Gaza dan
Kenangan Kakak
Foto dengan bingkai indahnya tergeletak di atas meja dan terus
tak henti-hentinya dipandangi Ifa (23). Air mata bercucuran keluar dari kedua
kelopak matanya. Kakaknya, Umi, dirinya, dan adiknya, Ali tengah saling
beranagkulan dalam foto kusam tersebut. Mereka tampak saling mencintai dan
peduli satu sama lain. Digenggamnya jilbab kusam milik kakaknya tempo dulu.
Dipandangnya langit-langit rumah di Kota Berlin, Jerman sambil tersenyum ikhlas
merona pasrah akan kuasa Tuhan yang Maha Esa.
Teringat ia akan zaman ketika masih belianya dia, yaitu 14 tahun
yang lalu bersama Kak Umi (19) dan Ali (5) di Kota Gaza. Dentuman meriam yang
terus bergelimang bersama teriakan warga semakin mencekam suasana hati
masyarakat Kota Gaza dan seisinya. Langit hitam yang mencekam yang sesekali
muncul gemerlapan cahaya api dari bom serta tembakan dari pesawat termpur
mengisolasi Umi, Ifa, dan Ali. Pembunuhan warga Gaza seakan menjadi sesuatu
yang tak asing lagi. Darah berceceran dimana-mana. Jangankan bermain bersama
anak-anak kecil yang lain, pergi keluar rumah saja mereka tak berani karena
takut jika mereka tak beruntung akan ada peluru nyasar ke dalam tubuh mereka.
Mereka seakan susah mencari teman-teman seusia mereka karena sudah mati tebunuh
bangsa lain.
Kisah yang memilukan ketika kedua orang tua mereka turut menjadi
korban keganasan sang imperalis. Mereka harus mati terbunuh di saat usia
anak-anak mereka masih kecil dan butuh kasih sayang otang tua. Juga kakak
tertua mereka, Ibrahim (25) yang turut berjuang membela bangsa mereka justru menghilang
dan sampai sekarang belum juga ditemukan.
Mereka tak tahu bagaimana nasib kakak tertua mereka, ataukah masih hidup lalu
ditawan atau diungsikan atau sudah mati terbunuh. Keadaan itu membuat Umi,
saudara tertua mereka harus melindungi adiknya mati-matian dan berjuang mencari
tempat yang aman untuk mereka menetap. Setiap bulan mereka menyusuri daerah ke
daerah mencari rumah yang aman untuk berlindung.
Umi dengan watakan keras seperti bapak dan kakaknya sangat kasar
berucap kepada adiknya. Tapi tak mengelak, itu ia lakukan sebagai wujud kasih
sayang kepada sanak keluarganya yang masih tersisa ditambah perasaan traumanya
ketika menjadi saksi terbunuhnya ayah dan ibunya yang terkena peluru dari
pesawat. Usia 19 yang begitu peliknya ia dihimpit problema yang pilu harus juga
merawat kedua adiknya yang masih usia belia. Dentuman meriam yang mungkin
sangat bisa mengenai mereka secara tiba-tiba membuat kedua adiknya berteriak
histeris ketakutan. Emosi Umi yang menaik di atas normal mengharuskan
membungkam kedua mulut adiknya dengan sehelai kain yang seharusnya helai kain
tersebut untuk menutup luka di kulit kedua adik-adiknya. Atsmosfir yang terus
mencekam keluarga kecil ini.
Sering terjadi perkelahian antara keluarga kecil ini. Umi dengan
watak yang keras dan mudah emosi terus adu gagasan dengan Ifa yang bergelagat
keras dan suka sekali mengeyel akan perintah kakaknya. Ali yang tak turut
ketinggalan sering sekali ia meledek kakaknya, Ifa yang sering labil dan enggan
ramah dengan adiknya ini. Pakaian ganti yang terbatas ditambah makanan yang ala
kadarnya membuat seringnya terjadi perselisihan dalam pembagian jatah makanan
antara ketiganya.
Demi perutnya dan adik-adiknya, Umi harus keluar rumah menuju
posko bantuan makanan pokok untuk berebut makanan dari pemerintah. Sering
sekali ia meminta kedua adiknya agar bersembunyi di bawah meja selama dirinya
pergi. Saking seringnya adiknya mendapat perlakuan yang protektif membuat Ifa
melawan akan kebijakan kakaknya ini. Ia merasa tak rela diperlakukan seperti
maunya kakaknya dan ingin sekali ia pergi ikut dengannya. Ia penasaran dengan pemandangan
luar yang mencekam ditambah perasaan takut jika sewaktu-waktu kakaknya khilaf
dan malah pergi meninggalkan kedua adiknya.
“Kak kami ingin ikut,” rengek Ifa ke kakaknya.
“Sudah jangan Ifa. Kau hanya merepotkan. Jaga saja adikmu dan
barang-barang kita!” pinta Umi dengan wajah galaknya dan suara seperti orang
marah.
“Kakak jahat dan hanya mau menangnya sendiri!” marah adiknya.
Peristiwa itu membuat Umi yang sudah stress akan keadaan yang
melingkupi dalam dirinya membuatnya ingin menampar Ifa, namun tak dilanjutkan
setelah teriakan Ali yang ketakutan dan mata berkaca-kaca. Akhirnya ia cukup
menali kedua adiknya di kursi dan menyuruhnya diam. Ada kebohongan yang ia
lontarkan saat itu bahwa di luar sana, tepatnya samping rumah mereka ada
tentara musuh yang mendarat. Dia akan pergi lewat belakang. Ifa dan Ali yang
masih polos pasrah saja akan kebohongan kakaknya. Sesekali Ifa dan Ali pernah
diajak Umi pergi mencari makanan dalam pemandangan yang mencengangkan dan
mencekam juga penuh teriakan manusia-manusia lapar. Itu membuat kedua adiknya
kapok dan tak ingin lagi ikut antre makanan.
Perdebatan yang sengit di antara manusia-manusia yang sedikit
kurang kebutuhan psikologis dan fisiknya ini membuat mereka sering berkelahi.
Entah itu masalah pembagian makanan, pakaian ganti yang minim, atau pun Ifa dan
Ali yang saling mengejek membuat Umi sering akan melempar tangan ke pipi Ifa.
Terkadang makanan yang mereka dapat pas untuk tiga orang
meskipun sangat sedikit namun sering Umi berikan untuk kedua adiknya. Ali yang
masih kecil menerima saja apa yang menjadi kebijakan kakak tertuanya dan tidak
begitu dengan Ifa. Ifa dengan sikap demokratisnya ingin berbagi pendapat dan
menganggap apa yang menjadi sikap dari kakaknya sangat salah.
“Mengapa Kakak tidak makan? Ini punyaku dibagi saja untuk kita
berdua. Biarkan aku berbagi. Allah senang orang berbagi tetapi mengapa kakak
tak izinkan aku berbagi?” tanya adiknya secara pelan.
“Sudah untuk kau saja Ifa. Kakak tak lapar.” Perintah Umi
mengelak.
“Kakak tak pandai dalam mengambil keputusan. Selama ini Kakak
selalu bilang sayang terhadap kami tapi tak mendidik kami secara bijaksana
karena melarang kami untuk berbagi,” diplomasi Ifa kepada kakaknya.
“Selama ini kakak hanya ingin berjuang membela bangsa dan demi
apa yang telah terjadi kepada kedua orang tua kita. Kedua orang tua kita mati
terbunuh dan apa yang saat ini kakak lakukan? Tidak juga ikut berjuang,
berperang menumpahkan darah. Tetapi hanya ini yang bisa kakak perbuat. Ketika
pemerintah kita mengumumkan bahwa incaran terbesar musuh kita adalah anak kecil
kakak ingin berpartisipasi dengan memberikan makanan lebih kepada kalian yang
masih di bawah umur sehingga bisa menjadi anak kuat.” Jelas Umi dengan
menggeram dan begitu dalamnya.
“Tapi kakak juga masih kecil,” bantah Ifa dengan suara berteriak
sehingga membuat Umi ingin kembali menamparkan tangannya ke pipi Ifa namun tak
jadi karena ada Ali dalam ruangan itu.
“Sudah, buat apa kita berdebat. Baik saya akan memakan makanan
ini bersamamu. Namun ada satu yang kakak minta dengan kau. Kita bisa pindah ke
rumah di daerah seberang. Kalian akan saya sekolahkan.” Ungkap Umi menyampaikan
berita.
“Tidak mau,” bantah Ifa ke kakaknya lagi.
“Masih juga kau membantah kakak. Walaupun di sana kurang aman
namun jarak sekolah dengan rumah ada satu jaman jika kita jalan kaki. Kau masih
butuh pendidikan dan tak ingin kakak melihat kalian buta akan dunia. Apa kalian
mau terkekang dalam dunia dan filsafat kuno tentang manusia itu hanya untuk
disakiti dan dicekam?” tanya Umi ke Ifa.
“Kakak ingin kita mati agar tak ada lagi yang merepotkan Kakak?”
tanya Ifa sambil berteriak ke Umi dan kembali membuat Umi ingin menamparnya. Tangan
Umi yang terbang menuju pipi Ifa langsung ditangkap si kecil sambil bilang
“Kakak!” secara halus dan pelan. Umi langsung berlari memegang dadanya yang
sakit karena sesak nafas menahan begitu perihnya ucapan adiknya.
“Kau melihatnya Dek? Kakak sayang dengan kita dan kita sayang
dengan Kakak tapi sudah berapa kali Kakak ingin menampar pipi saya. Padahal apa
yang tadi saya katakan hanya perasaan emosi saya saja karena tak mau dipaksa
bersekolah.” Rintih Ifa ke adiknya.
“Tapi Kakak Umi benar dan ia sangat baik karena mau memberikan
kita makanan. Ia tak pernah menampar kita Kak. Lagi pula Kakak Umi juga sangat
benar, saya ingin Kakak Ifa juga bersekolah.” Ungkap Ali dengan mimik polos.
Sejak perkelahian itu Umi enggan membuka mulut untuk berucap
sepatah atau dua patah kata ke kedua adiknya. Ia terlihat murung dan merasa
tugasnya hanyalah mencari sebungkus nasi untuk kedua adiknya dan dirinya. Tiga hari
berlalu Ifa yang merasa jenuh dengan sikapnya berbalik arah dan bersemangat
sekali memperoleh pendidikan.
Akhirnya ketiganya memilih untuk berpindah ke pemukiman yang
lain. Kini Ifa sudah mulai menjadi golongan terpelajar; mau serius membuka wawasannya
dan mau bertemu orang-orang baru, para sukerelawan yang mau mencurahkan gagasan
dan jiwa raga mereka untuk sesamanya. Perjalanan dari rumah tempat mereka
berlindung ke tempat Ifa menuntut ilmu kurang lebih ada satu jaman. Umi dan
adiknya, Ali, secara ikhlas berpanas-panasan setiap hari menyusuri panasnya
jejalanan untuk mengantarkan Ifa berangkat ke sekolah. Terkadang mereka
berpapasan dengan serdadu musuh dan mereka memilih berlindung di semak-semak
rerumputan. Umi sembari menunggu adiknya sekolah, ia lebih memilih menunggu di
luar seraya mengajari adik terkecilnya, Ali untuk mengaji.
Namun lambat laun Umi yang juga dianggap terpelajar dalam
sekolah itu, akhirnya diangkat menjadi sukarelawan dan dijadikannya ia guru
dalam sekolah itu meskipun hanya untuk mengajar mengaji. Ia terus mengajar dan
memberitakan kepada generasi berikutnya tentang kalimat-kalimat suci Allah SWT.
Semangat dalam hati yang kian menggelora harus diperistirahatkan
sejenak mendengar pemukiman kediamannya tengah dikepung. Jiwanya gundah gelisah
berpikir tentang nyawanya dan kedua adiknya. Ia meminta agar adiknya tidak
bersekolah sementara mengingat himbauan pemerintah agar warga pemukiman tersebut
menghentikan aktivitas sejenak sampai dirasa aman. Pemerintah juga menghimbau
agar wanita dan anak-anak tidak keluar dari rumah dan hanya pemuda laki-laki
saja yang boleh keluar rumah untuk berjuang. Namun saran kakaknya tidak digubris
kedua adiknya karena kedua adiknya sudah tak sabar lagi akan bersekolah.
Apalagi Ifa yang begitu memaksa dan Ali yang menangis kecewa karena tak
diizinkan kakaknya bersekolah.
“Mengapa tidak izinkan kami bersekolah? Bukannya kakak yang
dahulu sangat berkeinginan agar saya bersekolah? Lalu mengapa kakak mengikari?
Sangat tidak adil jika kami yang harus membangun semangat kami untuk bersekolah
harus dipatahkan oleh seseorang yang menyuruh kami?” debat Ifa ke kakaknya. Umi
yang merasa bersalah atas ucapannya kala ditambah keinginannya mengajar memilih
untuk tetap melanjutkan berdakwah dan mengajar anak-anak di sekolah. Dalam
perjalanan tak ada halangan yang mengancam nyawa mereka dan angin yang penuh
debu justru mengantarkan mereka dengan selamat menuju sekolah.
Dalam sekolah masih ada beberapa anak yang dengan sigapnya
menerima ulasan tentang pelajaran hari ini. Mereka lah mental-mental tangguh
dan tak peduli akan bahaya yang mengancam nyawa mereka. Para mahasiswa yang
menjadi sukarelawan juga tidak sebanyak biasanya. Ada beberpa dari mereka yang
tetap semangat mendidik anak-anak haus ilmu ini. Umi yang bingung karena tidak
ada anak didiknya justru memutuskan agar pergi saja ke pemukiman sebelah untuk
ikut memperebutkan bantuan makanan dari pemerintah. Tidak seperti hari-hari
biasa yang selalu ada pembagian makanan di sekolah ini, suasana sekolah yang
sepi pasti meniadakan bagi-bagi bantuan makanan. Perjalanan ke arah timur
menuju pemukiman sebelah membutuhkan waktu 2 jam. Namun sebelumnya ia
menitipkan Ali ke salah satu mahasiswa yang menjadi relawan di situ.
Umi berjalan menyusuri batuan terjal bekas pemukiman menuju
pemukiman di ujung sana. Ada sedikit was-was kalau-kalau Tuhan menakdirkan akan
ada peluru nyasar menuju tubuhnya. Ada sedikit orang-orang yang berlalu-lalang,
pemuda-pemuda Palestina yang siap menjadi benteng pertahanan kalau-kalau ada
musuh datang. Ada dari beberapa mereka menyuruh agar Umi segera berlindung dan
masuk dalam ruangan. Namun tak sedikit keinginan untuk menerima saran dari
pemuda tersebut.
Tepat di suatu gedung kosong bekas rumah besar yang sudah tidak
lagi ditempati orang. Tak ada satu pun manusia lalu-lalang, kecuali dirinya dan
para tentara yang kelihatannya bukanlah tentara kawan melainkan tentara lawan.
Suasa mencekam, jantung pun deg-degan, keringat panas dingin mengucur membasahi
baju yang ia kenakan. Ingin ia teriak namun jika itu ia lakukan tamatlah
riwayatnya. Ini akan berbahaya jika salah satu dari mereka tahu kalau Umi
mendengarkan percakapan mereka. “Kita luluh lantahkan sekolah di ujung sana
dengan geranat yang akan meledak dalam sekolah itu,” kata seorang tentara yang
terdengar oleh kuping Umi.
Mendengar apa yang diucapkan tentara itu, Umi tak pikir panjang
dan memilih kembali menuju sekolah adiknya untuk menyelamatkan nyawa
bibit-bibit kecil ini. Ada dua pilihan jalur untuk menuju ke sekolah itu. Yang
pertama Umi harus menyusuri jalanan terbuka dan membutuhkan waktu setengah jam
menuju sekolah itu. Perjalanan yang singkat namun ada beberapa tentara lawan di
situ yang tak segan-segan langusng menghilangkan nyawanya dengan peluru dalam
senjatanya. Jalur keduanya adalah lewat pemukiman penduduk yang membutuhkan
waktu setengah jam lebih jika berlari secara kencang atau ada kendaraan
tumpangan. Jalur yang kedua ini akan memakan banyak waktu namun akan lebih aman bagi keselamatan
dirinya. Waktu yang lama tak membuatnya bermasalah demi amanah ke anak-anak di
sekolahan itu.
Ia terus berlari menyelusuri pemukiman padat penduduk. Dengan
kencangnya ia tak peduli dengan keletihan yang mendera padanya demi keselamaaaatan
adik-adiknya. Ia tengah adu kecepatan dengan para tentara di jalan terbuka sana
yang dengan kendaraannya sama-sama menuju ke sekolah itu. Jika ia lambat
sedikit habislah semua harta terpentingnya. “Tolong! Tentara lawan tengah
mengepung! Sekolah akan dibakar!” begitu seterusnya teriakan yang keluar dari
mulut gadis ini. Dengan semangat heroiknya terus ia berteriak menyampaikan
amanat tersebut dan seakan tak peduli lagi jika ternyata ada mata-mata dari
lawan di pemukiman tersebut dan siap mengeluarkan peluru api. Ada beberapa
mereka yang malah merasa ketakutan dan memilh bersembunyi di rumah, namun tak
sedikit dari mereka yang peduli dan memilih bertanya sehingga menghambat lari
gadis ini. Hingga datang mobil yang menghampirinya dengan para pejuang Gaza yang
siap memberi tumpangan ke Umi. Mobil dengan kencangnya menuju sekolah itu.
Sampailah di tempat yang ia ingin.
Tapi naas, bangunan telah mejadi api. Semuanya sudah terlambat
bak nasi telah menjadi bubur. Terlambat hanya beberapa detik ketika bom telah marah
dan meluluh-lantakkan bangunan. “Siswa-siswa bagaimana? Dimana dia?” begitu
terus tak ada yang peduli dan mau bergumam untuk menjawab. Suasana yang kacau
dan warga berlari ketakutan menyelamatkan diri masing-masing. Ada juga beberapa
dari mereka yang memilih lari menuju pusat air untuk mendinginkan amukan api
yang terus menghanguskan bangunan. Hingga seorang nenek yang tak berdaya dan
penuh keriput di wajahnya berkata, “siswa yang sudah selamat berada di sana dan
beberapa dari mereka tengah diselamatkan pemuda laki-laki.” Umi segera menuju
kerumunan para siswa yang sudah hangus karena amukan geranat itu. Meskipun
anak-anak ini tak semuanya berwajah hancur, tapi tak ada satu pun wajah yang
serupa dengan kedua adiknya.
Akhirnya ia memilih masuk ke dalam gedung yang penuh api
meskipun sempat dilarang oleh pemuda di situ. Berjalan menyusuri gedung, tak
peduli panasnya bara yang menyakiti kulit. ijumpailah Ifa yang tengah jongkok
di bawah meja dan menangis ketakutan melihat semua udara berubah memerah. Tak
sepatah kata yang keluar dari mulut Ifa karena trauma masih menerpanya. Ia diam
saja dan tak tahu dimana Ali berada.
Begitu ia berhasil membawa Ifa ke luar gedung, Umi tak begitu
saja menyerah sebelum membawa adik bungsunya keluar gedung. Ia kembali masud gedung
dan tak ada satu anak laki-laki kecil yang ia jumpai dalam gedung hangus ini.
Beberapa anak kecil yang ia jumpai, diseretnya menuju genggamannya dan terus ia
berkeliling menyusuri gedung untuk mencari Ali. “Dung!” bunyi ledakan bom kedua
semakin meluluh-lantakkan bangunan ini. Ifa yang melihat secara langsung betapa
ngerinya bangunan ini meledak memilih menangis terlebih menyadari kalau dua
saudaranya masih ada dalam ruangan ini.
Sampai tak tahan ia menangis dirangkulnya dari arah belakang
oleh pria kecil dengan mata bulatnya, Ali yang tak ada satu pun luka dalam
kulitnya. Selama ini Ali memang memilih pergi dari bangunan ini dan memilih
menyusul kakaknya pergi tanpa diketahui seorang pun dalam gedung. Pelukan
kakak-beradik ini begitu eratnya dan dalam hati tak bisa menerima kenyataan
bahwa ada satu lagi dari anggota keluarganya yang mejadi korban peperangan ini.
Orang yang begitu menyayangi keduanya dan rela memberikan nyawanya untuk
keselamatan kedua adiknya.
Tak lama ia berpelukan, sebuah helikopter berkebangsaan Jerman
menyerat kedua anak ini masuk dalam bilik ruangannya. Sepertinya mereka akan
menjadi berkebangsaan Jerman dan mendapatkan kehidupan layak dalam suatu panti
milik suatu lembaga kemasyarakatan.
Riwayat kehidupan saudara yang begitu sulitnya menjalani
kehidupan di masa kecil. Ali yang tengah mendapatkan pendidikan tinggi di
Jepang sana, tengah berlibur dan menghabiskan masa liburnya bersama kakaknya di
Jerman. Diambilnya air wudhu bersama kakaknya untuk segera mendoakan mereka,
keluarga yang telah lebih dulu dipanggil nyawanya oleh Tuhan YME.
TAMAT
Tag = #Cerpen keluarga #Cerpen Perjuangan #Cerpen Pendidikan
#Cerpen Bahasa Indonesia #Cerpen inspirasi #Cerita Pendidikan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar