Aku masih bingung harus berbuat
apa-apa. Disaksikan berlembar-lembar kertas yang berserakan tak beraturan, aku
masih termenung dalam kamar berukuran 3m x 3m. Ruangan ini benar-benar pengap dan
jenuh aku memandangnya. Setelah hampir enam tahun aku bersemayam dalam kamar
ini. Sampai baunya benar-benar khas minyak wangiku.
Aku benar-benar merasa sendiri dan tak
ada satu pun yang memberi semangat kepadaku. Teman-temanku satu-persatu telah
pergi dengan gelar mereka masing-masing. Sedangkan aku di sini masih mengemis
waktu perpanjangan. Aku masih terlalu sulit mencari makna tugas akhir. Jelas
iya, melupakan kenangan indah di kampus ini saja aku kesulitan.
Setelah dikecewakan dua tahun yang
lalu oleh seseorang yang aku kira dia adalah tempat terakhirku berlabuh. Kita
menjalin hubungan sejak kami masuk di kampus ini bersama. Sifatnya ketika itu
yang lugu benar-benar menipuku hingga membuatku terperosok dalam jurang begitu
dalam. Hingga menyulitkan aku untuk berdiri dan mengayuh untuk bangkit.
Ketika itu adalah musim di mana semua
angkatan mulai dikejar waktu untuk segera menyelesaikan tugas akhir. Iya,
tepatnya dua tahun yang lalu ketika kami sedang di semester delapan. Aku
sengaja tidak langsung untuk menyelesaikan tugas akhirku. Aku ingin membantu
calon suamiku terlebih dahulu agar tugas akhirnya lebih selesai duluan. Ini
seakan bukan tugas akhir, tapi tugas kelompok yang berkedok tugas akhir. Bagiku
tak apa-apa, toh dia laki-laki dan sudah sepantasnya dia harus segera lulus dan
mendapatkan pekerjaan untuk bekal hidup kami berdua.
Tapi persepsiku salah. Yang aku kira
pengorbananku untuk hidup kami berdua justru hanya ia nikmati seorang.
Rencanaku hanya tinggal rencana. Ketika di hari wisudanya seharusnya aku yang
berdiri di samping bersama kedua orang tuanya. Tetapi ternyata tidak. Hari itu
adalah hari yang begitu mengerikan. Dia mengenalkan kepadaku seorang gadis yang
ternyata baru satu minggu ia lamar. Betapa teririsnya hatiku saat itu hingga
saat ini. Kenangan itu membuatku jatuh tak sanggup berdiri. Betapa bodohnya aku
saat itu.
Tetapi ternyata pengalaman pahit itu
tak secara sempurna aku telan. Aku justru semakin terpuruk dan berlama-lama tak
segera mengerjakan skripsiku. Seharusnya ada dia yang ikut membantuku. Tetapi
mana mungkin. Karena sekarang dia telah memiliki seorang anak yang cantik juga
seorang istri. Bahkan undangan pernikahannya masih aku tempelkan di dinding
kamarku. Aku di kota ini hanya numpang bermain meskipun siang hari aku bekerja
untuk menghilangkan penat. Jangan tanya sampai mana skripsiku, memikirkan tema
apa yang tepat saja aku belum.
“Kring...Kring...!” Suara handphone
menandakan telpon masuk tiba-tiba terdengar. Lalu aku lihat di layar dan
ternyata ibuku ingin berbicara kepadaku.
“Hallo, Assalamualaikum Bu!”
“Waalaikumsalam Nak.”
“Ibu apa kabar?”
“Sudah Nak, jangan berlama-lama. Kapan
Kamu akan mencari pekerjaan? Ingat lhoh Nak kamu perempuan. Jangan lama-lama
sekolahnya.”
“Iya Buk ini juga udah mau kelar.”
“Sudah sering kamu bicara seperti itu.
Tapi nyatanya.”
“Tetapi Bu. Santai dulu. Sedang
mengumpulkan mood.”
“Ingat Nak. Bapak sudah tua. Ibu juga
nggak mau nasib kakakmu dulu juga menimpamu. Ayolah Nak. Semangat. Bapak dan
Ibu udah seharusnya menikmati uang kami untuk masa tua kami. Tidak lagi
ngurusin uang kuliah anak kami.”
Potongan percakapan dalam telepon
benar-benar membuatku ingin meneteskan air mata. Selama ini aku memang anak
bungsu dari kedua orang tuaku. Tak seharusnya aku membuatnya kuatir.
Skripsi bagaikan hidup dan mati
mahasiswa tingkat akhir. Ibarat perlombaan lari ia seperti garis finish yang
harus dilalui mahasiswa yang ingin mendapat gelar sarjana. Semakin lama ia
ditunda, semakin saja ia menikam hati. Tetapi semakin cepat ia dikerjakan,
semakin cepat masanya menyiksa batin. Sayangnya, cukup sulit menumbuhkan rasa
semangat itu. Padahal orang tua menagih, tetangga bertanya, dan teman-teman
mengajak, namun semuanya jelas bersumber dari pelaku. Pada saat itulah gejolak
batin memuncak. Mana yang harus didahulukan, antara rasa malas atau rasa sayang
keluarga.
Aku jadi teringat cerita kakakku yang dahulu
menempuh semester akhir di jurusan akuntansi di universitas negeri yang sama
denganku. Keinginannya tak begitu muluk-muluk, hanya cukup menjadi lulusan
tercepat. Tak perlu menjadi lulusan terbaik karena IPK tak mungkin memadai. Untuk
mewujudkan keinginannya itu, semangat api selesaikan tugas ini kian membara.
Hidup menjadi anak kampus akan segera diselesaikan. Bimbingan dengan dosen tiap
hari, berlama-lama menghadap layar laptop, serta bolak-balik ke lokasi untuk
mencari data masih setia ia upayakan.
Tapi kenyataannya, keinginan sejak
kecil menjadi seorang Pegawai Negeri Sipil muncul bersamaan. Kebiasaan kakakku
yang memang sejak dulu mencoba lowongan CPNS kembali muncul seperti yang
sudah-sudah. Pikirnya telah beralih haluan. Pikirnya, jika hanya lulusan SMA
saja sudah bisa menjadi seorang PNS, mengapa harus berlama-lama menempuh
pendidikan tinggi. Konsentrasi menjadi terpecah antara selesaikan tugas akhir
atau persiapan tes CPNS. Meskipun sebenarnya fokus utama tetap pada lowongan
CPNS dan membiarkan skripsinya menunggu hingga berbulan-bulan.
Sayangnya, kakakku dinyatakan gagal
dari tes CPNS. Sedangkan nasib skripsinya juga terombang-ambing dan tak tahu
ujung-pangkalnya. Ia tak tahu lagi harus memulai dari mana. Mengorbankan hal
lain demi fokus terhadap prioritas utama juga dibenarkan. Tetapi jika keduanya
sama-sama gagal, ini yang perlu disayangkan.
Akhirnya membiarkan dirinya sama
sepertiku saat ini. Hidup tanpa tujuan di kota orang dengan biaya hidup mahal.
Pamit kepada kedua orang tua ingin kuliah tetapi kenyataannya hanya numpang
bermain. Rasa malas telah bersarang hingga memakan tahun.
Kala itu, uang semesteran masih
menagih sedangkan kedua adiknya juga menempuh bangku kuliah di kota yang sama.
Kakakku ini seperti buronan. Buronan orang tua yang menagih gelar serta dosen
yang terus menagih karya pikirnya.
Pikiran yang bingung karena sudah tak
tahu sampai dimana skripsinya terpaksa harus mengulangnya dari awal. Usia
menjadi anak kampus yang sudah terlalu tua apalagi sudah menginjak di semester
tiga belas. Keluarga yang terus bertanya ditambah kedua adiknya yang juga sudah
ingin menyusul membuatnya tak ingin lagi berlama-lama. Kehidupan menjadi
buronan tak mungkin lagi terus dijalani. Bukan keinginan lulusan tercepat atau
ingin lagi melanjutkan pendidikan S2, melainkan hanya ingin terhindar dari
ejekan keluarga, segera mendapat gelar, dan mendapatkan pekerjaan. Apalagi
kakakku ini laki-laki.
Kini harus dibuat target
matang-matang. Skripsi kebut sebulan dan membuatnya tidur cukup satu jam
perhari. Kali ini sudah ada di pengawasan kedua orang tua. Dukungan dari keluarga
yang terus berdoa, serta adik-adiknya yang selalu betah membuatkan secangkir
kopi untuk sekadar menghilangkan rasa kantuk atau menambah inspirasi. Memang
seperti terlihat memaksa tapi jika tidak dilakukan demikian tak mungkin skripsinya segera selesai.
Tetapi alhamdulillah perjuangannya
kurang tidur selama satu bulan menghasilkan. Bimbingan empat kali dan harus
bolak-balik Jakarta-Yogyakarta telah membuatnya dinyatakan lulus. Kini kakakku
telah bekerja di sebuah bank swasta dan sedang persiapan melanjutkan
pendidikannya ke jenjang S2. Memang pada kenyataanya hidup harus terfokus pada
satu hal dan menunda-nunda pekerjaan hanya akan membuat pikiran tak tenang. Karena
sebenarnya semuanya akan selesai hanya karena niat, doa, serta perjuangan
keras.
Mungkin ini yang memang harus aku
jalani. Aku harus semangat dan tidak lagi ingin membuat orang tua khawatir. Aku
tak ingin seperti kakakku dulu. Pada masanya kakakku yang berjuang aku pun tak
tega melihat betapa cemasnya orang tua kala itu. Dan mungkin ini sama yang
mereka rasakan. Aku bukan lagi anak kecil yang harus disuruh untuk berbuat
kebaikan demi diri sendiri. Jika pun harus dihitung materi mungkin sudah banyak
yang dikeluarkan keluargaku mengingat orang tuaku hanyalah pemilik toko
kelontong.
Terkadang suatu hal memang bisa
selesai hanya dengan waktu. Mereka akan selesai hanya dengan berputarnya waktu
tanpa membutuhkan tindakan dari sang pelaku. Tetapi tidak dengan urusanku saat
ini. Dia membutuhkan upayaku. Pengalaman yang pahit dan suram sudah tidak asing
di telinga orang. Sudah pasti mereka merasakan hal yang demikian. Hanya tinggal
bagaimana aku menyikapi segala permasalahan yang ada. Jangan sampai ada kata
kenangan memperberat langkah. Pengalaman masa lalu, saat ini, dan yang akan
datang ialah suatu moment. Yang sudah pasti akan berpusat bagaimana aku
memaknainya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar