Bintang Bersinar untuk Bapak Part 1
Sukses memang sebuah kata yang semua
orang pasti mendambakannya. Namun sukses bukanlah orang yang bergelimang harta
atau mereka dengan jabatan berlapis. Untuk sukses cukup menjadi bintang yang
bersinar dengan terangnya di langit sana tanpa ada yang mampu meredupkannya,
yaitu salah satunya menjadi juara di hal yang disukainya.
Sore itu Raka pulang dari sekolah.
Dengan seragam SMP yang terlihat lusuh, atasan putih yang dikeluarkan, dan
sebutir bola yang ia bawa dengan tangan kanannya lalu ia senderkan di pinggang
sebelah kanan. Ia meratap iba melihat bapaknya yang sedang bersusah payang
mengecangkan skrup-skrup sepeda dengan sekuat tenaga. Muka bapaknya yang cemong-cemong
hitam karena cairan oli ditambah kedua kakinya yang hanya sepanjang lutut.
Bapak Raka bernama Pak Arsyil, dulunya
adalah seorang pemain bola berbakat yang membela daerahnya dalam pertandingan
berkelas di Indonesia. Namun sejak ia kecelakaan saat mengendarai motor kesukaannya ia harus kehilangan
kedua kakinya dan pekerjaannya. Kakinya harus diamputasi juga statusnya menjadi
atlet sepak bola harus ia buang. Istrinya pun juga pergi meninggalkannya karena
tak ingin memilki suami yang tak normal seperti orang lain. Istrinya tak
percaya jika suaminya ini akan mampu mnghidupinya. Akhirnya memilih pergi yang
saat itu anak pertama mereka sedang berumur 3 tahun.
Pak Arsyil selain bakat dalam dunia
sepak bola ia juga hobi dalam dunia otomotif. Ia mampu membuat kedua kaki
palsunya dengan keahlian yang ia pelajari secara otodidak. Bahkan di saat ia
sedang sukses di kejayaannya menjadi pemain bola ia hobi mengoleksi motor.
Namun semua motornya ia jual untuk biaya pengobatan kakinya dan untuk membangun
bengkel. Sedangkan sisanya untuk biaya hidupnya dan anaknya. Bengkel yang ia
miliki memang masih terbilang kecil karena belum ada karyawan. Jangankan
karyawan ada dua pelanggan yang mampir di bengkelnya saja sudah beruntung.
Meskipun terkadang ada beberapa anak STM yang mampir untuk sekedar main atau
ikut belajar membantu membetulkan kendaraan. Banyak yang tak percaya dengan
kemampuan Pak Arsyil karena kedua kakinya yang tak lengkap. Meski begitu ada
pula tetangganya yang segan menjadi pasien otomotifnya. Itu pun mereka yang
benar-benar mengetahui bakat Pak Aryil dalam membetulkan kendaraan atau juga mereka
yang merasa kasian.
Biaya kehidupan yang semakin mahal
ditambah biaya pendidikan Raka yang saat ini sedang duduk kelas 2 SMP. Untung
ia masih mendapatkan keringanan biaya sekolah dari donatur di sekolahnya. Bakat
bapaknya menurun ke putranya, Raka. Raka sangat hobi dalam bermain sepak bola.
Semua baju yang ia pakai selain baju partai politik atau calon wakil daerah
kampanye pasti baju bola tim kesayangannya, Barcelona. Siangnya sekolah,
sorenya bermain bola, dan malamnya nonton pertandongan bola. Begitu seterusnya.
Namun cara ia melihat pertandingan bola berbeda. Orang biasa yang hobi menonton
bola hanya teriak-teriak saja saat timnya berhasil memasukkan bola ke kandang
lawan atau mengeluarkan umpatan saat tim favoritnya kebobolan, sedangkan Raka
benar-benar memperhatikan teknik permainan pemainnya dengan teliti dan ia
praktekkan keesokaannya. Dengan kemampuannya yang lebih dibanding teman-teman
sebayanya ia sering dijuluki Messinya Kampung Selayu, kampung tempat
tinggalnya.
Keinginannya menjadi pemain bola kelas
internasional sangat menggebu-nggebu. Obrolan tentang bola selau menjadi gosip
terpanas dengan bapaknya setiap hari. Di saat orang-orang masih deman bulu
tangkis, ia masih saja demam bola namun di saat orang-orang deman bola ia sudah
terkena demam bola stadium gawat darurat. Ia ingin mewujudkan keinginan bapaknya
menjadi pemain bola hebat.
Namun sore itu ia benar-benar tak tega
melihat bapaknya yang terus-terusan batuk tapi masih saja sibuk membetulkan
sepeda tetangganya. Apalagi ketika mengetahui ada cairan darah yang keluar dari
mulut bapaknya. Bapaknya terus bersikukuh bahwa dirinya tak kenapa-kenapa dan
masih menyuruh putranya bermain dengan teman-temannya.
“Sudah Le, bapakmu ora popo. Ini hanya
sakit TBC turunan. Besok kalao tanjakan juga sembuh sendiri. Bal-balan saja
sana, bapak nggak mau kaya jaman mbahmu dulu. Masih kecil bapak dilarang
bermain tapi disuruh ngarit cari rumput buat makan ternak dan bapak nggak mau
itu terjadi sama kamu. Ini sudah jaman maju biar kamu kaya anak lanang lain.
Sudah jaman merdeka masih suruh kerja rodi.” Perintah Pak Arsyil kepada Andi.
“Popo Pak. Bapak gimana to? Sakit gitu
dibilang nggak papa. Sudah main bolanya malam aja habis ngaji. Anak-anak sini
pasti mau, aku ‘kan bosnya,” jelas Raka kepada bapaknya.
“Lha kamu belajarnya gimana to?” tanya
Pak Arsyil.
“Alah gampang wong bengkelnya bapak
nggak terlalu rame jadi saya bisa nyambi ngerjain PR. Belajar ‘kan kalau ada PR
aja. Hehe. Atau nanti malem sambil nonton bola. Lagian sekolahku swasta Pak,
jarang PR. Gurunya baik-baik, pengertian sama murid,” terang Raka.
Sejak saat itu, sang bintang sepak bola
di kampung Selayu ini tak memunculkan batang hidungnya di lapangan hijau. Ia
lebih memilih membantu bapaknya sampai sore hari. Waktu Raka yang semakin sibuk
dengan jadwal padat tidak membuatnya kelelahan maklum anak bandel fisik beton
mental baja ini memang begitu besar tekatnya menjadi pemain bola berkelas
dunia. Begitu pula teman sepermainan Raka yang sudah menganggap Raka menjadi
pelatih sepak bola mereka, mau saja mereka menuruti kemauan Raka untuk bermain
sepak bolanya sehabis Isa atau setelah mengaji. Meskipun emak-emak kawannya
silih berganti memarahi Raka karena anak-anaknya harus kehilangan waktu
belajarnya. Raka yang memang berpotongan sedikit bandel memang hanya akan
belajar jika ada ulangan atau ada PR saja.
“Aduh anaknya Ibu-ibu saja yang nggak
mau belajar. Ya mbok belajarnya siang hari wong saya aja yang siangnya membantu
bapak masih ada waktu belajar. Lagian kalau anak-anak ibu mau malem atau siang
bermain bolanya tetap aja nggak belajar. Wong bodhonya turunan maupun
tanjakkan. Hehe,” ejek Raka ke ibu-ibu dari temannya di dalam hati.
Siang itu panas sangat menyengat. Raka
masih sibuk menembel ban bocor sebuah sepeda kecil milik anak umur 3 tahun,
tetangganya. Kebetulan saat itu pasien otomotifnya hanya itu. Ia sangat
bersemangat untuk menyelesaikan proyek ini dan segera bertolak ke lapangan
hijau dekat kebun Pak Haji Syamsu.
“Pak nanti kalau ban ini sudah selesai
aku mau main bola ya Pak?” izin Raka kepada bapaknya yang baru saja datang.
“Udah nggak usah kemana-mana. Bapak itu
mengizinkan kamu keluar malem untuk bermain bola bukan untuk maling. Bapak
kecewa dan malu sama kamu. Kamu keliatannya anak baik-baik tapi ternyata kalau
di depannya bapak saja kalau di depan orang lain nggragasnya kelihatan. Kamu
pikir bapak bangga? Mentang-mentang bapak yang ngasih makan ke kamu terus kamu
jadi anak manis di depan Bapak biar Bapak masih ngasih kamu makan sama uang
jajan. Udah pergi kamu, bapak kecewa besar sama kamu dan males ngasih kamu
makan lagi.” Marah Pak Arsyil yang tiba-tiba pulang.
Raka pun termenung dan berdiam diri
meratapi apa yang dikatakan bapaknya. Ia tersadar bahwa ada kesalahan besar
yang baru saja ia perbuat. Rupanya bapaknya baru saja sakit hati setelah
mendengarkan suara buruk tentang anaknya oleh Pak Haji Kardun. Raka tadi malam
khilaf karena mengambil mangga di kebun dekat lapangan milik haji pelit ini
tanpa izin meminta. Pohon mangga di kebunnya nyaris habis karena ulah Raka dan
teman-temannya. Meskipun tidak seratus persen adalah salah Raka karena ini
hanya ajakan salah satu temannya tapi ia tetap saja ikut mengambil mangga tanpa
izin. Ia sempat menolak ajakan temannya namun demi kebersamaan ia masih saja
mau mencuri. Pak Arsyil termasuk bapak yang tegas sehingga hanya karena satu
kesalahan anaknya yang tak termaafkan ia tak segan-segan mengusir anaknya dari
rumah. Pak Arsyil hanya tak mau sikap buruk ini menjadi kebiasaan yang akan
dibawa hingga dewasa nanti. Pikiran Raka justru kemana-mana. Ia sadar bahwa
selama ini dia sudah congkak di hadapan kawan-kawannya yang menurutnya tak
sehebat dirinya. Sehingga ia dengan mudahnya memutuskan segala sesuatu tanpa
berpikir panjang. Bukan ini sifat yang harus dimili oleh seorang bintang
khususnya bintang lapangan hijau. Ketakutan tiba-tiba muncul dalam benaknya
jika nantinya didikan bapaknya yang tegas bisa salah kaprah. Menjadi seorang
yang jahat dan pengecut serta tak mampu membedakan mana yang benar dan mana
yang salah. Meskipun ia hanya dibesarkan oleh seorang ayah sekaligus menjadi
seorang ibu, ia tak ingin jika ia menjadi orang tak baik.
Ia segera berlari menuju lapangan tempat
ia biasanya bermain bola. Ingin sekali buatnya menangis namun rasa malu lebih
berkuasa dan sangat pantang baginya untuk menangis. Diambilnya sebuah bola dan
ia mainkan sendiri dengan skillnya yang sudah luar biasa hebatnya. Untung saja
belum ia panggil teman-temannya karena pasti akan sangat memalukan begitu
temannya tahu bahwa ia sedang bersedih.
“Hai Nak, pintar juga kau bermain bola.
Kamu yang bernama Raka?” tanya seseorang tiba-tiba.
“Iya maaf Bapak siapa?” Tanya Rak kepada
bapak-bapak yang baru saja datang.
Ternyata bapak ini sudah memperhatikan
Raka memainkan bolanya sedari tadi. Bapak ini adalah Pak Syamsu, tetangga Raka
yang sudah lama tinggal di kota. Beliau hendak nostalgia ke kampung halamannya.
Sudah lama ia bekerja di kota menjadi seorang assisten pelatih suatu tim sepak
bola berkelas di Indonesia. Kebetulan siang tadi ia juga mendengar bahwa ada
kabar tentang seorang Messi Kampung Selayu yaitu Raka. Pak Syamsu ini adalah
sahabat baik dari Pak Arsyil yang dulunya secara bersama-sama ikut berjuang
membela daerahnya dalam pertandingan bola. Namun nasibnya jauh beruntung
dibanding Pak Arsyil karena masih bisa meneruskan bakatnya bermain bola dengan
menjadi pelatih sebuah klub sepak bola.
“Nak, kamu mau nggak ikut bapak ke kota.
Bapak sekolahkan kamu di sebuah sekolah sepak bola yang bagus. Nanti kamu bisa
saya sekolahkan juga. Jadi selain kamu bisa belajar umum kamu juga bisa
meningkatkan kemampuanmu bermain bola.” Ajak Pak Syamsu ke Raka.
Raka pun masih bimbang memikirkan
tawaran dari Pak Syamsu. Di satu sisi, besar keinginannya meningkatkan
kemampuannya bermain bola, namun di sisi lain ada bapaknya yang membutuhkan
dirinya untuk terus di sisinya mengingat kesehatan bapaknya yang terus menurun.
Bapaknya sangat bersemangat jika anaknya ikut Pak Syamsu ke kota namun tak
begitu dengan Raka. Ia justru lebih khawatir jika bapaknya ditinggal sendiri.
Apalagi penyakit bapaknya yang terus mengeluarkan darah dari mulutnya semakin
menjadi. Perbedaan pendapat antara dirinya dengan bapaknya menjadikan mereka
sering adu pendapat.
Hari telah berganti hari. Perasaan Raka
antara iya dan tidak sudah ia putuskan secara bulat.
“Le gimana udah kamu putuskan untuk
pergi ke kota? Udah demi cita-citamu bapak rela kamu tinggalkan,” Tegur Pak
Arsyil ke Raka.
“Udah Pak, keputusan Raka udah bulat dan
ndak bisa diganggu gugat. Di kota biayanya mahal dan itu pasti akan membuat
bapak kesusahan. Ya Pakdhe Syamsu mau menyekolahkan saya lha tapi belum tentu
mau menjajakan saya. Takutnya kalau saya mau beli apa-apa pasti nggak bisa. Itu
akan merepotkan Bapak. Lagi pula Bapak semakin sakit, saya ingin menemani Bapak
saja di kampung. Saya ingin jadi insinyur saja biar kaya anaknya Pak Lurah.
Bola hanya jadi sampingan saja. Saya hanya ingin belajar niat biar pinter.”
Terang Raka panjang lebar.
“Ya kalau kamu mau jadi pemain bola atau
mau jadi insinyur tetap saja harus ninggalin bapak. Cuman kalau jadi pemain
bola kamu harus pergi sekarang, kalau jadi insinyur perginya besok kalau habis
SMA.” Jelas Pak Arsyil buat putra semata wayangnya.
“Ndak mungkin saya tinggalkan Bapak
sekarang. Saya yakin kalau suatu hari nanti Bapak akan sembuh jadi pasti akan
siap jika saya tinggalkan Bapak untuk sekolah jadi insinyur. Katanya kalau mau
jadi insinyur ‘kan perginya nanti.” Terang Raka.
“Ya kalau Bapak masih Le. Udah kamu
pergi saja Le. Lagi pula masalah biaya mahal di kota santai saja. Bapak udah
jual sawah kita yang 2 ubin buat biaya kamu. Bapak juga udah urus surat
kepindahan kamu di kantor desa dan sekolah.” Seru Pak Arsyil ke Raka.
“Bapak nggak boleh ngomong gitu. Bapak
kok jadi menjual sawah itu sebelum saya ngambil keputusan?” Tanya Raka dengan
kaget.
“Ya makanya to Le. Kamu jangan bikin
bapak kecewa. Sawah itu seharusnya laku lima juta tapi bapak jual 3 juta
makanya jangan kamu sia-siakan usaha bapak. Lagian bapak tadi udah cek ke
dokter katanya Bapak cuma sakit pikiran gara-gara mikirin kamu yang nggak mau
nurut. Makanya ya mau ke kota. Ini juga demi cita-cita kamu. Terus kamu janji
jangan bandel sama congkak jika kamu mau berhasil nanti.” Perintah Pak Arsyil
ke anaknya.
“Ya udah saya mau pergi ke kota tapi
Bapak janji nggak boleh mikirin aku berlebihan. Dan boleh ya seminggu sekali
aku pulang ke kampung.” Izin raka ke bapaknya.
Berat sebenarnya Raka pergi meninggalkan
bapaknya yang masih sakit di rumah. Tapi mendengar bahwa penyakit bapaknya yang
hanya pikiran terlebih keinginan bapaknya untuk ia pergi ke kota membuatnya tak
bisa mengelak lagi. Ia berjanji akan belajar sungguh-sungguh dan giat berlatih
sepak bola agar tercapai semua impiannya menjadi bintang lapangan.
Tag = Tag : #contoh cerbung #contoh cerpen
#Cerbung #Cerpen #Cerita Bersambung #Cerita pendek #Cerbung Bahasa Indoenesia
#Cerpen Bahasa Indonesia #Cerpen Keluarga #Cerpen Inspirasi #Cerpen Kasih
Sayang
Tidak ada komentar:
Posting Komentar