Sabtu, 18 April 2015

Cerpen Percintaan : Pengikut Hidupnya

Pengikut Hidupnya
Sudah geram aku sebenarnya memandang wanita tua itu dengan gerak-geriknya yang cenderung sama kesehariannya. Tangannya ada bekas luka karena menghapus tato bertuliskan nama seseorang. Terus saja ia tersenyum dengan sorotan mata menuju sebuah foto seorang wanita dengan raut muka masih muda. Sudah kusam potret wanita itu namun tak jemu-jemu baginya memujanya. Kasihan aku menatapnya. Jika saja dulu ia menunggu sabar wanita itu mungkin tak jadi begini seharusnya. Ia mungkin tak jadi pergi ke luar negeri. Ia akan menjadi guru dan tak menjadi orang jalanan di negeri Paman Sam sana. Ia tak harus gila dan suka tersenyum atau menangis tanpa ada yang membuat salah. Dia sudah tua namun masih saja dibuat cemoohan anak-anak kecil. Tetap kuingatkan dia untuk memakan obatnya yang sudah menjadi kebiasaan. Aku tahu itu tak enak namun itu lebih baik dibanding ia harus masuk rumah sakit kejiwaan lagi.

Ia dulunya berangan memberikan pendidikan ke anak-anak sekolah dasar sehingga menjadi awal pertemuanya dengan Wina. Ada sebuah cinta yang mereka bina di sebuah bangku perguruan tinggi. Namun mereka tak tahu jika harus beralih menjadi sebuah jalan cerita yang tak menyenangkan hati. Di saat ada kesulitan ekonomi yang menimpa Wina, mengharuskannya pergi dan meninggalkan pakdheku. Ia tak mungkin menolak ujian Tuhan sehingga mengharuskannya melupakan cita-citanya menjadi guru sekolah dasar. ia pergi ke sebuah negara besar sana dan siap menjadi pramusaji di sebuah restoran sana. Keputusannya sangat mengusik pakdheku dan tak rela jika kekasihnya meninggalkan dirinya. Ia sudah putus asa dan tiada keinginan mengajari anak-anak kecil itu.
Ibuku memang sudah melarang kakaknya untuk menyusul kekasihnya di Amerika. Ia harus melanjutkan pendidikannya. Lagi pula pikirnya satu tahun bukan waktu sebentar dan untuk seorang pakdhe yang dulunya adalah orang terpelajar pasti akan mudah melupakan seorang gadis yang sudah pergi meninggalkannya. Dengan wajah muda dan otak yang berkualitas, pikir ibu akan mudah bagi pakdhe mencari pengganti seorang Wina.
Namun apa daya usaha satu keluarga hanya berjalan sia-sia dan tiada arti. Pakdheku yang masih muda sangat keras kepala. Angan untuk hidup bersama dengan seorang Wina lebih menang menguasai jalan pikirnya ketimbang angan mengajari anak-anak kecil itu. Ia ikut mengembara menyusul Wina tanpa tahu alamat tempat tinggal Wina. Yang ia tahu Wina hidup dalam negeri Paman Sam sana. Ia tak gentar akan resiko kehilangan pendidikannya.
Dalam pesawat semakin membuatnya lega setelah mendapat kekangan keluarga. Yang terpikir hanyalah Wina seorang gadis yang mengusik dirinya. Ibuku hanya salut penuh kecewa melihat kakaknya yang tak bernalar dan begitu bodohnya. Kakaknya sudah berusia 21 tahun dan memang sudah tak bisa dibilang anak kecil. Lagi pula mencari Wina memang sudah menjadi keputusannya. Kala itu ibuku masih muda belia dengan usia 19 tahun. Seluruh keluarga melepas kepergian pakdheku dan menduga akan hanya butuh waktu satu bulan untuk pakdhe menemui Wina lalu sudah hilang rasa rindunya terhadap kekasihnya.
Namun keluarga salah dugaan. Anak lelaki satu-satunya mereka justru lupa jalan pulang menuju Indonesia. Satu bulan, dua bulan keluarga menunggu di pintu depan rumah, tak juga anak lelaki itu menampakkan batang hidungnya.
“Memang kita harus kehilangan satu anak laki-laki. Dia sudah bahagia dengan kekasihnya. Biarkan dia menentukan jalan hidupnya. Dia laki-laki. Dia sudah dewasa. Tak pantaslah jika kita mengekangnya.” Ucap kakek yang kala itu masih menjadi kepala keluarga.
Pakdhe memang sudah buta karena cinta. Dia melupakan keluarga dan pendidikan di tanah tempat dilahirkannya. Janji yang terucap memang satu bulan namun dalam kenyataan sudah hampir satu tahun ia membuat keluarga cemas tanpa kabar. Dalam dunia memang seperti ini, susah untuk janji agar sama dengan bukti . Berat keluarga melepasnya dan berat pula mereka menantinya. Rasa putus asa keluarga semakin menjadi setelah satu tahun lebih kakak dari ibuku tak kunjung datang.
Ingin bagi ibuku mencari kakaknya di negeri sana. Namun keluarga mengekang, takut kalau-kalau ibuku akan bernasib sama dengan kakaknya. Sangat disesalkan memang jika anak terpandai dalam keluarga harus hilang tanpa kabar. Kepergiannya hanya membuat sakit keluarga terlebih bagi ayah dari ibuku. Kesehatannya yang menurun karena penyakit gulanya. Kehilangan satu petak sawah untuk sekolah anaknya tak berarti apa pun jika harus kehilangan anak. Pikiran tentang kakak dari ibuku hanya menyusutkan daging di tubuhnya. Ia semakin kurus dan semakin lemah.
Pakdheku memang nekat. Ia harus hidup di negeri orang selama satu tahun tanpa arah dan tujuan kecuali Wina.  Tapi naas, bukan Wina yang ia temui, melainkan obat-obat terlarang itu. Ia mau saja menjadi tukang cuci piring demi obat yang hanya membunuhnya secara pelan. Sudah gila pakdhe ini. Pernah juga ia kehabisan uang, sehingga mengharuskan menerima saja tawaran menjadi model sebuah pakaian wanita. Pakdhe begitu saja tak berpikir panjang. Ia menyalahi adat. Tak ada sifat kejantanannya sehingga mau berpakaian wanita.
Memang jauh selisih pengahasilan tukang cuci piring dengan model wanita. Pakdheku tak mau menjadi amatiran. Ia mau lebih mendalami dan sepenuh jiwa untuk bekerja. Hasrat butuh uang di negeri orang akan lebih terpenuhi jika penghasilannya besar pula. Bukan menjadi tukang cuci piring. Ia mau saja mendapat perintah manajernya menjadi wanita seutuhnya. Ia mau operasi transgender. Kini Sandi Laksmono sudah hilang ditelan bumi. Ia telah berganti nama menjadi Santi Lasmini, wanita cantik dengan keanggunan berbusana wanita. Ketelitiannya menjadi hilang jika nantinya Wina tak mengenalinya. Namun biarkan karena Wina tak juga ia temui.
Akal warasnya yang kian menurun semakin saja menjadi. Ketika hatinya harus remuk dan hancur berkeping-keping. Ia seakan mau mati dan depresi yang amat sangat. Hingar-bingar kota New York menjadi kelam dan penuh murka. Tak ada lagi asanya untuk hidup. Obat penenang bahkan tak mampu karena sakit hatinya yang terlalu. Tapi ini kenyataan yang harus dihadapi pakdheku. Ketika Wina yang ternyata masih mengenalinya, Sandi Laksmono yang begitu ayunya menjadi Santi Lasmini, seorang model busana wanita di kota ini. Namun pertemuan di sebuah kafe itu bagaikan sebuah peristiwa penuh sambaran petir yang mengenai pakdheku. Bagaimana tidak jika harapan pakdheku hanya sia-sia. Bukan karena statusnya yang sudah menjadi wanita tetapi karena status Wina yang sudah bersuami. Bahkan masa lalunya bersama Sandi sudah tak dikenang lagi. Rasa cintanya sudah pudar sedari kakinya pertama kali menginjak di tanah Paman Sam.
“Pakdhe ayo minum obat?” Pintaku terhadapnya.
“Sudah tak ingin. Biarkan aku sakit saja. Lagi pula menjadi gila itu sudah keputusanku. Usiaku sudah tua. Padahal ingin aku tetap menajadi pengikut hidupnya. Sebenarnya sangat bisa jika aku masih menikahi Wina. Memang tak boleh wanita menikahi seorang wanita. Wujudku memang wanita namun batinku masih pria. Kamu juga boleh menikahi seorang wanita jika perasaanmu kau ubah layaknya pria. Untuk apa HAM? Jangan bodoh kau manusia. Sudah biarkan aku mengajari anak-anak ini. Sudah rindu rupanya mereka terhadap gurunya.”
Sudah tak sanggup aku hidup dengan orang tua gila ini. Namun harus ikhlas dan rela kumenerimanya. Jika aku meninggalkannya hanya akan menambah penderitaanya. Ditinggalkan kekasihnya 25 tahun yang lalu sudah sangat pedih untuk ia jalani apalagi aku tinggalkan, semakin kelamlah kisah hidupnya. Bahkan untuk hiburannya menakuti anak-anak tetangga menjadi kesibukannya sendiri.
Sejak ia tahu bahwa kekasihnya telah menikah dengan orang lain, ia menjadi sinting dan tak tahu jadi dirinya. Bahkan karena kebaikan teman Wina yang mau mengantarnya ke Indonesia sudah cukup berjasa untuknya. Tak mungkin untuknya hidup sendiri dengan penyakit kejiwaannya di Amerika sana. Aku sangat berterimakasih dengan orang yang mengantarkan pakdheku itu. Ia adalah bapakku, suami dari ibuku. Dari Amerika, ia harus menetap di sebuah rumah sakit.
Sakit hatinya memang terlanjur parah sehingga membuatnya tak ingin menikah. Ia tak punya anak sehingga harus aku yang menjadi keponakanya harus bersedia merawatnya. Biarkan ini menjadi kisahnya dan sudah tak mungkin lagi untuk diubah. Sulit pula buatku untuk memanggilnya. Jika aku panggil “Budhe” bisa dibunuh aku karena marahnya. Namun jika aku memanggilnya “pakdhe” pasti aku dikira orang buta. Ini hanya akan aku simpan dan sedikit membawa pelajaran untukku. Pelajaran dari pakdhe semasa menjadi pengikut di hidup seseorang. Ini juga memberitahuku bahwa cinta ada bukan untuk membuat kita buta melainkan cinta ada untuk kita bahagia meskipun sebatas memandang dia bahagia.
TAMAT

Tag = #Cerpen Cinta #Cerpen Sedih #Cerpen Kesetiaan #Cerpen Perjuangan Cinta #Cerpen Bahasa Indonesia

Tidak ada komentar: