Tak
jenuh-jenuh kupandangi indahnya alam yang menyapa. Mengajarkanku bagaimana aku
harus bersyukur dan mengakui kekuatan-Nya. Tak ingin aku segera beranjak dari tempat ini dan menyiakan moment emas ini begitu
saja. Burung-burung kenari berterbangan bermain seperti bocah desa yang masih
polos. Dengan gembiranya mereka bersiul menyapaku yang tengah berdiri dengan
santainya, seperti ingin mengajakku bermain. Biru warna langit di ujung atas sana
sejauh aku memandang. Benar-benar tanpa ada asap kelabu yang merisau
penglihatan. Hidungku dimanja dengan hirupan aroma terapi alam, sebuah sejuknya
udara pagi. Bibirku semakin mudah melemparkan senyuman tulus dan penuh bangga
memandang alam di sekitar daerah sini. Benar-benar asri desaku ini. Ini yang
aku mau dari desaku yang terus-terusan hijau, subur, indah, dan permai. Para
petani kembali menyapaku dari beberapa arah. Mereka tengah sibuk dengan sawahnya
yang penuh padi yang menunjukkan untuk segera dipanen. Kubalas mereka dengan
lambaian tangan penuh anggunnya.
Aku
sudah sering bermain ke tempat ini. Ayahku adalah seseorang yang mendapat
julukan juragan padi di desa ini. Sawah terbesar dengan suburnya tanah di sana
telah dimiliki ayahku. Ia sudah tua namun tak gentar mengelola sebidang tanah
seluas ini. Untung ada dua anak muda yang setia membantunya dengan upah
sewajarnya. Ada gazebo di ujung sana menjadi saksi keletihan ayah mengelola
padi. Itu akan terbayar di saat musim panen tiba.
Saat
ini ia datang mendekatiku dan memukul pundakku secara halus. Aku tak bisa menutupi
perasaanku saat ini.
“Andai
saja tidak ayah jual kala itu mungkin tidak menjadi seperti ini.”
“Bukan
seratus persen salahku. Masih saja kau belum memahami betul. Aku hanya ingin
kalian masih hidup. Biarkan penguasa itu bahagia toh kita yang menderita sudah
cukup senang dengan utuhnya keluarga kita.”
“Tapi
ayah tidak dewasa. Pilihan memang sulit tapi ayah justru berpikir keliru saat
itu sehingga menjadikan ayah hanya memikirkan nasib keluarga ayah saja. Tanpa
mau pikir panjang. Masih ada hal lain Yah seperti nasib alam kita.”
“Ayah
kala itu kalut karena mendengar ancaman rereka yang akan membunuh kita semua. Tanpa
ragu maka kala itu aku serahkan saja tanah ini dengan harga murah. Kamu masih
ingat Pak Bani yang kakinya hanya tinggal satu? Itu juga karena ulah mereka.
Mereka tidak hanya nekat Nak, tapi juga kejam dan tak main-main terhadap
ancaman mereka. Ayah takut jika itu juga akan terjadi padamu.”
“Mana
mungkin aku? Mereka sangat baik terhadapku kala itu”
“Kamu
belum paham sandiwara Nak. Kala itu kau masih terlalu kecil dan untuk saat ini,
di saat usia dewasamu sekarang mungkin kamu sudah lupa. Mereka akan membuat
kapok dan tak berkutik semua orang yang menghalangi niat busuk mereka. Termasuk
aku dan keluargaku, temasuk anak-anakku. Jika aku masih tak ingin berikan tanah
ini ke mereka mungkin nasib kita akan jauh lebih buruk dari Pak Bani. Sudah
begitu tetap saja tanah ini jadi milik mereka.”
“Tipe
ayah yang kuat menjadi gentar sehingga semudah itu menyerahkan tanah ini ke
mereka tanpa berpikir panjang. Lalu bagaimana nasib anak cucu kita nantinya
jika semua dikuasai bos-bos besar?”
“Sudahlah
Nak hentikan! Kau belum pernah berada di posisi ayah saat itu. Kau masih terlalu
kecil dan belum berkeluarga sehingga tidak tahu bagaimana rasa cinta kepada
keluarga.”
“Kepada
keluarga? Lalu Ayah siapaku? Bukankah Ayah juga keluargaku?”
“Maksudku
anak-anakku Nak! Hentikanlah Nak. Peristiwa itu sudah 15 tahun yang lalu.”
Ah
sudahlah ini adalah perdebatan yang tak berguna. Semuanya sudah terlambat dan
tak mungkin terulang kembali. Alam yang menyelimuti masa kecilku dulu sekarang
telah tiada. Memang sangat berbeda saat kutengok saat ini. Sudah tak ada lagi
tanaman hijau itu. Tanah yang sudah rata dengan bekas bangunan. Mereka yang
seharusnya menanggung resiko malah diserahkan ke buruh-buruhnya yang langsung
menerima imbasnya dari keserakahan mereka. Bos-bos besar hanya kaya harta tapi
tak sedikit pun mereka memiliki hati nurani.
Ceritanya
dimulai dari para petani yang diteror setiap hari. Siang dan malam mereka
mendapat ancaman agar mau menyerahkan tanah mereka ke investor. Awalnya ayahku
sama sekali tak gentar dan takut terhadap teroran mereka. Ayahku mengabaikan
begitu saja. Ayahku adalah panutan warga. Luas tanahnya yang berkali-kali lipat
dari pada yang lain membuatnya lebih disegani warga dan omongannya selalu
didengar dan dipertimbangkan. Jika ayahku akan jual tanahnya, semua warga juga
akan jual tanahnya. Begitu juga ketika ia tetap bersikukuh tak ingin jual
tanahnya maka semua warga pun juga begitu.
Tapi
semua itu tak berlangsung lama. Ancaman yang dikira hanya omongan besar semua berubah
menjadi kenyataan yang benar-benar terjadi. Para petani disakiti fisik secara
sembunyi-sembunyi. Tidak hanya itu, banyak penduduk kehilangan rumahnya karena
dibakar oleh pengusaha nakal dan curang ini. Uang telah meniadakan nurani
mereka. Ketegaran warga semakin goyah dan tak tahan dengan siksaan para teroris
kapital itu. Juga ketika kaki seorang sahabat karib ayah telah mereka renggut. Ayahku
adalah seorang pemimpin yang harus mengambil pilihan yang sulit. Pikirannya tak
ingin anak-anak serta keluarganya menerima imbasnya. Ayahku terlalu khawatir
ketika aku, Sabila, Vani, dan Budi sering diberi makanan dan uang. Pertama
mereka datang dan terlalu baik perilaku mereka terhadapku membuat aku tak
percaya bahwa orang dari kota itu begitu kejam dan pengecutnya. Tapi ayahku
dengan rasa was-wasnya tidak demikian. Ia sangat khawatir anak-anaknya, aku, Sabila, Vani, dan Budi akan diracun
dengan uang dan makanan pemberian mereka.
Singkat
cerita ayahku menyerah dengan ancaman mereka. Takut terjadi apa-apa. ia menerima
uang yang nominalnya sangat kecil dan tak sebanding dengan luas tanahnya ang
diberikan. Uang memang seperti raja dan mengalahkan mereka yang hina sehingga
terjerumus dalam lubang berlumuran dosa. Hijau padi yang menghiasi luas tanah
yang luasnya berhektar-hektar mereka ganti dengan pabrik polusi yang begitu
megahnya. Udara telah menyelimuti atmosfer kami. Gemuruh suara mesin giling
yang begitu bisingnya memecahkan gendang telinga kami dan warga. Sampai-sampai
tak tahan kami mendengarnya. Juga pernapasan kami yang semakin susah. Terlebih
masih banyak mereka yang sedang membutuhkan masa pertumubuhan yang bagus dan
kasihan anak-anak kecil di sini, di desa kami. Warga kecil yang tak berdaya semakin
tak leluasa menetap di sini. Satu per satu pergi meninggalkan tempat kenangan
ini. Mereka tak ingin membangunkan tempat perlindungan di desa industri ini. Akibatnya
pekerja telah diganti. Mereka yang seharusnya adalah warga kami, diganti dengan
orang luar sana dengan modal tenaga, KTP, dan ijazah SMA atau sederajat.
Akhirnya
desa kami yang dulunya sesak oleh kekayaan alam yang melimpah kini penuh dengan
rakyat pendatang yang mencari penghasilan. Aku dan keluargaku memutuskan ikut meninggalkan
tempat lahir kami dan mencari tempat yang lebih nyaman dan bersahabat. Lagi
pula kami di sini sudah tak berhak dan tak punya apa-apa. Biarkan mereka yang
bahagia dan menikmati usaha keras dan liciknya. Kemajuan jaman sudah kita alami
dan mungkin sangat ketilnggalan jika desa kami masih saja bertani. Jika saja
mereka tahu betapa besar kami bergantung terhadap luas tanah itu hingga setiap
bulan kami menanti. Sabar kami tiada hasil dan mungkin hidup di lingkungan lain
bisa saja memberi kesempatan kami untuk bertanam. Yang aku bingungkan kita
hidup di lautan ruangan. Mungkin ini saatnya kami harus berbagi ruang untuk
menghirup meskipun kami harus merelakan udara yang kita punya. Kami harus
memulai dari nol mencari udara untuk menghirup dan awal kehidupan.
Ingin
sebenarnya aku mengenang masa lalu dengan bernostalgia dengan lingkungan
kecilku. Bukan hanya indahnya desa cocok tanam yang tidak kujumpai, bahkan
megahnya bangunan pabrik tidak juga kujumpai. Tanah yang meluas dengan asrinya
telah berubah menjadi negeri industri, namun aku tinggal menuju dewasa rupanya
juga telah berubah menjadi hamparan yang meluas dengan puing-puing bekas
bangunan. Api telah meluluh-lantakkan bangunan ini. Mungkin ini sebagai teguran
dari Tuhan setelah apa yang mereka lakukan terhadap kami. Mereka rebut tanah
kami secara paksa, sekarang mereka berikan saja usaha mereka ke Tuhan. Buruh
pabrik harus menerima akibatnya. Banyak yang sibuk bekerja ketika api itu menghabiskan
bangunan dan seisinya sehingga tubuh mereka juga ikut habis dimakan api.
Investor merugi bertrilyun-trilyun dan tak tahu mau kemana mencari gantinya.
Mereka yang sabar bisa saja menerima dengan lapang dada tetapi ada juga mereka
yang memilih mengakhiri hidupnya dengan memotong tangan mereka sendiri. Mereka
sudah lupa dengan Tuhan yang memberi mereka nyawa. Inilah alasannya karena
mereka sudah cukup pusing karena menghitung gepokan uang di brankasnya selama
ini.
Masa
lalu susah untuk diulang. Alam yang subur telah mereka renggut sehingga menjadi
rusak tanpa bisa mereka kembalikan seperti semula. Alam marah karena ulah
manusia yang serakah membuatnya rusak poranda. Hidup itu akan seperti ini jika
manusianya masih serakah dan tak ada lagi tepa selira dengan alam. Uang yang
terbuat dari logam atau kertas seakan membuat mereka lupa dan ingin terus berbuat
lebih. Itulah sifat manusia. Alam yang hanya bisa dikelola telah dikalahkan
dengan logam dan kertas berisikan nominal ciptaan manusia. Logam dan kertas
telah merusak alam. Kini giliran alam yang berkuasa dana membalas sakit hati
juga perih yang mereka rasa.
TAMAT
Tag
= #CerpenAlam #CerpenBahasaIndonesia #CerpenNasihat #CerpenPenyesalan
#CerpenKeluarga
Tidak ada komentar:
Posting Komentar