Sebagai penerus bangsa, usia muda perlu dipersiapkan sedemikian
rupa untuk mencapai kualitas tertinggi dalam rangka mencapai kemajuan bangsa.
Salah satu persiapan terefektif yaitu dengan pendidikan. Seperti termuat dalam UU RI No. 2 Tahun 1989 tentang Sistem
Pendidikan Nasional (Sisdiknas) yang disebutkan bahwa pendidikan adalah usaha
sadar untuk menyiapkan peserta didik melalui kegiatan bimbingan, pengajaran,
dan latihan bagi peranannya di masa datang. Hal ini merujuk langsung bahwa
seolah-olah pendidikan sebagai hal wajib yang harus ditempuh oleh penyandang
usia muda di Indonesia. Secara formal, hal itu terlaksana dalam jenjang
pendidikan dari Taman Kanak-Kanak sampai Perguruan Tinggi. Dukungan pemerintah sudah
terangkum dalam gerakan Wajib Belajar Dua Belas Tahun.
Apa yang diperoleh dari usia kanak-kanak hingga remaja akan
sangat berpengaruh terhadap kehidupan dewasanya nanti. Hal ini terjadi karena
kesadaran manusia mulai meningkat. Diperlukan pendidikan yang menyenangkan bagi
mereka sebagai subyek pendidikan. Mengingat usia muda memiliki memori otak yang
sangat tajam sehingga ingatan tentang pengalaman akan tersimpan lebih lama. Hal
ini menimbulkan konsekuensi bahwa apa yang diperoleh saat usia ini akan sangat
berpengaruh terhadap masa depannya nanti.
Diperlukan langkah yang terencana secara sadar untuk
menghilangkan kesan bahwa belajar adalah sejarah suram di usia muda peserta
didik. Sedikit menyinggung Model Pembelajaran PAKEM (Partisipatif, Aktif,
Kreatif, Efektif, dan Menyenangkan), pendidikan harus menerapkan aspek learning is fun dengan upaya memotivasi
siswa untuk terus belajar. PAKEM berasal dari konsep bahwa pembelajaran harus
berpusat pada anak (student-centre
learning) dan pembelajaran harus bersifat menyenangkan (learning is fun), agar mereka termotivasi untuk terus belajar
sendiri tanpa diperintah dan agar mereka tidak merasa terbebani atau takut. (
Rusman, 2010:321).
Tetapi rupanya model PAKEM hanya tinggal konsep yang sebatas
tertulis dengan tinta. Meski tak layak dibilang sedikit, tetapi masih banyak
sekolah yang menerapkan pendidikan adalah proses berlangsungnya pelampiasan
wewenang seorang guru terhadap siswa. Siswa merasa takut dan terbebani akan
proses pendidikan.
Kesan anak bodoh menjadi hal yang wajib dihindari seluruh siswa.
Siswa
berlomba-lomba mencari nilai terbaik meskipun harus ditempuh dengan jalan
curang. Tuntutan dari berbagai pihak untuk mendapatkan peringkat pertama,
diterima kerja dengan gaji besar, atau diterima di sekolah lanjutan atau
perguruan tinggi favorit ikut menjadi alasan utama akan hal ini. Inilah potret
pendidikan di Indonesia yang seakan belum lengkap tanpa aksi saling contek
terutama saat Ujian Nasional. Contoh yang nyata terjadi di saat pelaksanaan UN
hari kedua pelajaran Matematika di sebuah SMA swasta di Indramayu dan sekolah
lainnya. Hal ini sudah jelas disebabkan oleh rasa takut. Imbas langsungnya
menyebabkan pendidikan menjadi proses yang menyeramkan dan mengiyakan kekuatan
nilai ijazah berkuasa. Logika orang-orang sudah beralih dari pendidikan sebagai
proses menuntut ilmu menjadi proses pencarian nilai dan mutu tersurat.
Kasus kekerasan seorang guru terhadap siswa juga kian menjamur
di Indonesia, termasuk kasus bulling
dari senior terhadap junior. Masih ada kesan bahwa guru adalah manusia dengan
kekuatan super power yang berlakon
seolah-olah menjadi bos bagi siswa. Siswa menghormati guru karena takut bukan
karena segan. Hal ini menggambarkan masih banyak guru di Indonesia yang tidak
begitu terampil mencerminkan kompetensi kepribadian.
Seakan mimpi buruk bagi pelajar di Indonesia
yang dipaksa untuk belajar 42 jam perminggu atau 1680 jam pertahun untuk SMP
dan SMA. Tentunya ini sangat menyiksa psikologis para murid yang lazimnya hanya
memiliki efektifitas berlajar dalam waktu 1/6 x 24 jam atau setara 4 jam
perhari. Jika terjadi demikian masih ada pertanyaan mengapa adanya sistem
belajar lima hari dalam seminggu. Siswa harus belajar dari jam 07.00 pagi
hingga pukul 16.00. Belum lagi tugas dan pekerjaan rumah yang segudang. Siswa
harus kehilangan waktu bermainnya dan seperti merasakan capeknya karyawan yang
bekerja lembur. Belum lagi siswa juga harus kehilangan waktu belajarnya di
malam hari setelah kemampuan otak dan tenanganya dihabiskan di sekolah siang. Efeknya
siswa merasa dipaksakan dan mengaggap pendidikan sebagai latihan mental buruh.
Betapa tidak efektifnya waktu belajar murid di
Indonesia. Waktu belajar memang tinggi dalam hal kuantitas namun masih rendah
dalam hal kualitas. Siswa yang notabenenya hanya bisa menurut tidak bisa
mengelak sistem pendidikan yang sudah terlanjur salah kaprah. Sistem yang
dinilai kurang efisien karena unggul dalam hal jumlah namun masih tidak
kompeten dalam hal mutu. Sangat memprihatinkan jika pada tahun 2011 UNESCO
telah memutuskan Indonesia berada di peringkat 69 dari 127 negara.
Kompetensi guru di Indonesia juga masih
dibilang rendah. Metode seorang guru dalam mengajar murid hanya itu-itu saja. Meskipun
cara mengajar guru satu dan guru lain berbeda namun masih dibilang sangat
monoton. Akhirnya murid merasa bosan dan mencapai puncak kejenuhan. Selain itu,
banyak guru di Indonesia yang hanya mampu mencerdaskan siswa sebatas pada tingkatan
knowledge. Siswa dipaksa menghafal
dan mengingat materi yang seabrek tanpa paham arti dan maksud apa yang dihafalkan
tersebut. Menurut taksonomi Bloom tingkatan knowledge
adalah tingkatan paling rendah dan masih jauh dari taksonomi-taksonomi belajar
di atasnya. Alhasil siswa hanya cerdas pada saat menjelang ujian saja dan
melupakan apa yang dipelajarinya setelah ujian selesai. Siswa menjadi sungkan
belajar jauh hari sebelum ujian karena takut lupa. Hal ini menyebabkan tidak
asing lagi istilah SKS atau Sistem Kebut Semalam.
Sistem pendidikan yang merampas kebahagian para
usia muda harus segera diusaikan. Tuntutan mendapat nilai bagus, kekerasan
dalam dunia pendidikan, beban belajar yang terlalu tinggi, serta keharusan
menghafal materi yang terlalu banyak sangat mengganggu jiwa psikologis peserta
didik. Jangan lagi ada istilah MKKD atau Masa Kecil Kurang Bahagia. Jika
diberlangsungkan terus-menerus akan mengganggu keberlangsungan hidup generasi
muda di masa mendatang. Tidak aneh jika masih banyak koruptor yang
berterbangangan serta setumpuk kasus kekerasan dan kriminalisasi. Konsekuensi
logisnya adalah Indonesia akan terus mencetak para generasi dengan mental buruh
yang kental. Generasi yang siap disuruh
di derasnya persaingan zaman.
Peningkatan Kompetensi Guru
Seorang guru mempunyai empat kompetensi
mengajar, diantaranya kompetensi profesional, kompetensi pedagogik, kompetensi
kepribadian, dan kompetensi sosial. Semua kompetensi harus benar-benar dikuasai
guru agar kegiatan belajar mengajar dapat berjalan lebih efektif dan efisien.
Dibutuhkan kemampuan guru dalam menguasai
materi pelajaran secara meluas dan mendalam. Seorang guru harus mampu memahami
karakter peserta didik. Tidak semua peserta didik memiliki konsentrasi belajar dalam
jangka waktu yang lama dan tidak semua peserta didik memiliki daya hafal yang
tinggi. Jika demikian tentunya tidak dibenarkan jika penguasaan peserta didik
terhadap materi hanya sampai tingkat hafalan. Jika nantinya ilmu yang
dipelajari saat ini hanya untuk dilupakan rasanya pendidikan terkesan percuma.
Siswa harus mampu menguasai materi pelajaran dari tingkatan knowledge, comprehenssion, aplication,
analysis, syntesis, hingga evaluation.
Semua itu sudah jelas merupakan tugas dan tanggung jawab profesional sebagai
guru. Untuk menghasilkan kualitas lulusan dengan kemampuan hingga evaluation, salah satu cara yaitu dengan
menciptakan suasana belajar yang menyenangkan. Sebagai contoh, guru yang harus
menjadi tauladan yang baik dan menghindari segala bentuk kekerasan di dalam kelas.
Seorang guru adalah figur orang tua di sekolah. Sangat tidak patut jika guru
bertindak secara keras di sekolah karena bisa menimbulkan efek trauma terhadap
siswa. Guru harus bersikap ramah dan sabar dalam menyampaikan materi terhadap
siswa. Berperanlah seperti teman bagi peserta didik. Ini akan menimbulkan kesan
keramahan dalam dunia pendidikan.
Kreativitas Guru dalam Menerapkan Metode Pembelajaran
Guru harus memiliki kemampuan menciptakan
metode pembelajaran yang variatif. Metode pembelajaran yang monoton dapat
menimbulkan efek jenuh terhadap siswa dan hasilnya siswa tidak mudah menyerap
pelajaran. Ciptakan nuansa bermain dalam dunia pendidikan. Metode ceramah yang
terus menerus dapat membuat peserta didik tidak terkesan terhadap pembelajaran
dan sangat berpengaruh terhadap ingatan. Guru bisa menerapkan metode
pembelajaran yang terus berganti dengan memandang bagaimana sifat materi yang
disampaikan. Dimulai dari ceramah, demonstrasi, diskusi, simulasi, pemberian
tugas dan resitasi, karya wisata, tanya-jawab, eksperimen, sosio drama, serta problem solving.
Seorang siswa akan belajar dengan sendirinya
tanpa dipaksa jika kesadaran belajar telah tertanam kuat dalam dirinya. Guru
wajib memberi motivasi belajar kepada siswa agar tumbuh kesadaran belajar.
Pemaksaan justru menimbulkan efek enggan untuk belajar. Salah satu caranya
yaitu dengan menciptakan metode pembelajaran yang menyenangkan serta
menimbulkan efek penasaran terhadap isi dari materi.
Belajar dengan alam akan menimbulkan kesan
positif terhadap siswa. Siswa diberikan beberapa masalah yang relevan dan
menimbulkan efek penasaran. Hal ini akan melatih kemampuan problem solving setiap siswa. Untuk menemukan solusi dari masalah
siswa dapat diskusi, karya wisata, eksperimen, dan cara yang lainnya. Dengan
begitu siswa akan menganggap belajar adalah permainan dan tidak lagi paksaan
yang menjadi beban.
Kemampuan Guru dalam Mengkategorikan Materi
Seorang guru harus mampu menentukan mana materi
yang penting dan mana materi yang kurang begitu penting. Perhatikan dengan
seksama prinsip relevansi, prinsip konsistensi, dan prinsip keajegan. Tidak
semua materi diberikan mentah-mentah kepada siswa agar siswa tidak merasa
kebingungan dan harus belajar sampai pagi saat menjelang ujian. Guru mengajari
siswa materi yang sulit hingga paham betul dan selebihnya memberi motivasi
siswa untuk terus belajar dengan kesadaran sendiri. Membuat mind maping dirasa rumus terjitu untuk
memudahkan siswa belajar. Hafalan sudah tidak zaman dan mulailah mengajak siswa
bagaimana berpikir kritis. Toh, negara ini tidak butuh mereka dengan daya hafal
tinggi terhadap angka-angka atau teks pidato, tetapi mereka yang mampu berpikir
kritis dan paham betul mana yang benar dan yang salah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar