Rabu, 09 September 2015

Cerpen Keluarga : Malam Tumbuh Dewasa Gadis Ibuku

Cerpen Keluarga : Malam Tumbuh Dewasa Gadis Ibuku

Aku tak beranjak dari rasa marahku pada ibuku. Disaksikan kursi sekeliling taman dan gelapnya malam yang mencekam. Aku sengaja keluar malam ini untuk tenangkan diri setelah adu mulut dengan ibuku. Rasa jenuh yang begitu mencekam setelah selama ini harus turuti larangan ibu.

Bayangkan saja selama ini aku tak mengenal siapa diriku, tak mengenal teman-temanku, lingkunganku, dan mereka yang sebenarnya di sekelilingku. Selama ini aku harus berurusan dengan pelajaran di sekolah atau pun cerita fiksi dari buku atau pun film yang sudah diatur oleh ibuku. Jangankan keluar rumah, berdiri di depan pagar rumah saja aku sudah dicegah. Segalanya sudah disediakan di rumah. Makanan yang sudah siap di meja, atau pun seekor kucing yang dia tempatkan sebagai teman berceritaku. Aku sulit menafsirkan mengapa dia berikan aku seekor kucing untuk bercerita yang jelas-jelas tak mungkin baginya mengerti maksudku. Apa oleh ibuku aku hanya seekor kucing yang selalu menurut untuk dipelihara.
Sebelumnya aku disekolahkan di tempat yang elit. Hanya lingkungan mereka, keluarga berkelas yang aku kenal. Pergi dan pulang bersama orang suruhan ibuku. Seorang lelaki separuh baya sengaja mengantarkan aku ke sekolah, seolah aku seperti putri tidur yang tak bisa apa-apa. Aku seperti dipaksa pulang lalu berdiam di rumah dan seolah tak tahu apa-apa di sekelilingku. Mustahil bagiku untuk berani pergi, melepaskan diri dari sergapan si suruhan ibuku.
"Apa Bapak punya anak gadis?" Tanyaku pada bayaran ibuku.
"Iya punya Neng. Seusia Neng. Emang kenapa?"
"Apa Bapak tega jika anaknya dijadikan seperti hewan peliharaan? Apakah Bapak senang?"
"Maaksudnya Neng?" Pikirnya sambil menggaruk kepala. "Ya nggak Neng. Anak kan manusia bukan hewan. Anak adalah titipan Neng." Lanjutnya kembali.
"Itulah Bapak. Omong kosong." Marahku tiba-tiba.
"Lho?" Tanyanya pelan bingung.
"Selama ini aku hewan peliharaan itu. Ibuku pemiliknya dimana Bapak adalah pawangnya. Yang mengaturku atas perintah ibuku." Jelasku setengah marah.
Sejak pernyataanku yang terlontar saat itu, bapak satu anak ini seakan tak enak hati kepadaku. Mungkin tak sepantasnya aku bicara demikian terhadapnya karena bagaimana pun ini bukan salahnya. Hanya salah ibuku yang menempatkan posisinya sebagai seorang diktator ulung.
Aku selama ini ditempatkan dalam sebuah kurungan besi berisi emas. Sebuah ikatan penuh kemewahan tanpa ada kemungkinan pergi dari kurungan itu. Tetapi bagaimana pun aku hanyalah manusia. Manusia yang sudah pasti akan merasa jenuh karena sifat kodratinya.
Ibuku sibuk mencari materi lalu ia berikan materi itu terhadapku. Seolah aku hanya seorang patung yang hanya berdiam diri seakan merasa menerima. Saking sibuknya mungkin ia tak tahu bahwa aku telah tumbuh dewasa. Bukan lagi menjadi aku seperti yang dulu ketika masih mudah diatur sana-sini. Aku memaklumi itu mengingat posisinya sebagai seorang single parents. Tetapi aku harus melampiaskan hidupku sebenarnya. Menjadi aku sebebas-bebasnya ketika aku lepas dari dekapan ibu dan bapak bayarannya.
Bahkan saking tidak sadarnya ibuku terhadapku yang telah tumbuh dewasa aku pernah kena marah. Ketika teman laki-lakiku kuajak ke rumahku, dia begitu marahnya. Dan menerkam anak orang itu saja. Mudah bagiku memahami karakter ibuku yang begitu takut kehilangan anak tunggalnya.
“Kamu Nak! Mau pergi kemana?” tanya ibuku dengan mata memerah.
“Sudah sering aku katakan Bu. Apa masih kurang jelas.” Jawabkan berpaling muka.
“Di mana pun Kamu bisa belajar. Tak perlu jauh-jauh.” Seru ibuku.
“Tapi aku ingin seperti yang lain. Merasakan lepas dari orang tua. Pergi mencari ilmu. Hidup di rumah orang. Lalu tahu bagaimana hidup dengan teman-teman seusiaku.” Terangku panjang lebar.
Hingga malam ini ketika emosiku memuncak setelah mendengar larangannya untukku melanjutkan ke perguruan tinggi. Ibuku melarangku tanpa alasan. Memang benar. Untuk keluar rumah saja sudah repot, apalagi harus keluar kota. Entah itu disebabkan egonya yang tinggi atau pun rasa khawatirnya takut kehilangan aku. Ketegangan itu berlangsung memuncak hingga aku memutuskan saja untuk pergi dari rumah menenangkan diri. Berharap agar ibuku bisa berpikir lebih panjang.
"Rasti!" Seseorang memelukku dari arah belakang sambil menyebut namaku secara pelan. Pelukan itu terasa khas. Aku pun menikmati kehangatan itu seakan seseorang sudah lama tak aku jumpai. Ia melangkah dan ikut duduk di sampingku. Bibirnya tersenyum mendamaikan suasana. Ia menganggup dan mata sayunya seakan ikut tersenyum. Ia kembali merangkulku secara hangat dari arah depan.
Aku tak mampu membendung rasa haru itu. Air mata mengalir deras dari kedua bola mataku. Sudah rindu aku merasakan kenangan semacam ini.
"Ibu, maafin putrimu." Aku pun terucap di sela-sela aku menghela nafas. Rupanya rasa haru itu menyusahkan untukku bernapas.
"Iya. Ibu juga minta maaf. Ibu tak sadar bahwa selama ini putri ibu telah tumbuh dewasa dan harus meninggalkan ibu." Bisiknya pelan karena harus beriringan dengan tangisnya yang tulus.
"Tidak Bu. Aku nggak akan kemana-mana. Aku akan selalu bersama Ibu. Maafin aku jika selama ini cara pikirku masih juga belum tumbuh dewasa. Selalu membuat Ibu khawatir dan takut jika harus kehilangan aku." Kami pun masih berpelukan mengabaikan dinginnya malam kala itu. Kami malas untuk beranjak dari tempat duduk itu. Hangat pelukan ibu membuat dinginnya malam musim kemarau terasa hilang.
Aku memaklumi jika ibu terlalu merasa ketakutan jika harus kehilangan aku. Meskipun aku hanya anak angkat tetapi tak ingin baginya harus kehilangan seorang anak perempuan seperti dulu. Iya waktu itu anak kandung Ibu baru seusiaku. Ketika anaknya mulai beranjak dewasa ia harus kehilangan anaknya. Bagi Tuhan, ibuku ini sudah cukup membesarkan anaknya hanya sampai remaja. Tidak menyaksikan anaknya tumbuh dewasa.
Tepatnya ketika Ibuku bercerai dengan suaminya. Anaknya yang selama ini lebih dekat dengan ibunya justru lebih memilih hidup dengan ayahnya. Hanya karena gara-gara rasa marahnya terhadap ibunya yang melarangnya pacaran. Anaknya pergi dan memilih hidup bersama ayahnya.
Sudah 19 tahun tiada kabar. Apakah anak dan bekas suaminya itu masih hidup atau sudah mendahuluinya menghadap Sang Kuasa. Jika masih hidup ia juga tak tahu bagaimana kabarnya dan dimana tempat tinggalnya.
Mungkin jika ia masih bersama putrinya, ia sudah mempunyai cucu. Membesarkan hingga putrinya tumbuh dewasa. Menyaksikan anaknya lulus menjadi sarjana dan dipinang oleh menantunya. Ia terbuka dan mau bercerita tentang itu kepadaku ketika malam ulang tahunku yang ke 17.
Ibuku menganggapku seperti anaknya sendiri. Ia menyayangiku dan membesarkan aku setulus hatinya. Ia seperti malaikat suruhan Tuhan untuk mendampingiku. Tak mungkin bagiku meninggalkannya setelah apa yang diberikan kepadaku. Sebuah kasih sayang dan segalanya yang ia hadiahkan kepadaku. Belum aku membahagiakannya sebagai balasannya, sudah saja aku menyakitinya.
Mungkin di sini memang kotaku. Aku tak akan meninggalkan Ibu. Hidup bersamanya di masa-masa tuanya. Biarkan giliranku yang merawatkunya. Lagi pula di sini masih banyak perguruan tinggi yang bagus. Aku berjanji akan tumbuh lebih dewasa. Tidak hanya tubuhku yang semakin tinggi dan besar tetapi bagaimana aku memaknai hidup. Tetapi aku mohon izinkan aku maknai hidupku sendiri. Biarkan aku menggapai mimpi bersama ibuku. Malam ini menjadi saksi tumbuhnya dewasa gadis ibuku. Menjadi seseorang yang tidak hanya tumbuh dewasa fisiknya, tetapi juga pikirannya. Menjadi seseorang yang semakin sayang terhadap ibunya.


                                                 TAMAT
Hastag =
Contoh Cerpen Bahasa Indonesia
Cerpen Remaja
Cerpen Keluarga
Cerpen Kasih Sayang

Tidak ada komentar: