Jumat, 06 Maret 2015

Cerpen Keluarga Menyedihkan : Gaza dan Kenangan Kakak

Gaza dan Kenangan Kakak
Foto dengan bingkai indahnya tergeletak di atas meja dan terus tak henti-hentinya dipandangi Ifa (23). Air mata bercucuran keluar dari kedua kelopak matanya. Kakaknya, Umi, dirinya, dan adiknya, Ali tengah saling beranagkulan dalam foto kusam tersebut. Mereka tampak saling mencintai dan peduli satu sama lain. Digenggamnya jilbab kusam milik kakaknya tempo dulu. Dipandangnya langit-langit rumah di Kota Berlin, Jerman sambil tersenyum ikhlas merona pasrah akan kuasa Tuhan yang Maha Esa.


Teringat ia akan zaman ketika masih belianya dia, yaitu 14 tahun yang lalu bersama Kak Umi (19) dan Ali (5) di Kota Gaza. Dentuman meriam yang terus bergelimang bersama teriakan warga semakin mencekam suasana hati masyarakat Kota Gaza dan seisinya. Langit hitam yang mencekam yang sesekali muncul gemerlapan cahaya api dari bom serta tembakan dari pesawat termpur mengisolasi Umi, Ifa, dan Ali. Pembunuhan warga Gaza seakan menjadi sesuatu yang tak asing lagi. Darah berceceran dimana-mana. Jangankan bermain bersama anak-anak kecil yang lain, pergi keluar rumah saja mereka tak berani karena takut jika mereka tak beruntung akan ada peluru nyasar ke dalam tubuh mereka. Mereka seakan susah mencari teman-teman seusia mereka karena sudah mati tebunuh bangsa lain.
Kisah yang memilukan ketika kedua orang tua mereka turut menjadi korban keganasan sang imperalis. Mereka harus mati terbunuh di saat usia anak-anak mereka masih kecil dan butuh kasih sayang otang tua. Juga kakak tertua mereka, Ibrahim (25) yang turut berjuang membela bangsa mereka justru menghilang dan sampai sekarang belum juga  ditemukan. Mereka tak tahu bagaimana nasib kakak tertua mereka, ataukah masih hidup lalu ditawan atau diungsikan atau sudah mati terbunuh. Keadaan itu membuat Umi, saudara tertua mereka harus melindungi adiknya mati-matian dan berjuang mencari tempat yang aman untuk mereka menetap. Setiap bulan mereka menyusuri daerah ke daerah mencari rumah yang aman untuk berlindung.
Umi dengan watakan keras seperti bapak dan kakaknya sangat kasar berucap kepada adiknya. Tapi tak mengelak, itu ia lakukan sebagai wujud kasih sayang kepada sanak keluarganya yang masih tersisa ditambah perasaan traumanya ketika menjadi saksi terbunuhnya ayah dan ibunya yang terkena peluru dari pesawat. Usia 19 yang begitu peliknya ia dihimpit problema yang pilu harus juga merawat kedua adiknya yang masih usia belia. Dentuman meriam yang mungkin sangat bisa mengenai mereka secara tiba-tiba membuat kedua adiknya berteriak histeris ketakutan. Emosi Umi yang menaik di atas normal mengharuskan membungkam kedua mulut adiknya dengan sehelai kain yang seharusnya helai kain tersebut untuk menutup luka di kulit kedua adik-adiknya. Atsmosfir yang terus mencekam keluarga kecil ini.
Sering terjadi perkelahian antara keluarga kecil ini. Umi dengan watak yang keras dan mudah emosi terus adu gagasan dengan Ifa yang bergelagat keras dan suka sekali mengeyel akan perintah kakaknya. Ali yang tak turut ketinggalan sering sekali ia meledek kakaknya, Ifa yang sering labil dan enggan ramah dengan adiknya ini. Pakaian ganti yang terbatas ditambah makanan yang ala kadarnya membuat seringnya terjadi perselisihan dalam pembagian jatah makanan antara ketiganya.
Demi perutnya dan adik-adiknya, Umi harus keluar rumah menuju posko bantuan makanan pokok untuk berebut makanan dari pemerintah. Sering sekali ia meminta kedua adiknya agar bersembunyi di bawah meja selama dirinya pergi. Saking seringnya adiknya mendapat perlakuan yang protektif membuat Ifa melawan akan kebijakan kakaknya ini. Ia merasa tak rela diperlakukan seperti maunya kakaknya dan ingin sekali ia pergi ikut dengannya. Ia penasaran dengan pemandangan luar yang mencekam ditambah perasaan takut jika sewaktu-waktu kakaknya khilaf dan malah pergi meninggalkan kedua adiknya.
“Kak kami ingin ikut,” rengek Ifa ke kakaknya.
“Sudah jangan Ifa. Kau hanya merepotkan. Jaga saja adikmu dan barang-barang kita!” pinta Umi dengan wajah galaknya dan suara seperti orang marah.
“Kakak jahat dan hanya mau menangnya sendiri!” marah adiknya.
Peristiwa itu membuat Umi yang sudah stress akan keadaan yang melingkupi dalam dirinya membuatnya ingin menampar Ifa, namun tak dilanjutkan setelah teriakan Ali yang ketakutan dan mata berkaca-kaca. Akhirnya ia cukup menali kedua adiknya di kursi dan menyuruhnya diam. Ada kebohongan yang ia lontarkan saat itu bahwa di luar sana, tepatnya samping rumah mereka ada tentara musuh yang mendarat. Dia akan pergi lewat belakang. Ifa dan Ali yang masih polos pasrah saja akan kebohongan kakaknya. Sesekali Ifa dan Ali pernah diajak Umi pergi mencari makanan dalam pemandangan yang mencengangkan dan mencekam juga penuh teriakan manusia-manusia lapar. Itu membuat kedua adiknya kapok dan tak ingin lagi ikut antre makanan.
Perdebatan yang sengit di antara manusia-manusia yang sedikit kurang kebutuhan psikologis dan fisiknya ini membuat mereka sering berkelahi. Entah itu masalah pembagian makanan, pakaian ganti yang minim, atau pun Ifa dan Ali yang saling mengejek membuat Umi sering akan melempar tangan ke pipi Ifa.
Terkadang makanan yang mereka dapat pas untuk tiga orang meskipun sangat sedikit namun sering Umi berikan untuk kedua adiknya. Ali yang masih kecil menerima saja apa yang menjadi kebijakan kakak tertuanya dan tidak begitu dengan Ifa. Ifa dengan sikap demokratisnya ingin berbagi pendapat dan menganggap apa yang menjadi sikap dari kakaknya sangat salah.
“Mengapa Kakak tidak makan? Ini punyaku dibagi saja untuk kita berdua. Biarkan aku berbagi. Allah senang orang berbagi tetapi mengapa kakak tak izinkan aku berbagi?” tanya adiknya secara pelan.
“Sudah untuk kau saja Ifa. Kakak tak lapar.” Perintah Umi mengelak.
“Kakak tak pandai dalam mengambil keputusan. Selama ini Kakak selalu bilang sayang terhadap kami tapi tak mendidik kami secara bijaksana karena melarang kami untuk berbagi,” diplomasi Ifa kepada kakaknya.
“Selama ini kakak hanya ingin berjuang membela bangsa dan demi apa yang telah terjadi kepada kedua orang tua kita. Kedua orang tua kita mati terbunuh dan apa yang saat ini kakak lakukan? Tidak juga ikut berjuang, berperang menumpahkan darah. Tetapi hanya ini yang bisa kakak perbuat. Ketika pemerintah kita mengumumkan bahwa incaran terbesar musuh kita adalah anak kecil kakak ingin berpartisipasi dengan memberikan makanan lebih kepada kalian yang masih di bawah umur sehingga bisa menjadi anak kuat.” Jelas Umi dengan menggeram dan begitu dalamnya.
“Tapi kakak juga masih kecil,” bantah Ifa dengan suara berteriak sehingga membuat Umi ingin kembali menamparkan tangannya ke pipi Ifa namun tak jadi karena ada Ali dalam ruangan itu.
“Sudah, buat apa kita berdebat. Baik saya akan memakan makanan ini bersamamu. Namun ada satu yang kakak minta dengan kau. Kita bisa pindah ke rumah di daerah seberang. Kalian akan saya sekolahkan.” Ungkap Umi menyampaikan berita.
“Tidak mau,” bantah Ifa ke kakaknya lagi.
“Masih juga kau membantah kakak. Walaupun di sana kurang aman namun jarak sekolah dengan rumah ada satu jaman jika kita jalan kaki. Kau masih butuh pendidikan dan tak ingin kakak melihat kalian buta akan dunia. Apa kalian mau terkekang dalam dunia dan filsafat kuno tentang manusia itu hanya untuk disakiti dan dicekam?” tanya Umi ke Ifa.
“Kakak ingin kita mati agar tak ada lagi yang merepotkan Kakak?” tanya Ifa sambil berteriak ke Umi dan kembali membuat Umi ingin menamparnya. Tangan Umi yang terbang menuju pipi Ifa langsung ditangkap si kecil sambil bilang “Kakak!” secara halus dan pelan. Umi langsung berlari memegang dadanya yang sakit karena sesak nafas menahan begitu perihnya ucapan adiknya.
“Kau melihatnya Dek? Kakak sayang dengan kita dan kita sayang dengan Kakak tapi sudah berapa kali Kakak ingin menampar pipi saya. Padahal apa yang tadi saya katakan hanya perasaan emosi saya saja karena tak mau dipaksa bersekolah.” Rintih Ifa ke adiknya.
“Tapi Kakak Umi benar dan ia sangat baik karena mau memberikan kita makanan. Ia tak pernah menampar kita Kak. Lagi pula Kakak Umi juga sangat benar, saya ingin Kakak Ifa juga bersekolah.” Ungkap Ali dengan mimik polos.
Sejak perkelahian itu Umi enggan membuka mulut untuk berucap sepatah atau dua patah kata ke kedua adiknya. Ia terlihat murung dan merasa tugasnya hanyalah mencari sebungkus nasi untuk kedua adiknya dan dirinya. Tiga hari berlalu Ifa yang merasa jenuh dengan sikapnya berbalik arah dan bersemangat sekali memperoleh pendidikan.
Akhirnya ketiganya memilih untuk berpindah ke pemukiman yang lain. Kini Ifa sudah mulai menjadi golongan terpelajar; mau serius membuka wawasannya dan mau bertemu orang-orang baru, para sukerelawan yang mau mencurahkan gagasan dan jiwa raga mereka untuk sesamanya. Perjalanan dari rumah tempat mereka berlindung ke tempat Ifa menuntut ilmu kurang lebih ada satu jaman. Umi dan adiknya, Ali, secara ikhlas berpanas-panasan setiap hari menyusuri panasnya jejalanan untuk mengantarkan Ifa berangkat ke sekolah. Terkadang mereka berpapasan dengan serdadu musuh dan mereka memilih berlindung di semak-semak rerumputan. Umi sembari menunggu adiknya sekolah, ia lebih memilih menunggu di luar seraya mengajari adik terkecilnya, Ali untuk mengaji.
Namun lambat laun Umi yang juga dianggap terpelajar dalam sekolah itu, akhirnya diangkat menjadi sukarelawan dan dijadikannya ia guru dalam sekolah itu meskipun hanya untuk mengajar mengaji. Ia terus mengajar dan memberitakan kepada generasi berikutnya tentang kalimat-kalimat suci Allah SWT.
Semangat dalam hati yang kian menggelora harus diperistirahatkan sejenak mendengar pemukiman kediamannya tengah dikepung. Jiwanya gundah gelisah berpikir tentang nyawanya dan kedua adiknya. Ia meminta agar adiknya tidak bersekolah sementara mengingat himbauan pemerintah agar warga pemukiman tersebut menghentikan aktivitas sejenak sampai dirasa aman. Pemerintah juga menghimbau agar wanita dan anak-anak tidak keluar dari rumah dan hanya pemuda laki-laki saja yang boleh keluar rumah untuk berjuang. Namun saran kakaknya tidak digubris kedua adiknya karena kedua adiknya sudah tak sabar lagi akan bersekolah. Apalagi Ifa yang begitu memaksa dan Ali yang menangis kecewa karena tak diizinkan kakaknya bersekolah.
“Mengapa tidak izinkan kami bersekolah? Bukannya kakak yang dahulu sangat berkeinginan agar saya bersekolah? Lalu mengapa kakak mengikari? Sangat tidak adil jika kami yang harus membangun semangat kami untuk bersekolah harus dipatahkan oleh seseorang yang menyuruh kami?” debat Ifa ke kakaknya. Umi yang merasa bersalah atas ucapannya kala ditambah keinginannya mengajar memilih untuk tetap melanjutkan berdakwah dan mengajar anak-anak di sekolah. Dalam perjalanan tak ada halangan yang mengancam nyawa mereka dan angin yang penuh debu justru mengantarkan mereka dengan selamat menuju sekolah.
Dalam sekolah masih ada beberapa anak yang dengan sigapnya menerima ulasan tentang pelajaran hari ini. Mereka lah mental-mental tangguh dan tak peduli akan bahaya yang mengancam nyawa mereka. Para mahasiswa yang menjadi sukarelawan juga tidak sebanyak biasanya. Ada beberpa dari mereka yang tetap semangat mendidik anak-anak haus ilmu ini. Umi yang bingung karena tidak ada anak didiknya justru memutuskan agar pergi saja ke pemukiman sebelah untuk ikut memperebutkan bantuan makanan dari pemerintah. Tidak seperti hari-hari biasa yang selalu ada pembagian makanan di sekolah ini, suasana sekolah yang sepi pasti meniadakan bagi-bagi bantuan makanan. Perjalanan ke arah timur menuju pemukiman sebelah membutuhkan waktu 2 jam. Namun sebelumnya ia menitipkan Ali ke salah satu mahasiswa yang menjadi relawan di situ.
Umi berjalan menyusuri batuan terjal bekas pemukiman menuju pemukiman di ujung sana. Ada sedikit was-was kalau-kalau Tuhan menakdirkan akan ada peluru nyasar menuju tubuhnya. Ada sedikit orang-orang yang berlalu-lalang, pemuda-pemuda Palestina yang siap menjadi benteng pertahanan kalau-kalau ada musuh datang. Ada dari beberapa mereka menyuruh agar Umi segera berlindung dan masuk dalam ruangan. Namun tak sedikit keinginan untuk menerima saran dari pemuda tersebut.
Tepat di suatu gedung kosong bekas rumah besar yang sudah tidak lagi ditempati orang. Tak ada satu pun manusia lalu-lalang, kecuali dirinya dan para tentara yang kelihatannya bukanlah tentara kawan melainkan tentara lawan. Suasa mencekam, jantung pun deg-degan, keringat panas dingin mengucur membasahi baju yang ia kenakan. Ingin ia teriak namun jika itu ia lakukan tamatlah riwayatnya. Ini akan berbahaya jika salah satu dari mereka tahu kalau Umi mendengarkan percakapan mereka. “Kita luluh lantahkan sekolah di ujung sana dengan geranat yang akan meledak dalam sekolah itu,” kata seorang tentara yang terdengar oleh kuping Umi.
Mendengar apa yang diucapkan tentara itu, Umi tak pikir panjang dan memilih kembali menuju sekolah adiknya untuk menyelamatkan nyawa bibit-bibit kecil ini. Ada dua pilihan jalur untuk menuju ke sekolah itu. Yang pertama Umi harus menyusuri jalanan terbuka dan membutuhkan waktu setengah jam menuju sekolah itu. Perjalanan yang singkat namun ada beberapa tentara lawan di situ yang tak segan-segan langusng menghilangkan nyawanya dengan peluru dalam senjatanya. Jalur keduanya adalah lewat pemukiman penduduk yang membutuhkan waktu setengah jam lebih jika berlari secara kencang atau ada kendaraan tumpangan. Jalur yang kedua ini akan memakan banyak waktu  namun akan lebih aman bagi keselamatan dirinya. Waktu yang lama tak membuatnya bermasalah demi amanah ke anak-anak di sekolahan itu.
Ia terus berlari menyelusuri pemukiman padat penduduk. Dengan kencangnya ia tak peduli dengan keletihan yang mendera padanya demi keselamaaaatan adik-adiknya. Ia tengah adu kecepatan dengan para tentara di jalan terbuka sana yang dengan kendaraannya sama-sama menuju ke sekolah itu. Jika ia lambat sedikit habislah semua harta terpentingnya. “Tolong! Tentara lawan tengah mengepung! Sekolah akan dibakar!” begitu seterusnya teriakan yang keluar dari mulut gadis ini. Dengan semangat heroiknya terus ia berteriak menyampaikan amanat tersebut dan seakan tak peduli lagi jika ternyata ada mata-mata dari lawan di pemukiman tersebut dan siap mengeluarkan peluru api. Ada beberapa mereka yang malah merasa ketakutan dan memilh bersembunyi di rumah, namun tak sedikit dari mereka yang peduli dan memilih bertanya sehingga menghambat lari gadis ini. Hingga datang mobil yang menghampirinya dengan para pejuang Gaza yang siap memberi tumpangan ke Umi. Mobil dengan kencangnya menuju sekolah itu. Sampailah di tempat yang ia ingin.
Tapi naas, bangunan telah mejadi api. Semuanya sudah terlambat bak nasi telah menjadi bubur. Terlambat hanya beberapa detik ketika bom telah marah dan meluluh-lantakkan bangunan. “Siswa-siswa bagaimana? Dimana dia?” begitu terus tak ada yang peduli dan mau bergumam untuk menjawab. Suasana yang kacau dan warga berlari ketakutan menyelamatkan diri masing-masing. Ada juga beberapa dari mereka yang memilih lari menuju pusat air untuk mendinginkan amukan api yang terus menghanguskan bangunan. Hingga seorang nenek yang tak berdaya dan penuh keriput di wajahnya berkata, “siswa yang sudah selamat berada di sana dan beberapa dari mereka tengah diselamatkan pemuda laki-laki.” Umi segera menuju kerumunan para siswa yang sudah hangus karena amukan geranat itu. Meskipun anak-anak ini tak semuanya berwajah hancur, tapi tak ada satu pun wajah yang serupa dengan kedua adiknya.
Akhirnya ia memilih masuk ke dalam gedung yang penuh api meskipun sempat dilarang oleh pemuda di situ. Berjalan menyusuri gedung, tak peduli panasnya bara yang menyakiti kulit. ijumpailah Ifa yang tengah jongkok di bawah meja dan menangis ketakutan melihat semua udara berubah memerah. Tak sepatah kata yang keluar dari mulut Ifa karena trauma masih menerpanya. Ia diam saja dan tak tahu dimana Ali berada.
Begitu ia berhasil membawa Ifa ke luar gedung, Umi tak begitu saja menyerah sebelum membawa adik bungsunya keluar gedung. Ia kembali masud gedung dan tak ada satu anak laki-laki kecil yang ia jumpai dalam gedung hangus ini. Beberapa anak kecil yang ia jumpai, diseretnya menuju genggamannya dan terus ia berkeliling menyusuri gedung untuk mencari Ali. “Dung!” bunyi ledakan bom kedua semakin meluluh-lantakkan bangunan ini. Ifa yang melihat secara langsung betapa ngerinya bangunan ini meledak memilih menangis terlebih menyadari kalau dua saudaranya masih ada dalam ruangan ini.
Sampai tak tahan ia menangis dirangkulnya dari arah belakang oleh pria kecil dengan mata bulatnya, Ali yang tak ada satu pun luka dalam kulitnya. Selama ini Ali memang memilih pergi dari bangunan ini dan memilih menyusul kakaknya pergi tanpa diketahui seorang pun dalam gedung. Pelukan kakak-beradik ini begitu eratnya dan dalam hati tak bisa menerima kenyataan bahwa ada satu lagi dari anggota keluarganya yang mejadi korban peperangan ini. Orang yang begitu menyayangi keduanya dan rela memberikan nyawanya untuk keselamatan kedua adiknya.
Tak lama ia berpelukan, sebuah helikopter berkebangsaan Jerman menyerat kedua anak ini masuk dalam bilik ruangannya. Sepertinya mereka akan menjadi berkebangsaan Jerman dan mendapatkan kehidupan layak dalam suatu panti milik suatu lembaga kemasyarakatan.
Riwayat kehidupan saudara yang begitu sulitnya menjalani kehidupan di masa kecil. Ali yang tengah mendapatkan pendidikan tinggi di Jepang sana, tengah berlibur dan menghabiskan masa liburnya bersama kakaknya di Jerman. Diambilnya air wudhu bersama kakaknya untuk segera mendoakan mereka, keluarga yang telah lebih dulu dipanggil nyawanya oleh Tuhan YME.
TAMAT


Tag = #Cerpen keluarga #Cerpen Perjuangan #Cerpen Pendidikan #Cerpen Bahasa Indonesia #Cerpen inspirasi #Cerita Pendidikan

Tidak ada komentar: