Bintang Bersinar untuk
Bapak Part 2
Seminggu telah berlalu dan ia berkunjung
ke kampung menengok bapaknya yang sedang sibuk dengan pasien otomotifnya. Ia
memang berjanji ke bapaknya akan pulang ke Kampung Selayu setiap hari Sabtu.
Bapaknya terlihat sumringah melihat kedatangan anaknya dan tak ada tanda-tanda
orang sakit. Raka agak sedikit tenang melihat bapaknya yang masih sehat dan
masih bisa diajaknya bermain bola secara
pelan mengingat kondisi kedua kaki palsu bapaknya yang sudah rapuh. Raka pulang
sampai rumah sore hari menjelang ashar dan bergegas bermain bola dengan bapaknya
sampai adzan maghrib. Ia segera bergegas bertolak ke kota pagi harinya. Seperti
tak kenal lelah Raka ini. Banyak cerita yang ia bagikan ke bapaknya. Seperti
cerita tentang guru dan pelatih barunya, teman sekolah serta teman setim sepak
bolanya, dan tak kalah lagi tentang keseruannya saat bertanding bola. Banyak
orang dan pengalaman baru yang ia peroleh.
Di balik cerita kebahagiaan tentang
sesuatu yang baru ditambah keadaan bapaknya yang sudah sehat membuat hilangnya rasa
kecemasan tentang bapaknya. Ia sangat berterimakasih kepada Tuhan dan bapaknya.
Ia tidak tahu bahwa di balik kebahagian serta jasmani bapaknya yang sudah pulih
ada suatu maksud tertentu. Bapaknya sebenarnya sudah sakit parah namun ia sengaja
berakting menjadi orang sehat di saat putranya pulang ke rumah. Ia tidak ingin
membuat anaknya khawatir dan enggan pergi ke kota untuk berlatih dan belajar.
Sabtu ke empat telah tiba, ini saatnya
ia harus berkunjung ke kampung halaman menengok
keadaan bapaknya. Seperti biasa raut muka rindu yang begitu mendalam muncul
begitu kentalnya. Dengan perasaan bangga, bapaknya menyambut kedatangan putra
satu-satunya ini. Tetapi kali ini mereka tidak brmain bola bersama, namun hanya
ada obrolan santai di antara mereka.
“Le emang kamu nggak capek tiap minggu
harus bolak-balik kampung-kota. Apa kamu nggak betah? Udah dibetahin-betahin
aja mulai besok nggak usah pulang lagi. Pulangnya pas lebaran aja atau pas
liburan panjang. Ngirit! Emang naik bus nggak butuh ongkos. Mending buat beli
kebutuhanmu.” Nasihat Pak Arsyil ke Raka.
“Alah wong cuman seratus ribu kok Pak.
Lagian aku juga dikasih uang saku dari Pak Syamsu. Pokoknya cukup, sisa banyak
malah. Aku kangen kok sama Bapak. Baru hari Senin sudah pengin aja hari Sabtu.”
Jelas Raka ke Pak Arsyil.
“Tapi bapak nggak suka kamu bolak-balik
ke kampung. Bukannya Bapak nggak kangen tapi kamu sembrono ke Pak Syamsu. Sudah
kaya orang nggak betah aja. Kamu pikir bapak nggak tahu kamu ndak ijin to sama
Pakdhe angkatmu? Kamu juga bolos latihan Sabtu dan Minggu to? Kaya nggak niat
aja. Katanya mau jadi pemain bola profesional buat latihan aja males. Seharusnya
kamu bersyukur ada orang yang baik hati sama kamu bukannya menyepelekan begini.
Lagian Bapak udah sehat kok. Kamu janji nggak bandel sama sombong lho.” Nasihat
Pak Arsyil ke putranya panjang lebar.
Sejak saat itu Raka sudah tak lagi
berkunjung ke kampungnya mengingat sudah menjadi keputusan bapaknya untuk tak
ingin ditemui anaknya dalam waktu dekat. Meskipun rindu sudah menggebu, demi
cita-citanya dan ambisi besar bapaknya terus ia tekuni sekolah di kota,
mengukir prestasi, dan mengemban amanah bapaknya. Lagi pula ia ingin mengajari
bapaknya bagaimana menyiksanya rasa kangen yang begitu parah ke orang yang paling
disayang dalam dunia ini.
Hari itu matahari bersinar terik dan
angin berhembus sepoi-sepoi mengajak semua anak-anak sepak bola yang sedang
berlatih untuk tidur. Namun dengan semangat mereka tak terpengaruh dan tetap
melanjutkan untuk berlatih sepak bola, memainkan bola, dan berlari melatih
pernapasan. Pak Syamsu yang ikut juga berlari-lari kecil menyuruh anak didiknya
untuk berkumpul dan berbaris. Semua anak didiknya menjadi tegang karena tak
biasa beliau menyuruh semuanya berkumpul di saat latihan baru saja dimulai.
Seperti ada sesuatu yang ingin disampaikan.
“Jadi maaf kalau saya mengganggu latihan
kalan. Assalamualaikum Wr. Wb. Selamat siang anak-anak. Siang ini saya akan
mengumumkan bahwa ada kabar gembira bagi kalian semua tentang beasiswa sekolah
sepak bola ke Barcelona, Spain selama setahun. Kalian pasti sudah tak sabar
siapa saja yang lolos dan layak mendapatkan beasiswa tersebut. Dan berdasarkan
rapat kami kemaren, kami telah memutuskan siapa saja nama-nama yang lolos
mendapatkan beasiswa tersebut. Penilaian berdasarkan bakat kalian dalam bermain
bola dan kesungguhan kalian menjadi pemain bola hebat. Pada dasarnya kalian
semua berbakat dan kesungguhan kalian semua sangat hebat. Jika kami
diperbolehkan kami akan meloloskan semua namun kenyataannya hanya ada lima anak
yang lolos, yaitu Andi Pramana, Sandi Budi Laksmito, Fauzan Agus Saputra, Randi
Sudi Rahmana, dan ...,” pengumuman Pak Syamsu yang panjang lebar sempat
terpotong karena ada anak didiknya yang berteriak histeris.
“Raka Arsyil Nugraha,” lanjut Pak Syamsu
sambil tersenyum memandang Raka, “kalian yang belum lolos masih ada kesempatan
jika kelima anak ini ada yang mengundurkan diri dan kalian berlima bisa kalian
pikirkan matang-matang atau kalian tanyakan persetujuan orang tua dahulu.”
Sejak pengumuman yang terucap Pak Syamsu
saat itu semakin membuat galau hati Raka. Ia jadi sering susah tidur karena
terus memikirkan ini. Sebenarnya ia sangat ingin mendapatkan beasiswa ke
Barcelona, tim favoritnya dan bisa bermain dengan idolanya sendiri adalah suatu
dambaan. Namun di sini masih ada bapaknya yang juga masih membutuhkan
keberadaannya. Apalagi waktu satu tahun bukanlah waktu yang sebentar apalagi
jika harus tak bertemu dengan bapaknya. Jangankan satu tahun, satu minggu saja
sudah sangat lama jika ia tak melihat wajah bapaknya.
Akhirnya ia memutuskan pulang untuk
bertanya, mencari kejelasan dari bapaknya apakah ia rela jika ditinggalkan oleh
anak semata wayangnya ke luar negeri dalam waktu setahun. Meskipun bapaknya
sudah tak sakit lagi, tetapi apa sanggup jika beliau merasa kesepian karena
hidup sendiri. Apalagi dua bulan lagi akan tiba Hari Raya Idul Fitri, pasti bapaknya
sangat sedih karena harus termenung sendiri di saat orang lain bisa merasakan
berkumpul dengan keluarga.
“Assalamualaikum Pak, gimana kabarnya
Pak? Kok bengkel sepi?” Tanya Raka yang menyempatkan hari Sabtu itu untuk
datang menjenguk ayahnya.
“Lho Le kok udah pulang lagi. Lebaran
‘kan masih dua bulan lagi. Baru dua minggu udah pulang lagi. Ya mbok diirit
uang sakumu. Bapak sudah tak lagi mbengkel. Sepi soalnya,” Jelas Pak Arsyil
meceritakan ke Putranya. Ia berbohong ke putranya. Padahal ia berhenti bekerja
karena dilarang sama dokter jika harus bekerja yang berat-berat.
“Udah sepi banget to Pak? Sampai nggak
ada customer gini. Hehe. Gini Pak, maaf harus pulang lagi soalnya mau bertanya
ke Bapak, apa boleh saya pergi ke Barcelona buat sekolah di sana juga latihan
sepak bola. Saya mendapat beasiswa.” Terang Raka dengan bangga.
Dengan kagum sampai melotot Pak Arsyil
berkata, “apa Le alhamdulillah Le. Bapak bangga sama kamu Le.”
“Tapi saya masih bingung Pak. Saya
sebenarnya sangat ingin pergi ke sana, tapi nanti Bapak lebarannya sama siapa?
Apalagi dalam waktu setahun saya nggak boleh pulang ke Indonesia Pak. Apa Bapak
nggak kangen sama saya?” Adu Raka ke Bapaknya.
“Lho ngapain bingung to Le. Kesempatan
emas ini, jangan disia-siakan. Bapak ngga kangen yang kangen kamu wong baru dua
minggu aja udah balik. Hehe. Udah kamu berangat saja jangan pikirkan bapak.
Bapak udah biasa nggak ada kamu. Lagi pula Bapak ‘kan udah sehat jadi nggak ada
yang perlu Kamu khawatirkan,” pitutur Pak Arsyil yang begitu menyayat hati
meskipun ada gurauan di dalamnya.
Detik yang berjalan telah menunjukkan
hari ke-5 sebelum hari H. Meskipun ia sudah bertanya ke Bapaknya secara
langsung, Raka masih saja galau untuk menerima tawaran Pak Syamsu atau tidak.
Meskipun ia sangat berkeinginan merasakan sensasi sekolah sepak bola di kota
idamannya namun batin kecilnya masih tak tega merasakan bapaknya yang hidup
sendiri. Apalagi Bapaknya sudah tak punya kaki, dan kedua kaki palsunya sudah
rapuh pasti sudah tak ada lagi yang menjaganya.
Dengan memberanikan diri ia menemui Pak
Syamsu untuk menceritakan bagaimana gejolak hati yang begitu beratnya ia
rasakan. Ia sengaja berkeluh-kesah dengan pelatihnya karena ia pikir Pak Syamsu
akan tahu apa yang harus ia putuskan jika dilihat dari sudut pandang orang
lain.
“Tapi Nak, kamu tak boleh menyerah
dengan keadaan bapakmu yang saat ini. Kalau kamu hanya terus ingin menemani
bapakmu lalu sampai kapan hidupmu akan maju. Lagi pula kesuksesanmu juga
kesuksesan bapakmu. Bapakmu pasti bangga punya anak sepertimu. Jika kamu terus-teruan
tak ingin meninggalkan bapakmu hanya karena kedua kaki bapakmu yang sudah tak
ada, sampai kapan pun kamu tak akan go
international karena sampai kapan pun juga kedua kaki bapakmu sudah tak ada.
Yang beliau miliki hanyalah kamu. Seharusnya kamu jadilah anak yang
membanggakan,” panjang lebar ungkap Pak Syamsu meyakinkan Raka yang lagi galau
menentukan keputusanya.
“Tapi Pak....” Sanggah Raka yang terus
dipotong Pak Syamsu.
“Sudah jangan tapi. Hanya kamu yang
menolaknya dari kelima anak pilihan. Mereka yang tak terpilih ingin untuk
terpilih tapi kamu justru menolak. Ingat ya kamu itu hampir tergeser tapi
karena usaha saya yang bersikeras untuk mempertahankan kamu demi mendapatkan
beasiswa itu saya terlibat konflik dengan pelatih lain. Ulah kamu! Iya ulah kamu
yang sering membolos latihan mengurangi simpati mereka terhadap kamu. Mereka
menganggap kamu tak serius dan untung bakatmu itu agak sedikit menolong. Jadi
tolong jangan kecewakan saya dan bapakmu!” tegas Pak Syamsu sambil meniggalkan
ruangan itu.
Memang pilihan itu sangat berat namun
impian besar, ambisi bapaknya, dan dukungan keras dari Pak Syamsu lebih
memutuskan untuk Raka tetap pergi. Suara terbanyak lebih besar kedudukannya
dibandingkan rasa ragu di dalam jiwanya.
Saatnya tiba di hari H untuknya
meninggalkan Indonesia dan segera terbang menuju Spanyol. Doa terus ia bacakan
dan hanya terbayang wajah bapaknya dipikirannya. Berat juga yang ia rasakan
meskipun sudah benar-benar ia putuskan untuk tetap pergi. Tetapi tiba-tiba
pikiran tak tenang tentang bapaknya masih menghantuinya.
“Hai Nak, sudah siap untuk terbang.
Setengah jam lagi pesawat akan terbang,” sapa Pak Syamsu dari arah belakang
sambil merangkul.
“Tapi saya masih memikirkan bapak,”
Jawab Raka.
Dengan tanpa sadar muncul suatu
perkataan dari mulut Pak Syamsu, “sudah Nak, operasi bapakmu semoga berhasil.
Kita doakan saja dari sini.”
Raka kaget sampai jantungnya nyaris
copot mendengar bahwa bapaknya akan dioperasi. Pernyataan yang muncul secara
langsung dari mulut Pak Syamsu membuat Raka histeris dan meminta penjelasan
secara jujur tentang bapaknya. Bagaimana bisa ia yang anak kandungnya justru
tak tahu apa penyakit yang bapaknya derita selama ini. Pak Syamsu pun akhirnya
secara terbuka menceritakan apa yang sesungguhnya dialami Pak Arsyil. Pak
Arsyil ternyata baru tadi malam bercerita tentang keadaan sebenarnya ke Pak
Syamsu. Ia hanya ingin memita doa dari sahabatnya. Ada satu permintaanya kepada
Pak Syamsu untuk jangan menceritakan tentang penyakitnya kepada Raka hingga ada
dua kemungkinan yang terjadi. Kemungkinan untuknya hidup atau untuknya
meninggal karena gagal operasi cangkok hati. Tapi karena Raka yang terus
memaksa akhirnya Pak Syamsu mau bercerita tentang keadaan sebenarnya bahwa Pak
Arsyil selama ini menderita penyakit kanker hati stadium tiga. Ia akan
beroperasi malam ini setelah mendapat bantuan sedikit dana dari bekas tim
kesebelasan yang ia bela dan donor hati dari sebuah keluarga yang mau
memberikan hati salah satu anaknya yang meninggal karena kecelakaan. Pak Arsyil
sengaja tak menceritakan ke Raka karena beliau tak ingin impian anaknya harus
putus di tengah jalan karena penyakit bapaknya.
“Pak izinkan saya pulang Pak! Saya ingin
menemani bapak.” Pinta Raka kepada Pak Syamsu.
“Pesawat akan pergi setengah jam lagi.
Ingat kesempatan tak datang dua kali. Jika kamu tak jadi pergi saat ini maka
Kamu akan menghilangkan kesempatan emas ini dan jika kamu pulang, kamu didiskualifikasi.”
Ancam Pak Syamsu.
“Tapi Pak saya ingin menemani bapak
saya. Apakah Bapak punya ayah? Pasti punya ‘kan? Dan saya tahu Bapak pasti
sayang ayah bapak dan sangat susah ‘kan rasanya kalau ayah bapak meninggalkan
Bapak atau Bapak tak ada disaat ayah bapak butuh kehadiran Bapak. Iya itu yang
saya rasakan. Saya ingin ada di sampingnya disaat Bapak saya butuh saya. Memang
yang saya minta operasi Bapak saya berhasil namun selain kesempatan sekolah
sepak bola di luar negeri ada pula kesempatan buat saya untuk menemani Bapak di
saat beliau butuh saya. Jadi tolong izinkan saya,” seru Raka dengan mata
berkaca-kaca.
“Iya Nak. Bapakmu bangga punya anak
sepertimu,” seru Pak Syamsu mengizinkan.
Raka segera bergegas dan segera
meninggalkan Pak Syamsu. Karena tak sabar ia berlari sampai ia dihentikan oleh
keempat temannya yang sebenarnya sudah siap untuk terbang ke Spanyol, “Hai bro,
Lho lupa sama kita-kita,” ucap salah satu temannya. Satu persatu dari mereka
saling bergantian memeluk Raka dan merasa kagum dengan kebesaran hati rekannya
ini. Ia lebih memilih kebersamaan dengan bapaknya yang harus ada untuk saat ini
dibanding ambisinya yang sebenarnya bisa lain kali.
Namun sebelumnya ia kembali dan
menghampiri Pak Syamsu, “Pak ada satu yang lebih pantas untuk ke Barcelona
dibanding saya. Dia Feri Samudra Sukma.
Sekarang Feri juga ada di bandara tapi sekarang lagi di toilet. Dia ikut
mengantarkan saya dan teman-teman. Sepertinya kesungguhannya untuk menjadi
pesepak bola juga perlu diperhatikan. Terimakasih.” Seru Raka sambil berlari
sekencang mungkin.
Feri adalah teman akrab Feri selama di
asrama sehingga tahu betul bagaimana kesungguhan Feri untuk menjadi pemain bola
profesional. Hanya karena Feri yang juga masih baru dan masih terbilang tidak
begitu menonjol di depan pelatih membuat namanya tak begitu di kenal.
Di perjalanan dalam bus menuju Rumah
Sakit Selayu hati Raka tak karuan memikirkan bapaknya. Banyak sekali pikiran
ini-itu tentang bapaknya. Sampai di rumah sakit dan jumpa pada kamar bapaknya
yang segera akan dioperasi, Raka langsung melempar tas ranselnya dan segera
memeluk bapaknya.
“Lho Le kok nggak berangkat.” Tanya Pak
Arsyil sambil mengelus kepala Raka.
“Enggak jadi Pak. Aku nggak jadi pergi.
Mau nemenin Bapak saja.” Jelas Raka.
Mendengar bagaimana ucapan yang keluar
dari mulut anaknya membuat hati Pak Arsyil meleleh dan haru-biru menangis
tersedu-sedu. “Terus beasiswa kamu gimana Le?” tanya Pak Arsyil sambil menangis
tak kuasa.
“Udah Pak lupain beasiswa Raka, yang
terpenting kesehatan Bapak.” Jelas Raka yang menahan tangisnya hingga sesak
nafas.
“Terus keinginanmu menjadi bintang di
lapangan gimana to Le?” Tanya Pak Arsyil yang tak berhenti menangis.
“Tak ingin saya menjadi bintang lapangan
hijau jika menjadi bintang di hati Bapak saja saya tak bisa. Raka hanya ingin
menjadi bintang yang terus berterang menyinari Bapak yang entah merasa gelap
karena kesusahan atau pun bahagia.
Maafkan Raka jika akhirnya Raka tak menuruti semua kemauan Bapak. Raka sayang
Bapak.” Jelas Raka sambil tak kuasa melihat Bapaknya yang bermuka pucat dan
memakai baju operasi.
Terkadang sukses bukanlah mereka yang
terus bergelimang materi, kekuasaan, dan jabatan. Sukses juga bukan sesuatu
yang dipandang mewah orang lain. Tetapi sukses akan ada di saat mereka ada di
samping orang terdekatnya di saat dia dibuthkan. Dan terus menjadi bintang
bersinar di antara orang tersayang.
Tamat
Tag = Tag : #contoh cerbung #contoh
cerpen #Cerbung #Cerpen #Cerita Bersambung #Cerita pendek #Cerbung Bahasa
Indoenesia #Cerpen Bahasa Indonesia #Cerpen Keluarga #Cerpen Inspirasi #Cerpen
Kasih Sayang
Tidak ada komentar:
Posting Komentar