Jumat, 06 Maret 2015

Cerpen Pendidikan : Mereka Tak Tahu tentang Kami

MEREKA TAK TAHU TENTANG KAMI
            Nalarku tak habis pikir mengapa di zaman canggih seperti ini masih saja ada keributan karena masalah pembagian makanan. Masa aku tinggal di sini sudah hampir habis dan tak henti-hentinya kutemukan mereka yang tersakiti karena ulah mereka sendiri. Hampir setiap hari ada yang harus menjadi korban bahkan tak jarang mereka yang mati karena perkelahian ini. Aku menjalankan tugas dari pemerintah untuk ikut memajukan desa ini dengan mengajari mereka yang menjadi bibit-bibit bangsa. Meskipun aku sudah ikhlas namun rasa takut dalam hati masih saja muncul, kalau-kalau aku juga ikut terbunuh oleh sengketa antara desa yang aku tinggali dengan desa tetangga sana. Hanya ada masalah sepele saja selalu mereka selesaikan dengan perang fisik dan akhirnya hanya mempengkeruh keadaan saja. Alhasil penyelesaian tak terampungkan. Kasihan anak-anak yang tak tahu apa-apa yang harus menerima imbasnya. Ikut terluka sedangkan untuk meghindar atau melawan saja mereka tak bisa. Seperti hari ini, yang hanya masalah aliran air menuju sawah saja mereka tak segan mengadakan tawuran dengan menyerang desa yang aku tempati ini.

            Sangat berbeda dengan asalku yang makanan atau air saja sudah melimpah ruah. Kotaku selalu aman meskipun sebenarnya masih banyak tikus-tikus yang bersembunyi di kolongnya. Di sini segala sengketa mereka hadapi dengan saling menyakiti fisik sesamanya seakan yang lain agar tahu inilah kerasnya dunia kehidupan. Itu yang membuatku geram dan ingin rasanya aku kembali ke kampung halaman. Meskipun di rumahku ada permainan-permainan curang mereka yang terdidik dan terpelajar namun mereka selalu menghadapi segala masalah dengan kepala dingin dan itu yang membuatku sedikit tenang.
Aku masih penasaran dan bertanya kapan keributan antartetangga desa ini akan usai. Apa mereka tak sadar bahwa manusia itu berakal dan dimana hati nurani mereka. Keinginan untuk berbagi saja mereka tak segan. Atau bahkan himpitan ekonomi dan susahnya bahan makan ditambahnya panasnya udara di sini sudah membuat mereka lupa dan lalai menggunakan akal sehatnya. Segala konflik tak bisa reda jika selalu dihadapi dengan emosi bahkan keangkuhan atau keserakahan untuk menang sendiri. Matinya salah satu muridku hari ini membuatku muak dan jika tubuhku sekuat iron man maka akan kuperintahkan mereka untuk berhenti lalu kuhukum mereka agar mereka jera.
            Para sesepuh di sini sudah kutanya dan berharap mereka mau menjawab mengapa konflik ini begitu keruhnya. Tetapi tak satu pun kutemui yang mau berterus terang. Sudah ada inginku untuk menyerah dan putus asa namun menurutku ini tak bagus buatku juga warga-warga di kampung ini. Jika saja mereka mau berterus-terang mungkin akan kucoba mencari jalan keluar dengan semampuku dan kebisaanku.
            “Sudahlah Nak, kau tak tahu apa-apa.”
            “Tapi aku sudah menjadi orang sini. Mengapa aku tak boleh tahu?”
            “Orang-orang di sini juga masih sedikit yang tahu.”
            “Saya tahu kalau Nenek pasti tahu. Tapi nenek enggan saja bercerita dengan saya.”
            “Kau orang baru Nak. Biarkan orang tua saja yang tahu.”
            “Meskipun saya masih muda tapi saya ingin tahu agar bisa saya hentikan perkelahian ini. Apa Nenek tak takut jika semua orang di sini terluka bahkan mati. Lalu siapa yang akan meneruskan budaya di sini. Lalu siapa yang akan membela kampung ini?” tanyaku sedikit memaksa.
            “Baiklah kalau Kau memaksa. Orang kota memang selalu ingin tahu saja. Perkelahian ini sudah bertahan sejak saya belum lahir. Entah apa. Tapi mereka selalu iri dengan kampung ini. Tuhan selalu bertindak berbeda. Kampung kami yang kaya akan alam membuat mereka tak senang dan selalu ingin menyerang kampung kami.”
            “Bagaimana bisa itu bisa terjadi?”
            “Tanah kami terlalu subur juga tak pernah ada bencana di desa ini. Lain dengan desa sebelah yang tanah saja selalu kekeringan. Bahkan untuk mencari air saja mereka susah. Desa itu sangat kering dan sering sekali mereka jumpai bencana.”
            “Tapi mengapa tidak saling membantu saja? Bukankah seharusnya kita harus membantu di saat sesamanya kesulitan?”
            “Mudah untuk bicara. Mereka tak tahu tentang kami. Mereka sama sekali tak tahu tentang kami. Kebodohan akan warga desa sebelah selalu menaruh curiga terhadap kami. Mereka merasa tahu banyak tentang kami padahal tak sedikit pun mereka mengerti. Sudah sering kami ingin membantu namun apa yang kami dapatkan? Mereka hanya menuduh bahwa pemberian kami punya maksud tertentu. Mereka juga pernah menyadra salah satu warga kami yang mengantarkan beras ke desa sana. Ketika itu ada warga desanya yang mati karena sakit perut setelah makan beras dari desa kami. Padahal itu belum tentu salah beras kami, karena tak mungkin kami berencana membunuh. Mungkin saja itu penyakit yang dibawa si pemakan. Lalu kami biarkan saja mereka menderita terlebih atas perlakuan mereka yang sering tak mengenakkan warga kami. Sehingga sering pula warga kami membalas mereka.”
            “Tapi mengapa harus ada pembalasan? Itu semua hanya menimbulkan keruhnya keadaan dan masalah tak akan berhenti. Cobalah berbuat baik dengan warga tetangga. Mungkin saja mereka sadar dan tahu bagaimana karakter warga di sini.”
            “Mudah untuk bicara Nak!” Nenek tua itu punya maksud tertentu berucap seperti itu. Dia pergi dan meninggalkan aku di situ.
            Nenek itu sudah putus asa dan seperti menyerah atas keadaan yang menerpa warga di sini. Mungkin itu juga seperti yang warga lain pikirkan. Seakan mereka senang dengan perselisihan ini. Bukannya aku tak takut mati karena berusaha menentang keributan ini namun aku justru takut mati karena harus terbunuh setelah terlibat dalam perselisihan ini.
            Sepertinya memang warga di desa sebelah benar-benar tak tahu tentang kami, tentang kebaikan kami. Mereka selalu menaruh curiga karena kebodohan mereka. Sangat jelas kalau mereka warga yang tak terlalu pintar. Apalagi setelah kudengar bahwa tak ada satu anak pun warga mereka yang mengenyam pendidikan. Semua warga mereka yang rela datang ke desa ini untuk belajar mereka larang karena takut otaknya akan kami racuni setelah mendapat perintah dari warga sini. Lagi pula yang aku dengar warga sana punya tabiat pemalas dan hanya berdiam diri saja menunggu rezeki turun dari langit.
            Sungguh sangat berbeda alam yang menjadi nuansa dua desa tetangga ini. Bahkan kasih sayang yang pemerintah berikan juga sangat berbeda. Bagaimana bisa kami yang dari kota hanya ditugasi mencerdaskan warga-warga di sini saja tidak untuk warga di desa sebelah. Seperti anak tiri saja. Semua orang yang sebenarnya berhak mendapatkan pendidikan tidak untuk mereka dapatkan. Makanya mereka tidak tahu dan selalu menaruh rasa curiga terhadap kami. Bahkan mempunyai dedikasi untuk memperbaiki kehidupan mereka saja, mereka tak ada. Mereka tak bisa menyelesaikan permasalahan yang melingkupi hidup mereka sehingga desa ini yang sebenarnya belum begitu maju dan terampil masih saja terpancing emosi untuk meladeni mereka.
            Kasihan anak-anak dan warga yang tak tahu apa-apa. Mereka harus terluka dan menerima ganjaran atas masalah yang sudah berabad-abad terjadi. Tidak mungkin harus terus berjatuhan korban. Seharusnya ada keinginan untu mereka menghentikan semua ini.
            Aku harus memanggil teman-temanku di kota. Untuk membantu memberikan cahaya terang bagi warga sebelah, seperti desa ini. Semua ini harus diselesaikan. Mereka yang masih tak tahu apa-apa harus kita ubah cara pandang mereka demi kebaikan mereka. Mereka akan mampu urusi kebutuhan mereka dan tak ingin lagi mengganggu ketentraman desa ini dengan segala macam tingkah yang membuat keonaran. Mereka akan sadar bahwa emosi hanya perkeruh keadaan dan balas-membalas hanya memperpanjang masalah saja. Mereka juga akan tahu bagaimana enaknya hidup dalam kecanggihan teknologi bukannya hidup susah dengan jiwanya yang terancam akan serangan seseorang.
            Bagaimana pun mereka juga manusia yang sudah layaknya mendapat pendidikan. Sehingga mereka akan tahu bagaiman tentang kami dan warga di desa ini. Mereka juga akan tahu bagaimana pendidikan yang bisa saja mengubah kehidupan seseorang. Biar saja Allah yang menetukan langkah yang aku tempuh untuk menghentikan kerunyaman masalah ini. Meskipun aku juga masih terbilang bodoh namun Tuhan tidak bodoh. Terimakasih pula nenek yang entah siapa namanya telah sedikit berbagi cerita tentang sejarah perselisihan di sini.
SELESAI

Tag = #CerpenPendidikan #CerpenNasihat #CerpenNasionalisme #CerpenPerjuangan #CerpenInspirasi #CerpenSemangat #CerpenNurani #CerpenBahasaIndonesia

Tidak ada komentar: