lantai secara pelan. Takut bunyi
sepatuku terdengar di kuping mereka lalu bangunkan mimpi indah mereka.
“Sepertinya harus kita batalkan niat
kita membelikan mobil untuk Ardi. Pasti dia kecewa. Lagi pula hutang kita
dengan bosmu sudah banyak. Takut kita nggak bisa bayar lalu kau dipecat dan
jadilah kita gelandangan. Lagi-lagi imbasnya akan jatuh ke anak kita juga, si
Ardi.
“Itu yang membuat aku bingung.”
“Rumah ini rumah saudaramu juga dan
belum resmi menjadi milikmu. Nanti jika saudaramu menuntut, kita mau tinggal
dimana?”
“Ardi anak semata wayang kita pasti
kecewa dengan kita. Aku sebagai seorang ayah merasa tak pecus memberi teladan
untuknya. Aku sama saja mengingkari janji terhadapnya. Jika ibunya tahu bahwa
kita tidak bisa menuruti kemauan anaknya pasti akan sangat marah terhadapku.
Lalu harus berkata apa aku terhadap mata yang menempel di kelopak mataku. Ini
adalah matanya. Mata ini pasti akan menjadi saksi bahwa aku tak bisa
membahagiakan anak pemiliknya.”
“Tapi Yah, ayah sudah menjadi ayah
yang baik untuknya. Selama ini ayah sudah membahagiakannya dan turuti semua
kemauannya. Tak perlu ayah kuatir.”
“Bisa saja kau berkata seperti itu.
Yang aku takutkan aku akan menjadi suami yang tak baik untuk Marni sekaligus
menjadi ayah yang tak baik untuk Ardi. Terimakasih kau telah menjadi ibu yang
baik untuknya.”
Aku merasa penasaran dengan apa yang
mereka katakan. Aku sudah tahu bahwa aku memang bukan anak dari ibuku meskipun
aku selama ini pura-pura tak tahu dan tak mau tahu. Tapi ini pasti akan membuat
kecewa ibu kandungku jika ayahku tak jadi memberiku mobil. Biarlah resiko
mereka tanggung. Selama ini mereka berjanji memberiku mobil. Aku yang terlanjur
bahagia pasti akan kecewa jika tak jadi mobil itu kumiliki. Lagi pula ini sudah
kewajiban mereka membahagiakanku sebagai anak kandungnya. Ini juga sudah
menjadi hakku mendapatkan apa yang sudah mereka janjikan. Aku juga sudah minta
ini setahun yang lalu namun sampai detik ini belum juga mereka penuhi. Alex dan
Adit sudah sedari SMA punya mobil pribadi dan kala itu aku hanya menumpang. Aku
akan tetap cuek meskipun ayahku yang selama ini dipandang orang berada justru
melarat dan tak punya apa-apa. Lagi pula selama ini aku juga belum pernah
mengecewakan mereka. Semasa SMA-ku semua orang mengenali mereka sebagai wali
dari murid terpandai di sekolahan. Sudahlah biarkan mereka berjuang nanti kalau
aku sudah bosan dengan anganku yang mimpi punya mobil pasti akan kubilang sendiri
terhadap mereka.
Kulanjut saja dunia ini untuk tidur
pulas. Bermimpi punya mobil dan kuajak sahabat karibku menyusuri kota. Gelap
jejalanan pinggiran Kota Jakarta. Tapi upps.... Sampailah di tempat yang
terang. Lihatlah siapa tiga laki-laki itu. Sangat tidak pantas dipandang mata.
Wajah yang sudah keriput namun masih saja seperti anak muda. Baju yang mereka
kenakan pun baju cucu-cucu mereka. Mereka tidur dalam gubuk berdinding bambu.
Sangat jelek dan kumuh sekali. Tiga orang tua dengan gigi ompong saling tertawa
dan meledek satu sama lain. Pipi keriput mereka mainkan untuk mengocok perut
temannya. Diambil gitar oleh seorang kakek tua itu dan dengan gagahnya ia
nyanyikan sebuah lagu. Lagu yang sangat menyentuh hati dan membuatku ingin
terbang melayang. Lagu favoritku iya lagu favoritku. Mungkin satu kakek tua ini
memiliki hobi yang sama denganku sewaktu mudanya.
Mereka makan seadanya dengan nasi
dan sambal. Ada satu helai kerupuk dan mereka bagi menjadi tiga untuk menemani
nasi dan sambal yang mereka santap. Sangat tidak tega aku melihat tiga lelaki
tua ini. Apalagi setelah melihat baju yang mereka kenakan saat ini. Sangat
kusam dan warnanya telah pudar. Compang-camping tak karuan dan banyak sekali
bekas tembelan. Sepertinya baju anak muda tadi hanya mereka kenakan saat
berpergian. Wajah pucat mereka seperti tak ada yang tak peduli. Mereka seperti
tak berisrti atau bahkan mempunyai cucu. Orang tua yang seharusnya dirawat oleh
anak atau cucunya justru dirawat sahabat yang sebaya dengan mereka.
Rumah itu hanya beralaskan tanah dan
untuk tidur mereka pun hanya beralas tikar. Rumah dengan atapnya yang bocor
membuat mereka basah kuyuh begitu butir-butir hujan berjatuhan. Jantung mereka
juga tersiksa mendengar bunyi hentakkan petir menggelegar. Sepertinya tubuh
mereka yang lemah dan tinggal tulang dan kulit ini tak selayaknya mendapatkan
siksaan seperti ini. Mana anak dan cucunya? Apa mereka sudah lupa dengan
ayahnya?
Ingin kumenolongnya dan membawa
mereka untuk berteduh ke rumahku. Tapi apa daya tangan ini tak bisa
menyentuhnya. Mereka hanya bayangan semu yang tak bisa kurasakan. Aku pun
semakin putus asa dan cukup saja menyaksikan gerak-gerik tiga lelaki tua ini.
“Apa ayahmu tidak bisa memberikan
rumah yang lebih bagus.” Kata laki-laki tua dengan kumis putih tipisnya.
“Sudah tak bisa aku memintanya lagi.
Dia sudah di kuburan sana.” Kata seseorang dengan tahi lalat kecil di pipinya.
“Oh ya seandainya saja dulu kita mau
bekerja sewaktu muda dan tidak sibuk meminta orang tua mungkin tak seperti
ini.” Kakek tua yang memegang gitar memberi saran.
“Sudah jangan kau sesali. Rumah yang
dulu diberikan ayahku untuk kita juga sangat besar hanya saja kita
hambur-hamburkan dan kita tukar dengan gubuk tua ini. Adit! Tolong panggilkan
istrimu untuk membuatkan kita kopi.”
“Hei jangan gila! Sejak kapan aku
punya istri? Kalian juga tak punya istri. Biarlah masa muda sampai tua kita
lewati bersama. Alex dan Ardi kalianlah manusia yang selama ini bersamaku.”
Kata kakek yang tiba-tiba saja merintih dan memegang tubuhnya secara kuat-kuat.
Sepertinya kakek tua ini merasa
kesakitan terhadap jantungnya. Ya aku tahu. Apa ini gambaran kami di kelak
nanti jika kemanjaan kami masih dipelihara sedangkan orang tua kami telah
tiada. Tak mungkin dan tak mau usia tuaku seperti ini. Kakek tua itu seperti
Adit dengan lemah jantungnya. Sedangkan laki-laki dengan gitarnya yang nampak
sangat jadul itu adalah aku dan dia yang mempunyai tahi lalat di pipinya itu
gambaran Alex di usia tuanya. Ini sangat kejam.
Bagaimana bisa jika usia tuaku yang
seharusnya mendapat asuhan dari anak-anak atau cucuku justru harus merawat
laki-laki tua sebaya dengan penyakit jantungnya. Tenagaku yang semakin lemah
saja pasti akan sangat kerepotan membawa tubuhku yang tinggal tulang-belulang
apalagi harus membawa lelaki tua dengan penyakit lemah jantungnya. Tak ingin
hidupku tinggal seperti di panti jompo kekurangan donatur. Pasti akan sia-sia
dan sangat menderita jika ini semua benar-benar terjadi.
Aku berjanji bahwa setelah aku
terbangun dari mimpiku akan kuubah usia mudaku. Tak ingin tuaku seperti itu.
Ingin kutata karierku. Memang benar usia mudaku bagaikan tabungan di usia senja.
Biar kujelaskan ke dua sahabatku. Dan nampaknya pintaku terhadap kedua
orangtuaku untuk belikan aku mobil sudah seharusnya aku batalkan saja. Sudah
seharusnya aku membeli mobil sendiri.
TAMAT
Tidak ada komentar:
Posting Komentar