Sabtu, 18 April 2015

Cerpen Remaja Pesahabatan : Usia Muda Kami

USIA MUDA KAMI
            Aku baru saja pulang menyusuri udara malam bersama my best friends, Alex dan Adit. Trio A yang hidup selalu bahagia selama ini. Kami lewati bahagianya dunia ini secara bebarengan. Seperti prinsip hidup kami “Forever Young”. Bagi kami untuk mendapat barang mewah itu sangat mudah. Hanya tinggal sebutkan nama barang itu ke orang tua, tak akan lama barang itu sudah menjadi milik kami. Apa lagi bagi Alex dan Adit yang bapaknya saja sudah konglomerat. Buat ayahku saja yang hanya karyawan bawahan, akan sangat mudah untuk turuti kemauanku. Aku tinggal sebut “minta ini” ayahku sudah bergegas membelikanku. Maklum beginilah asyiknya anak tunggal seperti juga Alex dan Adit.

            Hari yang terus berganti dari Senin menuju Senin adalah suatu waktu yang sangat senang kami lalui. Kalian juga pasti merasakan hal yang sama jika menjadi aku. Bagaimana tidak pekerjaan kami hanya memakai harta orang tua. Pergi menikmati indahnya dunia. Sangat tak mungkin aku berbuat marah ke orang tuaku. Karena tak mungkin baginya menolak kemauanku. Dan itu semua sangat aku nikmati.
            Usia 23 tahunku sangat tidak kelihatan. Bagaikan 20 tahun karena masalah demi masalah yang kami lalui itu bagaikan kesenangan tersendiri. Tuhan memang sangat berbuat adil. Jika kami diberi suatu rintangan dalam hidup, cuek dan jalani tanpa berpikir menjadi langkah yang kami tempuh. Bagaimana tidak? Kami tak bermasalah dalam finansial. Masalah cinta juga bukan sesuatu yang menyulitkan. Iya karena kami hanya urusi persahabatan kami. Apalagi menitih karier, itu bukan kami karena masih ada botol ajaib pengabul semua keinginan kami. Iya, kami memang tidak bekerja apalagi kuliah. Prinsip yang begitu dalamnya untuk meninggalkan semua yang menurut kami hanya membuat pusing dan melelahkan otak saja.
            Aku sudah dimanja sedari kecil. Aku seperti orang yang dilarang pusing memikirkan lika-liku kehidupan. Jalan kehidupan benar-benar mulus tak meliuk-liuk. Santai saja kujalani. Namun ada satu yang terkadang membuatku pusing. Di saat aku lelah, aku takut orang tua yang begitu sayangnya terhadapku bisa jadi kecewa karena ulah dan perbuatanku.
            Seperti biasa malam yang begitu dinginnya udara melingkupi tubuhku. Aku beranjak pulang dari kafe sana untuk menghibur pikir dan menghabiskan uang bersama Alex dan Adit. Seperti ini memang sudah biasa aku lakukan untuk jalani kehidupan layaknya anak muda saja. Sengaja tidak kubuat kegaduhan karena kasian ayah dan ibuku yang pastinya sudah lelap mereka tidur. Aku datang menyelinap, menginjak lantai secara pelan. Takut bunyi sepatuku terdengar di kuping mereka lalu bangunkan mimpi indah mereka.
            “Sepertinya harus kita batalkan niat kita membelikan mobil untuk Ardi. Pasti dia kecewa. Lagi pula hutang kita dengan bosmu sudah banyak. Takut kita nggak bisa bayar lalu kau dipecat dan jadilah kita gelandangan. Lagi-lagi imbasnya akan jatuh ke anak kita juga, si Ardi.
“Itu yang membuat aku bingung.”

            “Rumah ini rumah saudaramu juga dan belum resmi menjadi milikmu. Nanti jika saudaramu menuntut, kita mau tinggal dimana?”
            “Ardi anak semata wayang kita pasti kecewa dengan kita. Aku sebagai seorang ayah merasa tak pecus memberi teladan untuknya. Aku sama saja mengingkari janji terhadapnya. Jika ibunya tahu bahwa kita tidak bisa menuruti kemauan anaknya pasti akan sangat marah terhadapku. Lalu harus berkata apa aku terhadap mata yang menempel di kelopak mataku. Ini adalah matanya. Mata ini pasti akan menjadi saksi bahwa aku tak bisa membahagiakan anak pemiliknya.”
            “Tapi Yah, ayah sudah menjadi ayah yang baik untuknya. Selama ini ayah sudah membahagiakannya dan turuti semua kemauannya. Tak perlu ayah kuatir.”
            “Bisa saja kau berkata seperti itu. Yang aku takutkan aku akan menjadi suami yang tak baik untuk Marni sekaligus menjadi ayah yang tak baik untuk Ardi. Terimakasih kau telah menjadi ibu yang baik untuknya.”
            Aku merasa penasaran dengan apa yang mereka katakan. Aku sudah tahu bahwa aku memang bukan anak dari ibuku meskipun aku selama ini pura-pura tak tahu dan tak mau tahu. Tapi ini pasti akan membuat kecewa ibu kandungku jika ayahku tak jadi memberiku mobil. Biarlah resiko mereka tanggung. Selama ini mereka berjanji memberiku mobil. Aku yang terlanjur bahagia pasti akan kecewa jika tak jadi mobil itu kumiliki. Lagi pula ini sudah kewajiban mereka membahagiakanku sebagai anak kandungnya. Ini juga sudah menjadi hakku mendapatkan apa yang sudah mereka janjikan. Aku juga sudah minta ini setahun yang lalu namun sampai detik ini belum juga mereka penuhi. Alex dan Adit sudah sedari SMA punya mobil pribadi dan kala itu aku hanya menumpang. Aku akan tetap cuek meskipun ayahku yang selama ini dipandang orang berada justru melarat dan tak punya apa-apa. Lagi pula selama ini aku juga belum pernah mengecewakan mereka. Semasa SMA-ku semua orang mengenali mereka sebagai wali dari murid terpandai di sekolahan. Sudahlah biarkan mereka berjuang nanti kalau aku sudah bosan dengan anganku yang mimpi punya mobil pasti akan kubilang sendiri terhadap mereka.
            Kulanjut saja dunia ini untuk tidur pulas. Bermimpi punya mobil dan kuajak sahabat karibku menyusuri kota. Gelap jejalanan pinggiran Kota Jakarta. Tapi upps.... Sampailah di tempat yang terang. Lihatlah siapa tiga laki-laki itu. Sangat tidak pantas dipandang mata. Wajah yang sudah keriput namun masih saja seperti anak muda. Baju yang mereka kenakan pun baju cucu-cucu mereka. Mereka tidur dalam gubuk berdinding bambu. Sangat jelek dan kumuh sekali. Tiga orang tua dengan gigi ompong saling tertawa dan meledek satu sama lain. Pipi keriput mereka mainkan untuk mengocok perut temannya. Diambil gitar oleh seorang kakek tua itu dan dengan gagahnya ia nyanyikan sebuah lagu. Lagu yang sangat menyentuh hati dan membuatku ingin terbang melayang. Lagu favoritku iya lagu favoritku. Mungkin satu kakek tua ini memiliki hobi yang sama denganku sewaktu mudanya.
            Mereka makan seadanya dengan nasi dan sambal. Ada satu helai kerupuk dan mereka bagi menjadi tiga untuk menemani nasi dan sambal yang mereka santap. Sangat tidak tega aku melihat tiga lelaki tua ini. Apalagi setelah melihat baju yang mereka kenakan saat ini. Sangat kusam dan warnanya telah pudar. Compang-camping tak karuan dan banyak sekali bekas tembelan. Sepertinya baju anak muda tadi hanya mereka kenakan saat berpergian. Wajah pucat mereka seperti tak ada yang tak peduli. Mereka seperti tak berisrti atau bahkan mempunyai cucu. Orang tua yang seharusnya dirawat oleh anak atau cucunya justru dirawat sahabat yang sebaya dengan mereka.
            Rumah itu hanya beralaskan tanah dan untuk tidur mereka pun hanya beralas tikar. Rumah dengan atapnya yang bocor membuat mereka basah kuyuh begitu butir-butir hujan berjatuhan. Jantung mereka juga tersiksa mendengar bunyi hentakkan petir menggelegar. Sepertinya tubuh mereka yang lemah dan tinggal tulang dan kulit ini tak selayaknya mendapatkan siksaan seperti ini. Mana anak dan cucunya? Apa mereka sudah lupa dengan ayahnya?
            Ingin kumenolongnya dan membawa mereka untuk berteduh ke rumahku. Tapi apa daya tangan ini tak bisa menyentuhnya. Mereka hanya bayangan semu yang tak bisa kurasakan. Aku pun semakin putus asa dan cukup saja menyaksikan gerak-gerik tiga lelaki tua ini.
            “Apa ayahmu tidak bisa memberikan rumah yang lebih bagus.” Kata laki-laki tua dengan kumis putih tipisnya.
            “Sudah tak bisa aku memintanya lagi. Dia sudah di kuburan sana.” Kata seseorang dengan tahi lalat kecil di pipinya.
            “Oh ya seandainya saja dulu kita mau bekerja sewaktu muda dan tidak sibuk meminta orang tua mungkin tak seperti ini.” Kakek tua yang memegang gitar memberi saran.
            “Sudah jangan kau sesali. Rumah yang dulu diberikan ayahku untuk kita juga sangat besar hanya saja kita hambur-hamburkan dan kita tukar dengan gubuk tua ini. Adit! Tolong panggilkan istrimu untuk membuatkan kita kopi.”
            “Hei jangan gila! Sejak kapan aku punya istri? Kalian juga tak punya istri. Biarlah masa muda sampai tua kita lewati bersama. Alex dan Ardi kalianlah manusia yang selama ini bersamaku.” Kata kakek yang tiba-tiba saja merintih dan memegang tubuhnya secara kuat-kuat.
            Sepertinya kakek tua ini merasa kesakitan terhadap jantungnya. Ya aku tahu. Apa ini gambaran kami di kelak nanti jika kemanjaan kami masih dipelihara sedangkan orang tua kami telah tiada. Tak mungkin dan tak mau usia tuaku seperti ini. Kakek tua itu seperti Adit dengan lemah jantungnya. Sedangkan laki-laki dengan gitarnya yang nampak sangat jadul itu adalah aku dan dia yang mempunyai tahi lalat di pipinya itu gambaran Alex di usia tuanya. Ini sangat kejam.
            Bagaimana bisa jika usia tuaku yang seharusnya mendapat asuhan dari anak-anak atau cucuku justru harus merawat laki-laki tua sebaya dengan penyakit jantungnya. Tenagaku yang semakin lemah saja pasti akan sangat kerepotan membawa tubuhku yang tinggal tulang-belulang apalagi harus membawa lelaki tua dengan penyakit lemah jantungnya. Tak ingin hidupku tinggal seperti di panti jompo kekurangan donatur. Pasti akan sia-sia dan sangat menderita jika ini semua benar-benar terjadi.
            Aku berjanji bahwa setelah aku terbangun dari mimpiku akan kuubah usia mudaku. Tak ingin tuaku seperti itu. Ingin kutata karierku. Memang benar usia mudaku bagaikan tabungan di usia senja. Biar kujelaskan ke dua sahabatku. Dan nampaknya pintaku terhadap kedua orangtuaku untuk belikan aku mobil sudah seharusnya aku batalkan saja. Sudah seharusnya aku membeli mobil sendiri.

TAMAT

Tidak ada komentar: