MEREKA TAK
TAHU TENTANG KAMI
Nalarku tak habis pikir mengapa di
zaman canggih seperti ini masih saja ada keributan karena masalah pembagian
makanan. Masa aku tinggal di sini sudah hampir habis dan tak henti-hentinya
kutemukan mereka yang tersakiti karena ulah mereka sendiri. Hampir setiap hari
ada yang harus menjadi korban bahkan tak jarang mereka yang mati karena
perkelahian ini. Aku menjalankan tugas dari pemerintah untuk ikut memajukan
desa ini dengan mengajari mereka yang menjadi bibit-bibit bangsa. Meskipun aku
sudah ikhlas namun rasa takut dalam hati masih saja muncul, kalau-kalau aku
juga ikut terbunuh oleh sengketa antara desa yang aku tinggali dengan desa
tetangga sana. Hanya ada masalah sepele saja selalu mereka selesaikan dengan
perang fisik dan akhirnya hanya mempengkeruh keadaan saja. Alhasil penyelesaian
tak terampungkan. Kasihan anak-anak yang tak tahu apa-apa yang harus menerima
imbasnya. Ikut terluka sedangkan untuk meghindar atau melawan saja mereka tak
bisa. Seperti hari ini, yang hanya masalah aliran air menuju sawah saja mereka
tak segan mengadakan tawuran dengan menyerang desa yang aku tempati ini.
Sangat berbeda dengan asalku yang
makanan atau air saja sudah melimpah ruah. Kotaku selalu aman meskipun
sebenarnya masih banyak tikus-tikus yang bersembunyi di kolongnya. Di sini
segala sengketa mereka hadapi dengan saling menyakiti fisik sesamanya seakan yang
lain agar tahu inilah kerasnya dunia kehidupan. Itu yang membuatku geram dan
ingin rasanya aku kembali ke kampung halaman. Meskipun di rumahku ada
permainan-permainan curang mereka yang terdidik dan terpelajar namun mereka
selalu menghadapi segala masalah dengan kepala dingin dan itu yang membuatku
sedikit tenang.
Aku masih penasaran dan bertanya kapan keributan antartetangga
desa ini akan usai. Apa mereka tak sadar bahwa manusia itu berakal dan dimana
hati nurani mereka. Keinginan untuk berbagi saja mereka tak segan. Atau bahkan
himpitan ekonomi dan susahnya bahan makan ditambahnya panasnya udara di sini
sudah membuat mereka lupa dan lalai menggunakan akal sehatnya. Segala konflik
tak bisa reda jika selalu dihadapi dengan emosi bahkan keangkuhan atau
keserakahan untuk menang sendiri. Matinya salah satu muridku hari ini membuatku
muak dan jika tubuhku sekuat iron man maka akan kuperintahkan mereka untuk
berhenti lalu kuhukum mereka agar mereka jera.
Para sesepuh di sini sudah kutanya
dan berharap mereka mau menjawab mengapa konflik ini begitu keruhnya. Tetapi tak
satu pun kutemui yang mau berterus terang. Sudah ada inginku untuk menyerah dan
putus asa namun menurutku ini tak bagus buatku juga warga-warga di kampung ini.
Jika saja mereka mau berterus-terang mungkin akan kucoba mencari jalan keluar
dengan semampuku dan kebisaanku.
“Sudahlah Nak, kau tak tahu
apa-apa.”
“Tapi aku sudah menjadi orang sini.
Mengapa aku tak boleh tahu?”
“Orang-orang di sini juga masih
sedikit yang tahu.”
“Saya tahu kalau Nenek pasti tahu.
Tapi nenek enggan saja bercerita dengan saya.”
“Kau orang baru Nak. Biarkan orang
tua saja yang tahu.”
“Meskipun saya masih muda tapi saya ingin
tahu agar bisa saya hentikan perkelahian ini. Apa Nenek tak takut jika semua
orang di sini terluka bahkan mati. Lalu siapa yang akan meneruskan budaya di
sini. Lalu siapa yang akan membela kampung ini?” tanyaku sedikit memaksa.
“Baiklah kalau Kau memaksa. Orang
kota memang selalu ingin tahu saja. Perkelahian ini sudah bertahan sejak saya
belum lahir. Entah apa. Tapi mereka selalu iri dengan kampung ini. Tuhan selalu
bertindak berbeda. Kampung kami yang kaya akan alam membuat mereka tak senang
dan selalu ingin menyerang kampung kami.”
“Bagaimana bisa itu bisa terjadi?”
“Tanah kami terlalu subur juga tak
pernah ada bencana di desa ini. Lain dengan desa sebelah yang tanah saja selalu
kekeringan. Bahkan untuk mencari air saja mereka susah. Desa itu sangat kering
dan sering sekali mereka jumpai bencana.”
“Tapi mengapa tidak saling membantu
saja? Bukankah seharusnya kita harus membantu di saat sesamanya kesulitan?”
“Mudah untuk bicara. Mereka tak tahu
tentang kami. Mereka sama sekali tak tahu tentang kami. Kebodohan akan warga
desa sebelah selalu menaruh curiga terhadap kami. Mereka merasa tahu banyak
tentang kami padahal tak sedikit pun mereka mengerti. Sudah sering kami ingin
membantu namun apa yang kami dapatkan? Mereka hanya menuduh bahwa pemberian
kami punya maksud tertentu. Mereka juga pernah menyadra salah satu warga kami
yang mengantarkan beras ke desa sana. Ketika itu ada warga desanya yang mati
karena sakit perut setelah makan beras dari desa kami. Padahal itu belum tentu
salah beras kami, karena tak mungkin kami berencana membunuh. Mungkin saja itu
penyakit yang dibawa si pemakan. Lalu kami biarkan saja mereka menderita
terlebih atas perlakuan mereka yang sering tak mengenakkan warga kami. Sehingga
sering pula warga kami membalas mereka.”
“Tapi mengapa harus ada pembalasan?
Itu semua hanya menimbulkan keruhnya keadaan dan masalah tak akan berhenti.
Cobalah berbuat baik dengan warga tetangga. Mungkin saja mereka sadar dan tahu
bagaimana karakter warga di sini.”
“Mudah untuk bicara Nak!” Nenek tua
itu punya maksud tertentu berucap seperti itu. Dia pergi dan meninggalkan aku
di situ.
Nenek itu sudah putus asa dan
seperti menyerah atas keadaan yang menerpa warga di sini. Mungkin itu juga
seperti yang warga lain pikirkan. Seakan mereka senang dengan perselisihan ini.
Bukannya aku tak takut mati karena berusaha menentang keributan ini namun aku
justru takut mati karena harus terbunuh setelah terlibat dalam perselisihan
ini.
Sepertinya memang warga di desa
sebelah benar-benar tak tahu tentang kami, tentang kebaikan kami. Mereka selalu
menaruh curiga karena kebodohan mereka. Sangat jelas kalau mereka warga yang
tak terlalu pintar. Apalagi setelah kudengar bahwa tak ada satu anak pun warga
mereka yang mengenyam pendidikan. Semua warga mereka yang rela datang ke desa
ini untuk belajar mereka larang karena takut otaknya akan kami racuni setelah
mendapat perintah dari warga sini. Lagi pula yang aku dengar warga sana punya
tabiat pemalas dan hanya berdiam diri saja menunggu rezeki turun dari langit.
Sungguh sangat berbeda alam yang
menjadi nuansa dua desa tetangga ini. Bahkan kasih sayang yang pemerintah berikan
juga sangat berbeda. Bagaimana bisa kami yang dari kota hanya ditugasi
mencerdaskan warga-warga di sini saja tidak untuk warga di desa sebelah. Seperti
anak tiri saja. Semua orang yang sebenarnya berhak mendapatkan pendidikan tidak
untuk mereka dapatkan. Makanya mereka tidak tahu dan selalu menaruh rasa curiga
terhadap kami. Bahkan mempunyai dedikasi untuk memperbaiki kehidupan mereka
saja, mereka tak ada. Mereka tak bisa menyelesaikan permasalahan yang
melingkupi hidup mereka sehingga desa ini yang sebenarnya belum begitu maju dan
terampil masih saja terpancing emosi untuk meladeni mereka.
Kasihan anak-anak dan warga yang tak
tahu apa-apa. Mereka harus terluka dan menerima ganjaran atas masalah yang
sudah berabad-abad terjadi. Tidak mungkin harus terus berjatuhan korban.
Seharusnya ada keinginan untu mereka menghentikan semua ini.
Aku harus memanggil teman-temanku di
kota. Untuk membantu memberikan cahaya terang bagi warga sebelah, seperti desa
ini. Semua ini harus diselesaikan. Mereka yang masih tak tahu apa-apa harus
kita ubah cara pandang mereka demi kebaikan mereka. Mereka akan mampu urusi
kebutuhan mereka dan tak ingin lagi mengganggu ketentraman desa ini dengan
segala macam tingkah yang membuat keonaran. Mereka akan sadar bahwa emosi hanya
perkeruh keadaan dan balas-membalas hanya memperpanjang masalah saja. Mereka
juga akan tahu bagaimana enaknya hidup dalam kecanggihan teknologi bukannya
hidup susah dengan jiwanya yang terancam akan serangan seseorang.
Bagaimana pun mereka juga manusia
yang sudah layaknya mendapat pendidikan. Sehingga mereka akan tahu bagaiman
tentang kami dan warga di desa ini. Mereka juga akan tahu bagaimana pendidikan
yang bisa saja mengubah kehidupan seseorang. Biar saja Allah yang menetukan
langkah yang aku tempuh untuk menghentikan kerunyaman masalah ini. Meskipun aku
juga masih terbilang bodoh namun Tuhan tidak bodoh. Terimakasih pula nenek yang
entah siapa namanya telah sedikit berbagi cerita tentang sejarah perselisihan
di sini.
SELESAI
Tag = #CerpenPendidikan #CerpenNasihat #CerpenNasionalisme
#CerpenPerjuangan #CerpenInspirasi #CerpenSemangat #CerpenNurani
#CerpenBahasaIndonesia
Tidak ada komentar:
Posting Komentar