Jumat, 06 Maret 2015

Cerpen Cinta : Hanya Sebuah Kata

HANYA SEBUAH KATA
            Masih saja dia pusing dan tak henti-hentinya berpikir tentang sebuah kenyataan yang membuatnya terus dilema. Ia masih saja menanti dan menunggu apa yang selama ini ia impikan. Jika saja Rafi mau berterus terang dan ungkapkan semua unek-unek terhadapnya mungkin tak semiris ini memandang sahabatku ini. Ia terus mengoceh, berbagi cerita terhadapku hingga mengganggu tidur malamku. Ingin aku pindah kamar saja. Biar, biar dia tidur sendiri dan berbagi cerita dengan dinding. Tapi aku tidur dimana? Sedangkan kontrakan kami hanya ada satu kamar dan tak mau jika tidur malamku saat ini harus di ruang tamu dan ditemani nyamuk-nyamuk jail.

            Rina sudah lama dekat dengan cowok bernama Rafi. Kedekatannya sudah pantas dibilang pacar namun masih juga belum bisa disebut itu. Karena secara resmi belum ada perjanjian seperti itu. Apalagi belum pernah Rafi ungkapkan sebuah kalimat cinta ke Rina meskipun sudah lama ia menantikan kalimat itu. Sudah banyak pengorbanannya untuk seorang Rafi agar segera ia bermaksud ungkapkan kalimat itu. Rina tak segan-segan selalu berkunjung ke kosan Rafi di pagi hanya sekadar untuk antarkan menu sarapan pagi ke Rafi. Bahkan tak tanggung-tanggung, ia persilakan semua teman-teman dalam satu kos Rafi untuk ikut makan gratis dan mencicipi masakannya. Tidak hanya itu ia rela saja mengerjakan segala tugas kuliah Rafi yang satu tumpuk sedangkan untuk mengerjakan semua tugasnya saja, Rina sudah keteteran. Rinalah yang selalu memjadi bos besar tempat berhutangnya Rafi ketika ia sedang butuh uang untuk sekadar beli buku, uang semesteran, atau bahkan kebutuhan sehari-hari. Sebenarnya sama sekali tak ingin Rafi berbuat seperti ini dan menyuruh Rina melakukan semua ini untuknya. Tapi sepertinya ini hanya kemauan Rina untuk membahagiakan seseorang yang belum tentu akan menjadi miliknya. Mungkin ini yang disebut cinta buta dan aku tak ingin sahabat baikku ini terus-terusan terjebak dalam kondisi ini.
            Sebenarnya aku sudah lelah melihat sahabatku galau dan terus saja menunggu dalam bayang-bayang cinta Rafi. Dia cantik, dia baik, dia juga anak orang berada dan menurutku akan sangat mudah baginya mencari orang lain yang jauh lebih baik dibanding Rafi. Tapi mengapa harus Rafi dan ada apa sebenarnya dengan Rafi. Terus aku mencari sebabnya tapi itu hanya buatku pusing. Lagi pula omonganku tak digubris Rina. Masih saja ia mengejar cinta Rafi meskipun hampir tiap hari ia makan hati.
            Sering kujumpai sahabatku ini menangis dan bercerita panjang lebar. Bahkan selalu bisa kutebak. Siapa lagi kalau bukan ulah Rafi. Ia tak rela jika Rafi dekat dengan cewek lain dan sikapnya yang terlalu mudah panas hati membuatnya tak sadar bahwa dia hanya teman baik Rafi. Dia bukan siapa-siapanya Rafi dan tak pantas jika ia harus marah-marah tak jelas hingga sampai hati melabrak mereka yang dekat dengannya. Tapi rupanya, tangis sahabatku itu bukan karena itu. Terkadang ia dibuat sedih Rafi karena mendengar ungkapan Rafi yang mengiris batinnya. Sikap Rafi yang juga mudah sekali terpancing emosinya sangat tak senang jika Rina sedang dekat dengan cowok lain. Bahkan ketika Rina berbalik bertanya akan status hubungan mereka, sontak saja membuat Rafi terdiam dan mati kutu tak mampu menjawab. Namun Rafi yang lebih cerdik dibanding otak sahabtku yang dangkalnya minta ampun justru memutarbalikkan fakta. Ia memainkan saja sebuah sandiwara seakan dirinya marah dan akhirnya aku juga yang terkena imbasnya mendengar tangisan sahabatku sampai matahari segera terbit.
            Sikap tak senangku terhadap Rafi memang semakin menjadi. Aku tak terima setelah apa yang ia lakukan terhadap sahabatku. Ia hobi membuatnya menangis bahkan mempedulikan hatinya saja dia tidak sampai berpikir ke situ. Meskipun ada moment-moment tertentu yang terkadang ada baiknya juga Rafi ini. Seperti di saat Rina sakit sedangkan aku tak bisa menemaninya karena harus kutemui orang tuaku yang baru pulang dari Rusia. Rafi dengan senang hati merawatnya seharian bahkan mengantarkannya untuk beli obat. Seperti di saat valentine ketika itu, Rafi tahu apa yang Rina mau dengan memberinya sebuah boneka cantik berwarna pink. Masih juga aku bingung terhadap hubungan mereka. Jika aku ikut campur nanti aku yang salah tetapi aku sangat bosan melihat sahabatku yang cengeng terus saja menangis.
            “Rin, bisa diem nggak Lho?” tanyaku yang geram mendengar Rina menangis.
            “Fir, Rafi Fir.” Rintihnya terhadapku.
            “Alah udah hafal gue mah. Kalau nggak Lo yang cemburu atau dia yang marah ke Lo.” Dugaku terhadapnya.
            “Iya. Dia jalan sama cewek lain.” Kembali ia merengek.
            “Makanya Lo udah tiap hari kaya gini. Mau kalian apa sih? Gue dah bosen denger Lo menangis?” tanyaku mencari kejelasan.
            “Nggak tahu. Gue cuman menunggu kalimat. Cukup kata itu Fir!” Serunya yang sedikit manja.
            “Cinta?” Tanyaku agak mengejek.
            “Ya iyalah apa lagi coba?” teriaknya seperti agak marah.
            “Makanya lo ngeyel mulu sih. Dari dulu gue udah sering ngomong ke Lho. Udah deh kalao dia masih aja gantungin cinta Lho Lho tinggalin aja. Lho kasih batas waktu dua minggu. Tapi kalau dalam dua minggu dia udah bilang cinta ke Lho itu tandanya Lho emang jodoh ama dia. Gitu aja pusing.”
            Rina hanya mengangguk dan mungkin dia kali ini mau nurut apa yang menjadi saranku. Aku tahu dia orang yang setia dan sangat sabar dalam menanti dan semoga saja Rafi tidak akan mengecewakan dia.
            Satu minggu sudah berlalu dan itu tandanya masih ada waktu satu minggu lagi batas waktu buat Rafi ungkapkan cinta ke Rina. Jika lebih dari waktu yang ditentukan maka akan kusuruh Rina tinggalkan saja Rafi. Lagi pula masih banyak cowok lain yang lebih baik darinya.
            “Lho nggak papa ‘kan? Rafi kemana?” tanyaku yang melihat sahabat satu kamarku tengah terbaring di kamar tidur rumah sakit. Meskipun dia sadar dan badannya masih segar namun baru saja dia mendapat sebuah kecelakaan kendaraan. Seperti sinetron saja si Rina ini. Sebuah adegan sinetron yang sudah biasa dan sangat lebay menurutku. Jadi ketika orang yang dicintainya hendak terserempet mobil, seseorang tersebut langsung mendorongnya dan dia hanya berdiam diri saja lalu dia sendiri yang menjadi korban. Dan seperti ini yang dialami Rina saat ini. Benar-benar dalam rasa cintanya terhadap Rafi. Rafi saja yang bodoh dan tak peka hingga tak mau ungkapkan kalimat itu.
            “Iya gue nggak papa kok.” Jawabnya dengan senyum di bibirnya.
            “Lho bego atau apa sih? Terus aja si Rafi Lho belain hingga Lho sendiri yang celaka.” Marahku terhadapnya.
            “Fir!” Panggilnya terhadapku sehingga aku penasaran.
            “Apa?” tanyaku penasaran.
            “Dia Fir. Sih Rafi!” lirihnya semakin membuatku penasaran.
            “Iya kenapa? Ada apa dengan Rafi?” tegasku sedikit memaksa.
            “Dia nembak gue!” seru Rina dengan semangatnya.
            “Serius Lho? Lalu Lho terima?” tanyaku semakin penasaran.
            “Belum. Belum aku jawab biar dia penasaran.
            Aku sedikit lega ternyata ada juga sedikit keseriusan dari Rafi meskipun belum juga dijawab Rina. Setidaknya sih Rina tidak lagi galau atau justru semakin galau dibuatnya. Atau mungkin ini hanya balas budi Rafi karena nyawanya baru saja diselamatkan olehnya. Tapi entahlah aku sendiri juga tak tahu.
            “Maaf mengganggu obrolan kalian. Hai Fir! Apa kabar?” tanya Rafi yang tiba-tiba saja masuk kamar rusah sakit ini.
            “Eh Rafi. Baik Fi.” Balasku sambil tersenyum kepadanya.
            “Rin mumpung masih ada temen kamu. Biar Fira juga tahu dan aku sudah sedari tadi nungguin jawaban dari kamu. Aku penasaran.” Jelas Rafi yang sepertinya sudah sangat penasaran.
            “Baik akan aku jawab. Tapi sebelumnya aku pengin tanya ke kamu. Kamu kenapa baru sekarang ngomong kalimat itu? Kamu nggak tahu aku sangat menunggu.” Seru Rina yang menurutku sangat memalukan karena membuka kedoknya sendiri.
            “Menunggu? Berarti kamu udah lama menunggu kalimat itu? Dan itu artinya kamu nerima cintaku?” klarifikasi Rafi yang sepertinya sudah sangat bahagia di hatinya.
            “Siapa bilang. Aku belum jawab itu Lho. Aku cuman pengin tahu aja.” Balas Rina kembali.
            ‘Oh itu. Maafin aku. Soalnya aku cuman gengsi aja selama ini. Aku sedang mencari waktu yang tepat aja. Tapi sebenarnya aku sudah lama memendam perasaan ini. Dan bukan aku merayu tapi jujur aku sangat ingin jadi pacar kamu. Tolong jangan buat aku kecewa!” pintanya terhadap Rina.
            “Em kamu ingat enggak teman kecil kamu dulu. Anak perempuan bergigi keluar, si Tonggos?” tanya Rina tiba-tiba mengalihkan pembicaraan.
            “Maksud Kamu apa? Aku nggak ngerti.” Jawabnya merasa bingung.
            “Iya. Coba Kamu ingat-ingat lagi. Aku aja masih ingat. Bagaimana tidak? Aku kan si Tonggos dulu jadi wajar kalau aku masih ingat. Masak Kamu nggak ingat? Kamu dulu sering bully aku. Terus kamu juga sering ngatain aku si Tonggos dan mempermalukan aku di depan anak-anak di situ. Kamu sering juga ngerjain aku. Kamu sering mukuli aku. Em sepertinya kamu udah anggap aku bukan manusia lagi waktu itu. Masak kamu nggak ingat?” jelas Rina yang semakin membuat Rafi bingung.
            “Apa sih? Kamu kok bercanda gitu. Nggak mungkin kalau anak itu kamu.” Jawabnya yang semakin membuatku nggak mudeng.
            “Tuh buktinya kamu ingat. Kamu pasti nggak percaya kalau aku sekarang bisa berubah gini. Apa kamu nggak nyadar kalau dulu kamu hampir bunuh anak 15 tahun. Sikap kamu sering buat hatiku sakit. Terus-terusan kamu ejek setiap hari. Apa kamu nggak tahu? Bayangin anak 15 tahun sudah punya pikirin buat bunuh diri dan itu karena ulahmu yang sangat keterlalulan.” Jelas Rina begitu panjang lebar.
            “Nggak mungkin. Kamu pasti bohong. Atau aku tahu kamu pasti disuruh si tonggos yang jelek, kunyel, buruk rupa, dan nggak tahu diri itu ‘kan?” tuduh Rafi terhadap Rina.
            “Masih begok aja ni orang. Si Tonggos itu gue. Sejak gue ingin bunuh diri Tuhan masih sayang sama gue dan memberi kesempatan buat gue hidup. Gue langsung berubah dan gigi gue nggak seperti dulu. Lho seharusnya sadar dong kalau kata tonggos itu begitu sakit buat gue.” Marahnya terhadap Rafi.
            “Ok Rin. Gue minta maaf kalau selama ini gue pernah buat Lho salah. Entah itu Lho si Tonggos atau pun siapa. Tapi tolong terima cinta gue. Lho cinta ama gue ‘kan? Gue sumpah. Gue udah berubah nggak seperti yang dulu.” Pintanya terhadap Rafi.
            “Begok banget sih Lho. Ini tuh skenario gue aja. Gue nunggu ungkapan cinta dari Lho sampai gue pura-pura baik ke Lho tuh cuman pengin nolak cinta Lho aja. Biar Lho tahu betapa sakit hati gue dulu ketika Lho ngatain tonggos ke gue. Sama sekali gue nggak cinta ama Lho bahkan mandang Lho aja muak.” Marah Rina.
            “Tapi gue udah bener-bener cinta ke Lho Rin!” jelasnya sekali lagi.
            “Udah! Pergi nggak Lho! Usirnya.
            “Apa pun Rin. Sampai kapan pun akan gue tunggu jawaban cinta Lho ngerti! Marah Rafi sambil pergi dengan begitu emosinya.
            Aku masih tak percaya bahwa ternyata selama ini penantian dan pengorbanan Rina untuk Rafi hanyalah misi balas demdamnya saja. Dia hanya ingin Rafi merasakan ditolak cinta oleh orang yang dulu dia hina. Ternyata sahabatku yang cengeng ini begitu rapuh saat itu hingga demdannya benar-benar ia wujudkan. Ternyata meskipun hanya sebuah kata terkadang betul-betul berarti untuk seseorang. Rina yang pernah dijuluki si Tonggos sangat ia kenang hingga sedewasa ini dan sebernya bukanlah kata cinta dari Rafi yang ia tunggu. Juga untuk Rafi yang sangat mengharapkan kata iya oleh Rina.
            Aku juga baru tahu kalau ternyata si Rina yang sangat cinta dengan Rafi justru sama sekali tak suka dengannya. Pengorbanan hingga merelakan nyawanya hampir hilang bukanlah perwujudan rasa sayang ke Rafi namun hanya saja menarik simpati Rafi agar berhasil misi dendamnya. Dan Rafi yang aku kira hanya mempermainkan Rina justru begitu suka dengannya.
Mungkin Rafi akan menghilang karena sudah lama tak aku temui. Atau sakit hatinya sudah begitu dalam. Entahlah.
TAMAT

Tag = #CerpenRemaja # CerpenCinta # CerpenBahasaIndonesia

Tidak ada komentar: