Sabtu, 18 April 2015

Cerpententang Lingkungan : Surga Terbengkalai

SURGA TERBENGKALAI
            Masih saja kupandangi indahnya alam yang menyapa. Tak ingin aku segera beranjak dari sini. Biru di atas sana tanpa ada asap kelabu yang merisau. Burung-burung berterbangan dengan gembiranya bersiul menyapaku yang tengah berdiri dengan santainya. Hidungku semakin dimanja menghirup sejuknya udara pagi. Bibir tersenyum berbahagia dan penuh bangga memandang alam di desaku. Hijau desaku yang subur, indah, dan permai. Para petani tengah sibuk dengan sawahnya yang penuh padi yang begitu hijaunya tanaman ini. Tegur sapa muncul di raut mereka terhadapku. Kubalas mereka dengan lambaian tangan penuh anggunnya.

            Ayahku datang mendekatiku dan memukul pundakku secara halus. Ia sangat bahagia mendapat julukan juragan padi. Sawah terbesar dengan suburnya tanah di sana telah dimiliki ayahku. Ia sudah tua namun tak gentar mengelola sebidang tanah seluas ini. Untung ada dua anak muda yang setia membantunya dengan upah sewajarnya. Ada gazebo di ujung sana menjadi saksi keletihan ayah mengelola padi. Itu akan terbayar di saat musim panen tiba.
            “Andai tidak ayah jual kala itu mungkin tidak menjadi seperti ini.”
            “Namun aku hanya ingin kalian masih hidup. Biarkan penguasa itu bahagia. Kita yang menderita sudah cukup senang dengan utuhnya keluarga kita.”
            “Tapi ayah egois. Ayah hanya memikirkan nasib keluarga ayah saja. Bagaimana dengan nasib alam kita?”
            “Mereka mengancam akan membunuh kita semua. Maka aku serahkan saja tanah ini dengan harga murah. Kaki Pak Bani yang tinggal satu juga karena ulah mereka. Mereka nekat Nak. Ayah tak tahu jika itu terjadi padamu.”
            “Mengapa harus aku?”
            “Iya. Mereka akan menyiksa semua orang yang menghalangi niat mereka. Termasuk aku dan anak-anakku. Jika tanah ini tetap tak kuberikan ke mereka mungkin kita akan jauh lebih menderita dari Pak Bani dan tetap saja tanah ini jadi milik mereka.”
            “Tapi ayah semudah itu menyerahkan tanah ini ke mereka tanpa berpikir panjang bagaimana nasib anak cucu kita?”
            “Sudahlah Nak kau belum pernah berada di posisi ayah saat itu. Kau masih kecil dan belum tahu bagaimana rasa cinta kepada keluarga.”
            Ah sudahlah perdebatan yang tak berguna. Lagi pula semuanya sudah terlambat. Alam yang menyelimuti kecilku dulu telah tiada. Itu sangat berbeda saat kutengok saat ini. Tak ada lagi tanaman hijau itu. Tanah sudah rata dengan bekas bangunan. Mereka yang seharusnya menanggung resiko justru mereka serahkan ke buruh-buruhnya.
            Ketika dulu para petani diteror siang dan malam agar mau menyerahkan tanah mereka ke investor, ayahku sama sekali tak gentar. Padahal ia menjadi panutan warga karena luas tanahnya yang berkali-kali lipat dari pada yang lain. Jika ia akan jual tanahnya, semua warga juga akan jual tanahnya. Begitu juga ketika ayahku bersikeras tak akan jual tanahnya maka semua warga pun begitu. Tapi semua itu berubah ketika ancamannya benar-benar terjadi. Ancaman untuk menyakiti para petani. Semakin melonjak ulah penguasa itu. Uang telah menghapus nurani mereka. Warga semakin goyah dan tak tahan dengan siksaan para teroris itu. Kaki seorang sahabat karib telah mereka renggut. Dan ayahku tak ingin anak-anaknya menerima imbasnya. Terlebih ketika aku, Aryani, dan Sandra sudah sering mereka beri uang dan makanan. Awalnya, aku tak percaya bahwa orang dari kota itu begitu kejamnya. Tapi ayahku tidak, ia selalu khawatir anak-anaknya akan diracun.
            Ayahku menyerah dan menerima uang yang tak sebanding dengan luas tanahnya. Berat sebenarnya tapi uang memang seperti raja dan mengalahkan mereka yang hina. Hijau padi yang menghiasi luas tanah yang berhektar-hektar mereka ganti dengan pabrik yang begitu megahnya. Polusi telah menyelimuti atmosfer kami. Bising suara mesin giling memecahkan gendang telinga kami dan tak tahan kami mendengarnya. Pernapasan kami semakin sesak dan kasihan anak-anak kecil di desa kami. Warga sini semakin tak leluasa menetap di sana. Satu per satu pergi dan tak ingin menetap di desa industri ini. Pekerja yang seharusnya adalah warga kami, mereka ganti dengan orang luar sana yang lebih berpendidikan.
            Akhirnya desa kami sesak dengan rakyat pendatang yang mencari penghasilan. Aku dan keluargaku memutuskan meninggalkan saja tempat lahir kami. Lagi pula kami sudah tak berhak dan tak punya apa-apa. Biarkan mereka yang bahagia dan menikmati usaha kerasnya. Kemajuan jaman sudah kita alami dan mungkin sangat ketilnggalan jika desa kami masih saja bertani. Jika saja mereka tahu betapa besar kami bergantung terhadap luas tanah itu hingga setiap bulan kami menanti. Sabar kami tiada hasil dan mungkin hidup di lingkungan lain bisa saja memberi kesempatan kami untuk bertanam.
            Ingin aku mengenang masa lalu dengan bernostalgia dengan lingkungan kecilku. Bukan hanya indahnya desa cocok tanam yang tidak kujumpai, bahkan megahnya bangunan pabrik tidak juga kujumpai. Tanah yang meluas dengan asrinya telah berubah menjadi negeri industri, namun aku tinggal menuju dewasa rupanya juga telah berubah menjadi hamparan yang meluas dengan puing-puing bekas bangunan. Api telah meluluh-lantakkan bangunan ini. Mungkin ini sebagai teguran dari Tuhan setelah apa yang mereka lakukan terhadap kami. Mereka rebut tanah kami secara paksa, sekarang mereka berikan saja usaha mereka ke Tuhan. Buruh pabrik harus menerima akibatnya. Banyak yang sibuk menjalani tugas ketika api itu menghabiskan bangunan dan seisinya. Investor merugi bertrilyun-trilyun dan tak tahu mau kemana mencari gantinya. Mereka yang sabar bisa saja menerima dengan lapang dada tetapi ada juga mereka yang memilih mengakhiri hidupnya dengan tangan mereka sendiri. Sudah lupa dengan siapa yang memberi mereka nyawa. Mungkin mereka sudah cukup pusing karena menghitung gepokan uang di brankasnya selama ini.
            Masa lalu susah untuk diulang. Surga telah mereka renggut dan dirusaknya tanpa bisa mereka kembalikan seperti semula. Alam marah karena ulah manusia yang membuatnya terbengkalai. Hidup itu akan seperti ini jika manusianya masih serakah dan tak ada lagi tepa selira dengan alam. Uang yang terbuat dari logam atau kertas seakan membuat mereka lupa dan ingin terus berbuat lebih. Itulah sifat manusia.
TAMAT
Tag = #CerpenAlam #CerpenBahasaIndonesia #CerpenNasihat
           


Tidak ada komentar: