Tempat tinggalku memang jauh dari
perkotaan dan suasana pedesaan pun masih begitu kental. Saling membantu sesama
tetangga masih begitu terjalin di tempat ini. Tak jarang dari mereka yang akan
menikahkan anaknya, masih bersifat gotong royong dan tidak ada itu wedding organizer. Masih ada persawahan
yang luas, kebun yang besar, dan jarak antarrumah yang begitu jauh. Begitu
sulit kulupakan kampung halamanku. Meskipun sudah lama ingin kutinggalkan
tempat ini untuk sekadar mencari kerja di luar daerah yang suasanya lebih
perkotaan.
Cari kerja di tempat ini memang susah.
Kalau pun ada harus rela menjadi tani sawah atau pun tani kebun. Namun aku tak
mau, mengingat selama ini hanya aku anak di desa ini yang memiliki orang tua
menginginkan anaknya lulus hingga S1.
Tak lama dari aku mendapatkan gelar
sarjanaku, pekerjaan telah menghampiriku dan harus kutinggalkan desa ini. Dua
bulan lalu aku diterima kerja di luar kota, di Jogja tepatnya. Mengingat jarak
desaku dan pusat Kota Jogja begitu jauh, akhirnya kumenetap di Jogja dan
kusediakan waktu sebulan sekali untuk menengok bapak-ibuku di rumah.
Hari ini adalah hari Minggu dan
kusediakan waktu untuk pulang ke rumah. Sekedar melepas rasa rinduku dengan
kedua orang tuaku dan saudara kembarku. Suasana masih seperti biasa. Mereka
para masyarakat desa masih segan menyapaku dan mengingatku meskipun
penampilanku sudah mulai berbeda.
Masih kupandangi orang tua ini dan ada
yang aneh dengannya. Rumahnya tepat di depan rumahku meskipun berjarak agak
jauh. Keluarga kita sering bertukar makanan karena sudah bertetangga begitu
lama. Dia begitu curiga menatapku seakan baru mengenalku.
"Kamu siapa Nak?"
"Saya Anggun Nek. Anak Pak Yadi, yang kembar itu."
"Oh iya. Sudah besar ya sekarang. Mau kemana?"
"Mau pulang Nek."
"Pulang kemana?"
"Pulang ke rumahnya Pak Yadi."
"Dari mana memangnya?"
"Dari Jogja Nek. Saya bekerja di sana jadi karyawan
Bank."
"Oh Nak Anggun selamat ya. Kalau udah kerja jangan lupa
sama orang tua ya."
"Iya Nek. Permisi."
Aku pun melanjutkan langkahku untuk
pulang. Untuk pulang aku biasanya naik kereta dan sesudah itu aku jalan kaki
dari stasiun menuju rumah. Maka tak sengaja aku bertemu dengan nenek ini
mengingat rumah kami yang berhadapan.
Aku merasa risih ditanya demikian.
Dalam Bahasa Jawa ada dua pemakaian bahasa. Bahasa keseharian atau ngoko dan
bahasa untuk orang yang dihormati, orang baru bertemu, dan orang yang dianggap
lebih tua atau bahasa sopan yaitu bahasa kromo. Biasanya nenek ini berucap
dengan bahasa ngoko ketika berbicara denganku dan aku pun menjawab dengan
bahasa campuran ngoko dan krama mengingat hubungan kami yang sudah lama namun
aku tetap menganggapnya orang yang lebih tua. Tapi ada yang aneh dengan percakapannya
kali ini. Dia berbicara denganku seperti baru mengenal bahkan menggunakan
bahasa krama. Bahkan bertanya siapa diriku. Tapi aku tak menghiraukan mengingat
penampilanku yang berbeda ditambah mata tuanya yang mungkin sedikit terganggu. Tapi
yang jauh lebih aneh mengapa dia lupa bahwa aku pulang dari Jogja bukankah aku
sudah bercerita sebulan yang lalu. Bahkan kata ibuku, sudah sering ibuku bilang
ke wanita ini bahwa aku menjadi karyawan Bank di Jogja.
Pagi itu aku masih dengan santai merasakan
sejuknya udara pagi di desa ini. Burung yang berkicau riang semakin meramaikan
suasana. Jalan yang sepi meskipun ada beberapa petani yang lalu lalang berjalan
di depan rumah dan menganggukan kepalanya sekadar menyapaku. Sapi, kerbau, dan
kambing juga berlalu lalang digiring oleh para penduduk.
Namun pandanganku dikejutkan dengan
sesuatu yang tak seharusnya dipandang. Dari arah jauh, ada seorang wanita tua
hanya bertutupan selembar kain yang ia kenakan serta sebuah benda yang ia
gunakan untuk menutup kepalanya seperti topi. Lalu kuamati dia dengan seksama.
Kain yang ia gunakan adalah selembar korden jendela sedangkan topi yang ia
gunakan adalah sebuah wajan untuk memasak.
Jalannya begitu cepat menuju ke arahku
membuatku lari terbirit-birit masuk ke dalam rumah. Aku berteriak mencari ibu
dan nenekku. Aku begitu kaget tak menyangka. Di desa yang belum lama
kutinggalkan ini telah muncul sesuatu yang begitu berbeda. Terdapat seorang
dengan penyakit jiwa berkeliaran dan menakutkan jika ada kalanya dia marah lalu
merusak apa-apa yang di sekitarnya. Menurutku ini begitu mengganggu ketentraman
warga di desa ini.
"Tok... Tok.... Tok...!" Terdengar suara ketuk pintu.
Ada yang mengejutkan di balik suara
pintu itu. Orang yang mengetok pintu itu adalah wanita dengaan penyakit jiwa
itu. Sepiring kue brownies di tangannya. Ketika kubuka pintu itu, dia penuh girang.
Dia anggukan saja kepalanya seraya menyodorkan sepiring kue itu. Lalu kubiarkan
saja dan aku justru kembali ke dapur memanggil nenek dan ibuku.
"Parti, ngapain kamu pakai baju
seperti itu?" Nenekku bertanya dengan sedikit marah.
"Ini mau ngantar kue? Tadi bikin sendiri. Cicipi Dek
Anggun." Wanita ini menawariku makanan yang dibawanya.
Pikirku nenek yang tinggal di depan
rumahku memang sudah gila. Kue brwonies itu baru kemaren sore aku antar ke
rumahnya. Bahkan bentuknya masih sama dan piring yang dipakai pun sama. Lalu
kupandangi kedua bola matanya yang begitu lugu dan kosong. Benar-benar sudah
gila orang ini. Entah karena masalah ekonomi atau haus kasih sayang menurutku
menjadi penyebabnya.
"Dari mana kamu? Korden buat baju. Ini wajan siapa?"
Nenekku kembali bertanya dengan nada keras.
"Oh aku habis mandi." Jawabnya.
"Kenapa tadi dari sana?" Dari sungai?" Kembali
nenekku bertanya.
"Tidak saya dari rumah. Baru mandi. Lupa belum pakai
baju."
"Pulang sana! Ini browniesnya buat kamu. Kita udah
punya."
Nenekku memang sedikit sengol
dengannya. Penyakit pikunnya begitu parah hingga terkadang membuatnya tak jauh
beda dengan orang sakit jiwa. Pernah juga dia memakai rok lusuhnya untuk
atasan. Sering dia keliling desa malam hari dengan mukena putih yang membuat
heboh seluruh desa. Dia juga sering tak mengenakkan hati keluargaku yang rutin
memberinya makanan untuk sarapan. Bagaimana tidak? Makanan yang kami beri
justru ia beri untuk kucing peliharaannya sedangkan makanan untuk dirinya
justru makanan sisa hari kemaren.
Tiga rumah yang didekat rumahnya
memang rutin memberinya makanan untuk dirinya, termasuk keluargaku. Kebetulan
keluargaku mendapat jadwal memberinya makanan pagi hari. Ada perilakunya yang
terkadang membuat warga di desaku marah karena ulahnya. Sering ia mendatangi
rumah warga untuk sekedar mencari barangnya yang katanya hilang. Dengan kejam
dia menuduh saja tetangga di sekelilingnya sebagai maling. Terkadang dia
bertindak seolah depkolektor. Menagih hutang kepada mereka yang tak berhutang
sering ia lakukan. Tapi apa pun hal gila yang ia lakukan selalu kami anggap
maklum karena perbuatannya memang di luar kesadarannya.
Alzeimer telah merengguh ingatannya
bahkan jati dirinya sudah ia lupakan. Ingatannya tak bertahan lama. Bahkan tak
jarang aku harus berkenalan setiap bertemu dengannya.
"Tolong!" Suara tanpa arah tepat pukul 00:00.
Keluargaku merasa aneh dan sedikit
ketakutan dan mungkin sama dirasakan oleh keluarga lain di rumah sekeliling
kami. Teriakan minta tolong terus terdengar dan suara itu menakutkan keluarga
kami. Kami justru bingung dan enggan keluar karena teringat peristiwa yang
pernah terjadi beberapa tahun yang lalu. Desa kami memang masih begitu sepi dari
hiruk-pikuk lampau kota. Suasana mistis masih begitu terjalin di kampung ini.
Pernah terjadi suara minta tolong terdengar dari arah hutan dan tepat pukul
00:00. Peristiwa ini terjadi setahun yang lalu. Warga berbondong menuju arah
hutan dan sumber suara tak terdengar tapi malah salah satu warga kerasukan
hingga membuat suasana tegang.
Peristiwa mistis itu membuat keluarga
kami trauma dan bingung akan keluar untuk menolong atau tidak. Kami pun
menunggu hingga suara itu reda. Suara itu memang terdengar lebih keras daripada
suara mistis satu tahun yang lalu. Suaranya juga tidak kunjung diam justrus
merongrong semakin keras. Lalu kami memberanikan diri untuk keluar rumah.
Terlihat ramai kerumunan orang di rumah Mbah Parti. Kami sekeluarga bergegas
menuju sana untuk sekedar ikut membantu.
"Ada apa Par? Kenapa?" Nenekku bertanya.
"Saya juga bingung kenapa banyak orang di rumah ini. Saya
nggak manggil mereka. Saya hanya memanggil kamu Mah."
"Lho kok saya?" Tanya nenekku heran.
“Iya. Kamu nggak mau tidur denganku. Aku takut tidur di rumahku
sendirian. Di sini nggak punya teman."
"Jadi kamu minta tolong agar saya menemani kamu
tidur."
"Tidak."
"Lha tadi kamu?"
"Saya tadi panggil namamu."
Satu persatu warga mulai meninggalkan
rumah itu. Ternyata ini hanya alasan nenek pikun yang minta ditemani tidur.
Nenekku enggan menemaninya tidur di rumahnya meskipun sudah sering ia datang ke
rumah untuk meminta nenenkku menghampiri rumahnya. Wataknya yang begitu seperti
anak kecil sudah begitu tak pantas ia sanding. Nenekku memang tak mau
menemaninya tidur karena takut kejadian waktu lalu terulang. Ingatannya sudah
hilang dan seminggu kemaren Ibu Ratih, tetanggaku yang mendapat jatah mengantar
makanan di sore hari di pukul sapu di kepalanya hingga pingsan. Ia mengira Ibu
Ratih sebagai perampok meskipun rutinitas ini sudah sering ia lakukan.
Ia hanya tinggal sendiri. Setiap malam
ia ketakutan. Anaknya yang di Jakarta sudah kualahan merawatnya atau bahkan
lupa. Tak pernah sekali pun mereka menengok ibunya yang malang kecuali hari raya.
Pernah kami dan para tetangga saling iuran untuk mengantarkan nenek pelupa itu
ke rumah anaknya yang di Jakarta. Hanya bertahan tiga hari, terdengar telepon
di handphone ayahku untuk segera menjemputnya di Jakarta. Kami dan para
tetangga pun menjemputnya.
Entah, Ibu atau anak yang lupa. Ibunya
memang maklum karena sakit alzeimer sehingga ingatannya telah hilang. Jika anaknya, ia telah lupa akan nilai kehidupan.
Betapa besar perjuangan ibunya ketika masih sehat merawatnya hingga memiliki
keluarga seperti saat ini. Apalagi ibunya tidak bersuami sedari dirinya kecil.
Hingga menyuruh ibunya bekerja di pabrik kopi. Apalagi putri sematawayangnya
ini dikenal begitu manja ketika masa gadis.
Ibu tak bersalah ini rela bekerja
keras, menjadi buruh dunia untuk mencari kehidupan dan memberikan pendidikan
bagi anaknya. Menjadi janda beranak satu tak mudah baginya. Mengingat
lingkungan pedesaan di sini sering menjadikan peristiwa yang aneh menjadi buah
bibir. Statusnya yang sudah menjadi takdir sering menjadi buah bibir ibu-ibu
dulu. Namun kini telah berlalu dan sudah seharusnya anaknya membalas perjuangan
ibunya.
Tapi rupanya anaknya lebih lupa
daripada ibunya. Anaknya tidak ingat betapa besar perjuangan ibunya ketika itu.
Sehingga membiarkan ibunya dengan ketidaktahuan identitasnya tinggal sendiri di
rumah reoknya yang dindingnya terbuat dari bambu. Sejak dua bulan punya
penyakit itu, anaknya pun tidak mau pulang untuk sekadar menengok ibu
kandungnya. Bahkan menelepon pun hanya sekali ketika meminta ayahku untuk
kembali menjemput ibunya dari Jakarta.
"Halo Mas, Ini Indah." Sapa anaknya.
"Oh Indah. Gimana keadaan ibumu di sana?" Tanya
ayahku.
"Baik. Gimana kabarnya Mas?"
"Alhamdulillah sehat. Lha Kamu?"
"Sehat Mas. Gini Mas, Ibu dibawa pulang saja Mas. Di sini
nggak ada pembantu. Saya dan suami juga sibuk."
Begitu kaget ayahku mendengar seorang
gadis yang telah menjadi istri orang mengungkapkan ketidakinginannya merawat
ibunya yang telah tua dan sakit. Sangat membahayakan bagi ibunya yang tak
berdaya dan sakit harus tinggal sendiri di rumah. Jika pun memang tak ada yang merawat,
mengapa mereka tak membayar pembantu. Sejak kejadian itu, tak sekali pun mereka
menelepon untuk bertanya keadaan ibunya, apalagi mengirim uang.
Aku merinding mendengar cerita dari
ayahku. Yang aku dengar suami anaknya bekerja di percetakan sedangkan dirinya
bekerja di rumah menjual baju online. Pekerjaannya istrinya sebenarnya tidak
menyulitkan untuknya rangkap jabatan menjaga ibunya. Sudah berulang kali ayahku
menelepon anaknya dan suaminya. Tak sekali pun mereka angkat. Mereka seakan
ingin lari dari keharusan dan pura-pura lupa terhadap keharusan. Memang kejam,
tapi ini adalah keharusan yang harus dihadapi Nek Idah. Meskipun dia tidak tahu
apa yang sebenarnya terjadi.
Anaknya tidak mau direpotkan ibunya
yang lagi sakit. Apalagi sakitnya masalah ingatan yang terkadang kambuhnya
tidak bisa ditebak. Tapi ternyata anaknya justru lebih lupa. Dia tidak ingat
tentang perjuangan ibunya sewaktu sehat dan menggadaikan kesehatannya untuk
berjuang mengasih dia makan dan mengenalkannya pada pendidikan.
Usainya memang belum terlalu tua jika
dibandingkan nenekku. Pernah sekali kami berniat, menitipkannya di panti jompo.
Tapi kami takut, anaknya akan marah karena merasa tidak dihargai jika tidak
memberitahunya terlebih dahulu. Tapi bagaimana kami mau memberitahu, dihubungi
lewat telepon saja susah. Mereka juga tidak sekali pun berusaha menghubungi
kami. Entah mereka terlalu sibuk atau karena apa. Tapi jika iya, bukankan
kesibukan mencari harta tidak lebih penting dari mengasihi orang tua. Mungkin
ini yang membuat usaha mereka tidak terlalu berkembang sehingga justru
menyibukkan mereka sendiri. Ini karena perlakukan salah mereka terhadap ibu
kandung dan mertuanya. Mereka sendiri yang sebenarnya terlalu pelupa atau berusaha
melupakan orang tua agar tidak terlalu direpotkan sehingga menyusahkan bisnis
mereka.
Tapi apa pun itu semoga mereka cepat
ingat. Ingat tentang besar jerih payah ibunya. Juga Nek Idah agar segera cepat
sehat dan memiliki ingatan yang normal.
TAMAT
Tag = #CerpenKasihSayang #CintaRemaja #CerpenSedih
#CerpenKeluarga #CerpenNasihat #CerpenKesetiaan #CerpenBahasaIndonesia
Tidak ada komentar:
Posting Komentar