Kedalaman Sektor
Keuangan Indonesia
Perkembangan financial deepening di Indonesia selama periode
1980-2007 menunjukkan trend yang relatif meningkat. Krisis ekonomi dan moneter
yang terjadi pada tahun 1997-1998 justru meningkatkan financial deepening Indonesia. Hal ini dapat terjadi
karena adanya berbagai insentif yang diberikan oleh otoritas moneter kepada
masyarakat dalam menjalankan aktifitas ekonominya. Perkembangan financial deepening Indonesia lebih mencerminkan
kerberhasilan dari otoritas moneter dalam meningkatkan likuiditas dan
monetisasi masyarakat melalui sektor perbankan.
Namun semenjak itu
proses pendalam perkembangan sektor keuangan telah mengalami pendangkalan
(shallow) atau “definansialisasi”. Tercermin dari waktu ke waktu, semakin lemahnya
peran lembaga-lembaga keuangan, seperti perbankan dan pasar uang/modal sebagai
sumber pembiayaan produktif bagi kegiatan para pelaku ekonomi khususnya
pebisnis.
Demikian juga dengan
rasio atau perbandingan antara asset keuangan (asset bank dan nilai kapitalisasi
pasar modal) terhadap Pendapatan Naional (asset keuangan/PDB) di Indonesia,
nilai rasio ini rendah dan cenderung menurun, hanya dalam kisaran 80% selama
tiga tahun terakhir. Kemudian, khusus dalam kaitan dengan peran lembaga
keuangan perbankan, utamanya dalam kasus distribusi kredit, diukur dari rasio
atau perbandingan antara kredit perbankan terhadap PDB (kredit/PDB) ternyata di
Indonesia menunjukkan nilai rasio yang rendah dengan pertumbuhan melambat pula,
hanya dalam kisaran 27%. Demikian juga dalam kasus rasio outstanding obligasi
terhadap PDB, yang hanya bernilai 15% untuk obligasi pemerintah dan hanya 1,5%
untuk obligasi korporat. Pergerakan kapitalisasi obligasi, meskipun tidak
sepesat kapitalisasi pasar saham dan bank, namun mempunyai laju yang positif.
Sebagian besar berupa obligasi negara.
Penyebab Kedangkalan
Sektor Keuangan Indonesia
Pasar
modal Indonesia dinilai masih dangkal dan masih sangat rentan diterpa sentimen
negatif yang datang dari dalam dan luar negeri. Terdapat beberapa masalah seiring
dengan perkembangan sector ini, yaitu:
1. Adanya
ketimpangan investor asing dan local yang diindikasikan karena
kurangnya edukasi finansial di Indonesia.
2. Maraknya transaksi
keuangan yang bersifat spekulatif.
3. Spread bunga kredit dan
deposito yang masih tinggi.
Permasalahan pertama
dan kedua memungkinkan menimbulkan instabilitas perekonomian, berupa
kemungkinan capital outflow, bubble ekonomic, dan ketimpangan kesejahteraan
masyarakat baik antar sector, antar daerah, maupun antar individu. Rendahnya
akses masyarakat pada sektor keuangan juga menjadi masalah yang berdampak pada
ketimpangan sosial. Sedangkan masalah ketiga menghambat proses penyaluran dana
kepada sector riil mengingat bunga kredit dianggap terlalu tinggi
bagi investor.
Dilain pihak ada juga
penyebab kedangkalan sektor moneter di Indonesia, yaitu: kepemilikan dan liberalisasi. Dari
sekitar 121 bank di Indonesia, sebetulnya hanya dikuasai 10 bank terbesar saja
(menguasai sekitar 63% aset, dana pihak ketiga, ataupun penyaluran kredit).
Dengan kata lain, sektor perbankan nasional strukturnya cenderung
terkonsentrasi. Implikasinya, bank-bank menengah/kecil susah berkembang dan
nasabah dirugikan, misalnya dengan pengenaan tingkat suku bunga (kredit) yang
tinggi. Sementara itu, penyusunan dan penegakan hukum juga lamban
sehingga aneka moral hazard terus terjadi tanpa
kejelasan penalti hukum. Hal ini tentu saja memberi insentif bagi langgengnya
praktik penyimpangan di sektor keuangan.
Penyebab lain yaitu, pada
instrumen fungsi sektor keuangan, pengadaan informasi untuk kepentingan
investasi tidak banyak dilakukan dan diketahui publik. Pengawasan investasi dan
pengelolaan risiko tidak terukur dengan baik sehingga alokasi kegiatan
investasi tidak sepenuhnya sesuai dengan harapan pemerintah.
Cara Mengatasi
Kedangkalan Sektor Keuangan Indonesia
Guna meningkatkan peran
sektor keuangan agar mencapai kondisi financial
deepening, dibutuhkan berbagai upaya strategis. Upaya tersebut meliputi
suatu rencana dan implementasi dari kebijakan untuk mengintensifkan tingkat
moneterisasi perekonomian melalui peningkatan dalam akses terhadap institusi
finansial, transparansi dan efisiensi, serta mendorong peningkatan rate of return yang rasional (Agrawal, 2001:83).
Tidak pada tempatnya
untuk menolak pelaku ekonomi asing ataupun persaingan terbuka dengan negara
lain, isu kepemilikan (dan penguasaan asing) dan intensitas keterbukaan dalam
sektor keuangan juga merupakan agenda yang mesti didesain dengan benar.
Cara
mengatasi kedangkalan sektor keuangan yang dihadapi Indonesia bisa dilakukan
denga fungsi perbankan dan pasar modal sendiri, yaitu:
1. Perbankan menjalankan
fungsinya sebagai financial
intermediaries dapat dengan:
a. Lebih fokus untuk
mengalokasikan dana yang telah dihimpun (DPK) dengan pemberian kredit, baik
untuk kredit konsumsi, kredit modal, dan kredit investasi.
b. Dapat juga dengan
meningkatkan akses masyarakat terhadap sektor perbankan itu sendiri, yakni
dengan melakukan ekspansi layanan kepada masyarakat luas (misal : penambahan
unit bank) sehingga fungsi dari sektor perbankan itu sendiri dapat dirasakan
oleh seluruh masyarakat.
2. Pasar modal menjalankan
fungsinya sebagai financial
intermediaries ketika pasar
modal tersebut dapat mempertemukan pihak-pihak yang membutuhkan dana dengan
pihak-pihak yang ingin mengoptimalkan dananya (investor). Misal pemerintah yang
ingin menutupi defisit anggaran dan perusahaan yang ingin melakukan ekspansi
bisnis, dimana kedua pelaku tersebut dapat mengatasinya dengan cara menerbitkan
surat utang / obligasi. Dan ketika pasar modal dapat secara efektif
mempertemukan pihak yang ingin mengoptimalkan excess
fund (investor) dengan
pihak-pihak yang membutuhkan dana maka fungsi pasar modal sebagai financial intermediaries terbentuk. Salah satu yang bisa
dijadikan patokan adalah jumlah emiten di Bursa Efek Indonesia yang perlu
diperbanyak dengan mendorong lebih banyak perusahaan besar untuk melakukan
penawaran umum perdana (initial public offering/IPO).
Bank
Dunia baru saja mempublikasikan (2012) laporan yang bertajuk “Global
Financial Development Report 2013: Rethinking the Role of the State in Finance.” Pertama, penataan sektor
keuangan memerlukan campur tangan negara/pemerintah. Kedua, campur tangan negara dalam penataan sektor keuangan harus dikemas
dengan kerangka pikir yang baru, tidak seperti yang dijalankan oleh banyak
negara selama ini.
Dalam konteks yang
lebih luas, Levine (2005) menerjemahkan pembangunan sektor keuangan dalam lima
hal berikut: (i) memproduksi dan memproses informasi terkait investasi dan
alokasi modal berdasarkan penghitungan yang cermat; (ii) pengawasan individu
dan korporasi dalam hal tata kelola setelah alokasi modal dilakukan; (iii)
fasilitasi perdagangan, diversifikasi produk/investasi, dan manajemen risiko;
(iv) memobilisasi dan mengumpulkan tabungan; dan (v) mempermudah lalu lintas
pertukaran barang, jasa, dan instrumen-instrumen keuangan lainnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar