HANYA
SEBUAH KATA
Masih saja dia pusing dan tak
henti-hentinya berpikir tentang sebuah kenyataan yang membuatnya terus dilema.
Ia masih saja menanti dan menunggu apa yang selama ini ia impikan. Jika saja
Rafi mau berterus terang dan ungkapkan semua unek-unek terhadapnya mungkin tak
semiris ini memandang sahabatku ini. Ia terus mengoceh, berbagi cerita
terhadapku hingga mengganggu tidur malamku. Ingin aku pindah kamar saja. Biar,
biar dia tidur sendiri dan berbagi cerita dengan dinding. Tapi aku tidur
dimana? Sedangkan kontrakan kami hanya ada satu kamar dan tak mau jika tidur
malamku saat ini harus di ruang tamu dan ditemani nyamuk-nyamuk jail.
Rina sudah lama dekat dengan cowok
bernama Rafi. Kedekatannya sudah pantas dibilang pacar namun masih juga belum
bisa disebut itu. Karena secara resmi belum ada perjanjian seperti itu. Apalagi
belum pernah Rafi ungkapkan sebuah kalimat cinta ke Rina meskipun sudah lama ia
menantikan kalimat itu. Sudah banyak pengorbanannya untuk seorang Rafi agar
segera ia bermaksud ungkapkan kalimat itu. Rina tak segan-segan selalu
berkunjung ke kosan Rafi di pagi hanya sekadar untuk antarkan menu sarapan pagi
ke Rafi. Bahkan tak tanggung-tanggung, ia persilakan semua teman-teman dalam
satu kos Rafi untuk ikut makan gratis dan mencicipi masakannya. Tidak hanya itu
ia rela saja mengerjakan segala tugas kuliah Rafi yang satu tumpuk sedangkan
untuk mengerjakan semua tugasnya saja, Rina sudah keteteran. Rinalah yang
selalu memjadi bos besar tempat berhutangnya Rafi ketika ia sedang butuh uang
untuk sekadar beli buku, uang semesteran, atau bahkan kebutuhan sehari-hari.
Sebenarnya sama sekali tak ingin Rafi berbuat seperti ini dan menyuruh Rina
melakukan semua ini untuknya. Tapi sepertinya ini hanya kemauan Rina untuk
membahagiakan seseorang yang belum tentu akan menjadi miliknya. Mungkin ini
yang disebut cinta buta dan aku tak ingin sahabat baikku ini terus-terusan
terjebak dalam kondisi ini.
Sebenarnya aku sudah lelah melihat
sahabatku galau dan terus saja menunggu dalam bayang-bayang cinta Rafi. Dia
cantik, dia baik, dia juga anak orang berada dan menurutku akan sangat mudah baginya
mencari orang lain yang jauh lebih baik dibanding Rafi. Tapi mengapa harus Rafi
dan ada apa sebenarnya dengan Rafi. Terus aku mencari sebabnya tapi itu hanya
buatku pusing. Lagi pula omonganku tak digubris Rina. Masih saja ia mengejar
cinta Rafi meskipun hampir tiap hari ia makan hati.
Sering kujumpai sahabatku ini
menangis dan bercerita panjang lebar. Bahkan selalu bisa kutebak. Siapa lagi
kalau bukan ulah Rafi. Ia tak rela jika Rafi dekat dengan cewek lain dan
sikapnya yang terlalu mudah panas hati membuatnya tak sadar bahwa dia hanya
teman baik Rafi. Dia bukan siapa-siapanya Rafi dan tak pantas jika ia harus
marah-marah tak jelas hingga sampai hati melabrak mereka yang dekat dengannya.
Tapi rupanya, tangis sahabatku itu bukan karena itu. Terkadang ia dibuat sedih
Rafi karena mendengar ungkapan Rafi yang mengiris batinnya. Sikap Rafi yang
juga mudah sekali terpancing emosinya sangat tak senang jika Rina sedang dekat
dengan cowok lain. Bahkan ketika Rina berbalik bertanya akan status hubungan
mereka, sontak saja membuat Rafi terdiam dan mati kutu tak mampu menjawab.
Namun Rafi yang lebih cerdik dibanding otak sahabtku yang dangkalnya minta
ampun justru memutarbalikkan fakta. Ia memainkan saja sebuah sandiwara seakan
dirinya marah dan akhirnya aku juga yang terkena imbasnya mendengar tangisan
sahabatku sampai matahari segera terbit.
Sikap tak senangku terhadap Rafi
memang semakin menjadi. Aku tak terima setelah apa yang ia lakukan terhadap
sahabatku. Ia hobi membuatnya menangis bahkan mempedulikan hatinya saja dia
tidak sampai berpikir ke situ. Meskipun ada moment-moment tertentu yang
terkadang ada baiknya juga Rafi ini. Seperti di saat Rina sakit sedangkan aku
tak bisa menemaninya karena harus kutemui orang tuaku yang baru pulang dari
Rusia. Rafi dengan senang hati merawatnya seharian bahkan mengantarkannya untuk
beli obat. Seperti di saat valentine ketika itu, Rafi tahu apa yang Rina mau
dengan memberinya sebuah boneka cantik berwarna pink. Masih juga aku bingung
terhadap hubungan mereka. Jika aku ikut campur nanti aku yang salah tetapi aku
sangat bosan melihat sahabatku yang cengeng terus saja menangis.
“Rin, bisa diem nggak Lho?” tanyaku
yang geram mendengar Rina menangis.
“Fir, Rafi Fir.” Rintihnya
terhadapku.
“Alah udah hafal gue mah. Kalau
nggak Lo yang cemburu atau dia yang marah ke Lo.” Dugaku terhadapnya.
“Iya. Dia jalan sama cewek lain.”
Kembali ia merengek.
“Makanya Lo udah tiap hari kaya
gini. Mau kalian apa sih? Gue dah bosen denger Lo menangis?” tanyaku mencari
kejelasan.
“Nggak tahu. Gue cuman menunggu
kalimat. Cukup kata itu Fir!” Serunya yang sedikit manja.
“Cinta?” Tanyaku agak mengejek.
“Ya iyalah apa lagi coba?” teriaknya
seperti agak marah.
“Makanya lo ngeyel mulu sih. Dari dulu
gue udah sering ngomong ke Lho. Udah deh kalao dia masih aja gantungin cinta
Lho Lho tinggalin aja. Lho kasih batas waktu dua minggu. Tapi kalau dalam dua
minggu dia udah bilang cinta ke Lho itu tandanya Lho emang jodoh ama dia. Gitu
aja pusing.”
Rina hanya mengangguk dan mungkin
dia kali ini mau nurut apa yang menjadi saranku. Aku tahu dia orang yang setia
dan sangat sabar dalam menanti dan semoga saja Rafi tidak akan mengecewakan
dia.
Satu minggu sudah berlalu dan itu
tandanya masih ada waktu satu minggu lagi batas waktu buat Rafi ungkapkan cinta
ke Rina. Jika lebih dari waktu yang ditentukan maka akan kusuruh Rina
tinggalkan saja Rafi. Lagi pula masih banyak cowok lain yang lebih baik
darinya.
“Lho nggak papa ‘kan? Rafi kemana?”
tanyaku yang melihat sahabat satu kamarku tengah terbaring di kamar tidur rumah
sakit. Meskipun dia sadar dan badannya masih segar namun baru saja dia mendapat
sebuah kecelakaan kendaraan. Seperti sinetron saja si Rina ini. Sebuah adegan
sinetron yang sudah biasa dan sangat lebay menurutku. Jadi ketika orang yang
dicintainya hendak terserempet mobil, seseorang tersebut langsung mendorongnya
dan dia hanya berdiam diri saja lalu dia sendiri yang menjadi korban. Dan
seperti ini yang dialami Rina saat ini. Benar-benar dalam rasa cintanya
terhadap Rafi. Rafi saja yang bodoh dan tak peka hingga tak mau ungkapkan
kalimat itu.
“Iya gue nggak papa kok.” Jawabnya
dengan senyum di bibirnya.
“Lho bego atau apa sih? Terus aja si
Rafi Lho belain hingga Lho sendiri yang celaka.” Marahku terhadapnya.
“Fir!” Panggilnya terhadapku
sehingga aku penasaran.
“Apa?” tanyaku penasaran.
“Dia Fir. Sih Rafi!” lirihnya
semakin membuatku penasaran.
“Iya kenapa? Ada apa dengan Rafi?”
tegasku sedikit memaksa.
“Dia nembak gue!” seru Rina dengan
semangatnya.
“Serius Lho? Lalu Lho terima?”
tanyaku semakin penasaran.
“Belum. Belum aku jawab biar dia
penasaran.
Aku sedikit lega ternyata ada juga
sedikit keseriusan dari Rafi meskipun belum juga dijawab Rina. Setidaknya sih
Rina tidak lagi galau atau justru semakin galau dibuatnya. Atau mungkin ini
hanya balas budi Rafi karena nyawanya baru saja diselamatkan olehnya. Tapi
entahlah aku sendiri juga tak tahu.
“Maaf mengganggu obrolan kalian. Hai
Fir! Apa kabar?” tanya Rafi yang tiba-tiba saja masuk kamar rusah sakit ini.
“Eh Rafi. Baik Fi.” Balasku sambil
tersenyum kepadanya.
“Rin mumpung masih ada temen kamu.
Biar Fira juga tahu dan aku sudah sedari tadi nungguin jawaban dari kamu. Aku
penasaran.” Jelas Rafi yang sepertinya sudah sangat penasaran.
“Baik akan aku jawab. Tapi
sebelumnya aku pengin tanya ke kamu. Kamu kenapa baru sekarang ngomong kalimat
itu? Kamu nggak tahu aku sangat menunggu.” Seru Rina yang menurutku sangat
memalukan karena membuka kedoknya sendiri.
“Menunggu? Berarti kamu udah lama
menunggu kalimat itu? Dan itu artinya kamu nerima cintaku?” klarifikasi Rafi
yang sepertinya sudah sangat bahagia di hatinya.
“Siapa bilang. Aku belum jawab itu
Lho. Aku cuman pengin tahu aja.” Balas Rina kembali.
‘Oh itu. Maafin aku. Soalnya aku
cuman gengsi aja selama ini. Aku sedang mencari waktu yang tepat aja. Tapi
sebenarnya aku sudah lama memendam perasaan ini. Dan bukan aku merayu tapi
jujur aku sangat ingin jadi pacar kamu. Tolong jangan buat aku kecewa!”
pintanya terhadap Rina.
“Em kamu ingat enggak teman kecil
kamu dulu. Anak perempuan bergigi keluar, si Tonggos?” tanya Rina tiba-tiba
mengalihkan pembicaraan.
“Maksud Kamu apa? Aku nggak ngerti.”
Jawabnya merasa bingung.
“Iya. Coba Kamu ingat-ingat lagi.
Aku aja masih ingat. Bagaimana tidak? Aku kan si Tonggos dulu jadi wajar kalau
aku masih ingat. Masak Kamu nggak ingat? Kamu dulu sering bully aku. Terus kamu
juga sering ngatain aku si Tonggos dan mempermalukan aku di depan anak-anak di
situ. Kamu sering juga ngerjain aku. Kamu sering mukuli aku. Em sepertinya kamu
udah anggap aku bukan manusia lagi waktu itu. Masak kamu nggak ingat?” jelas
Rina yang semakin membuat Rafi bingung.
“Apa sih? Kamu kok bercanda gitu. Nggak
mungkin kalau anak itu kamu.” Jawabnya yang semakin membuatku nggak mudeng.
“Tuh buktinya kamu ingat. Kamu pasti
nggak percaya kalau aku sekarang bisa berubah gini. Apa kamu nggak nyadar kalau
dulu kamu hampir bunuh anak 15 tahun. Sikap kamu sering buat hatiku sakit.
Terus-terusan kamu ejek setiap hari. Apa kamu nggak tahu? Bayangin anak 15
tahun sudah punya pikirin buat bunuh diri dan itu karena ulahmu yang sangat
keterlalulan.” Jelas Rina begitu panjang lebar.
“Nggak mungkin. Kamu pasti bohong.
Atau aku tahu kamu pasti disuruh si tonggos yang jelek, kunyel, buruk rupa, dan
nggak tahu diri itu ‘kan?” tuduh Rafi terhadap Rina.
“Masih begok aja ni orang. Si
Tonggos itu gue. Sejak gue ingin bunuh diri Tuhan masih sayang sama gue dan
memberi kesempatan buat gue hidup. Gue langsung berubah dan gigi gue nggak
seperti dulu. Lho seharusnya sadar dong kalau kata tonggos itu begitu sakit
buat gue.” Marahnya terhadap Rafi.
“Ok Rin. Gue minta maaf kalau selama
ini gue pernah buat Lho salah. Entah itu Lho si Tonggos atau pun siapa. Tapi
tolong terima cinta gue. Lho cinta ama gue ‘kan? Gue sumpah. Gue udah berubah
nggak seperti yang dulu.” Pintanya terhadap Rafi.
“Begok banget sih Lho. Ini tuh
skenario gue aja. Gue nunggu ungkapan cinta dari Lho sampai gue pura-pura baik
ke Lho tuh cuman pengin nolak cinta Lho aja. Biar Lho tahu betapa sakit hati
gue dulu ketika Lho ngatain tonggos ke gue. Sama sekali gue nggak cinta ama Lho
bahkan mandang Lho aja muak.” Marah Rina.
“Tapi gue udah bener-bener cinta ke
Lho Rin!” jelasnya sekali lagi.
“Udah! Pergi nggak Lho! Usirnya.
“Apa pun Rin. Sampai kapan pun akan
gue tunggu jawaban cinta Lho ngerti! Marah Rafi sambil pergi dengan begitu
emosinya.
Aku masih tak percaya bahwa ternyata
selama ini penantian dan pengorbanan Rina untuk Rafi hanyalah misi balas
demdamnya saja. Dia hanya ingin Rafi merasakan ditolak cinta oleh orang yang
dulu dia hina. Ternyata sahabatku yang cengeng ini begitu rapuh saat itu hingga
demdannya benar-benar ia wujudkan. Ternyata meskipun hanya sebuah kata
terkadang betul-betul berarti untuk seseorang. Rina yang pernah dijuluki si
Tonggos sangat ia kenang hingga sedewasa ini dan sebernya bukanlah kata cinta
dari Rafi yang ia tunggu. Juga untuk Rafi yang sangat mengharapkan kata iya
oleh Rina.
Aku juga baru tahu kalau ternyata si
Rina yang sangat cinta dengan Rafi justru sama sekali tak suka dengannya.
Pengorbanan hingga merelakan nyawanya hampir hilang bukanlah perwujudan rasa
sayang ke Rafi namun hanya saja menarik simpati Rafi agar berhasil misi dendamnya.
Dan Rafi yang aku kira hanya mempermainkan Rina justru begitu suka dengannya.
Mungkin Rafi akan menghilang karena sudah lama tak aku temui. Atau
sakit hatinya sudah begitu dalam. Entahlah.
TAMAT
Tag = #CerpenRemaja # CerpenCinta # CerpenBahasaIndonesia
Tidak ada komentar:
Posting Komentar