Minggu, 01 Maret 2015

Cerbung Keluarga dan Inspirasi : Bintang Bersinar untuk Bapak Part 1

Bintang Bersinar untuk Bapak Part 1
Sukses memang sebuah kata yang semua orang pasti mendambakannya. Namun sukses bukanlah orang yang bergelimang harta atau mereka dengan jabatan berlapis. Untuk sukses cukup menjadi bintang yang bersinar dengan terangnya di langit sana tanpa ada yang mampu meredupkannya, yaitu salah satunya menjadi juara di hal yang disukainya.

Sore itu Raka pulang dari sekolah. Dengan seragam SMP yang terlihat lusuh, atasan putih yang dikeluarkan, dan sebutir bola yang ia bawa dengan tangan kanannya lalu ia senderkan di pinggang sebelah kanan. Ia meratap iba melihat bapaknya yang sedang bersusah payang mengecangkan skrup-skrup sepeda dengan sekuat tenaga. Muka bapaknya yang cemong-cemong hitam karena cairan oli ditambah kedua kakinya yang hanya sepanjang lutut.
Bapak Raka bernama Pak Arsyil, dulunya adalah seorang pemain bola berbakat yang membela daerahnya dalam pertandingan berkelas di Indonesia. Namun sejak ia kecelakaan saat  mengendarai motor kesukaannya ia harus kehilangan kedua kakinya dan pekerjaannya. Kakinya harus diamputasi juga statusnya menjadi atlet sepak bola harus ia buang. Istrinya pun juga pergi meninggalkannya karena tak ingin memilki suami yang tak normal seperti orang lain. Istrinya tak percaya jika suaminya ini akan mampu mnghidupinya. Akhirnya memilih pergi yang saat itu anak pertama mereka sedang berumur 3 tahun.
Pak Arsyil selain bakat dalam dunia sepak bola ia juga hobi dalam dunia otomotif. Ia mampu membuat kedua kaki palsunya dengan keahlian yang ia pelajari secara otodidak. Bahkan di saat ia sedang sukses di kejayaannya menjadi pemain bola ia hobi mengoleksi motor. Namun semua motornya ia jual untuk biaya pengobatan kakinya dan untuk membangun bengkel. Sedangkan sisanya untuk biaya hidupnya dan anaknya. Bengkel yang ia miliki memang masih terbilang kecil karena belum ada karyawan. Jangankan karyawan ada dua pelanggan yang mampir di bengkelnya saja sudah beruntung. Meskipun terkadang ada beberapa anak STM yang mampir untuk sekedar main atau ikut belajar membantu membetulkan kendaraan. Banyak yang tak percaya dengan kemampuan Pak Arsyil karena kedua kakinya yang tak lengkap. Meski begitu ada pula tetangganya yang segan menjadi pasien otomotifnya. Itu pun mereka yang benar-benar mengetahui bakat Pak Aryil dalam membetulkan kendaraan atau juga mereka yang merasa kasian.
Biaya kehidupan yang semakin mahal ditambah biaya pendidikan Raka yang saat ini sedang duduk kelas 2 SMP. Untung ia masih mendapatkan keringanan biaya sekolah dari donatur di sekolahnya. Bakat bapaknya menurun ke putranya, Raka. Raka sangat hobi dalam bermain sepak bola. Semua baju yang ia pakai selain baju partai politik atau calon wakil daerah kampanye pasti baju bola tim kesayangannya, Barcelona. Siangnya sekolah, sorenya bermain bola, dan malamnya nonton pertandongan bola. Begitu seterusnya. Namun cara ia melihat pertandingan bola berbeda. Orang biasa yang hobi menonton bola hanya teriak-teriak saja saat timnya berhasil memasukkan bola ke kandang lawan atau mengeluarkan umpatan saat tim favoritnya kebobolan, sedangkan Raka benar-benar memperhatikan teknik permainan pemainnya dengan teliti dan ia praktekkan keesokaannya. Dengan kemampuannya yang lebih dibanding teman-teman sebayanya ia sering dijuluki Messinya Kampung Selayu, kampung tempat tinggalnya.
Keinginannya menjadi pemain bola kelas internasional sangat menggebu-nggebu. Obrolan tentang bola selau menjadi gosip terpanas dengan bapaknya setiap hari. Di saat orang-orang masih deman bulu tangkis, ia masih saja demam bola namun di saat orang-orang deman bola ia sudah terkena demam bola stadium gawat darurat. Ia ingin mewujudkan keinginan bapaknya menjadi pemain bola hebat.
Namun sore itu ia benar-benar tak tega melihat bapaknya yang terus-terusan batuk tapi masih saja sibuk membetulkan sepeda tetangganya. Apalagi ketika mengetahui ada cairan darah yang keluar dari mulut bapaknya. Bapaknya terus bersikukuh bahwa dirinya tak kenapa-kenapa dan masih menyuruh putranya bermain dengan teman-temannya.
“Sudah Le, bapakmu ora popo. Ini hanya sakit TBC turunan. Besok kalao tanjakan juga sembuh sendiri. Bal-balan saja sana, bapak nggak mau kaya jaman mbahmu dulu. Masih kecil bapak dilarang bermain tapi disuruh ngarit cari rumput buat makan ternak dan bapak nggak mau itu terjadi sama kamu. Ini sudah jaman maju biar kamu kaya anak lanang lain. Sudah jaman merdeka masih suruh kerja rodi.” Perintah Pak Arsyil kepada Andi.
“Popo Pak. Bapak gimana to? Sakit gitu dibilang nggak papa. Sudah main bolanya malam aja habis ngaji. Anak-anak sini pasti mau, aku ‘kan bosnya,” jelas Raka kepada bapaknya.
“Lha kamu belajarnya gimana to?” tanya Pak Arsyil.
“Alah gampang wong bengkelnya bapak nggak terlalu rame jadi saya bisa nyambi ngerjain PR. Belajar ‘kan kalau ada PR aja. Hehe. Atau nanti malem sambil nonton bola. Lagian sekolahku swasta Pak, jarang PR. Gurunya baik-baik, pengertian sama murid,” terang Raka.
Sejak saat itu, sang bintang sepak bola di kampung Selayu ini tak memunculkan batang hidungnya di lapangan hijau. Ia lebih memilih membantu bapaknya sampai sore hari. Waktu Raka yang semakin sibuk dengan jadwal padat tidak membuatnya kelelahan maklum anak bandel fisik beton mental baja ini memang begitu besar tekatnya menjadi pemain bola berkelas dunia. Begitu pula teman sepermainan Raka yang sudah menganggap Raka menjadi pelatih sepak bola mereka, mau saja mereka menuruti kemauan Raka untuk bermain sepak bolanya sehabis Isa atau setelah mengaji. Meskipun emak-emak kawannya silih berganti memarahi Raka karena anak-anaknya harus kehilangan waktu belajarnya. Raka yang memang berpotongan sedikit bandel memang hanya akan belajar jika ada ulangan atau ada PR saja.
“Aduh anaknya Ibu-ibu saja yang nggak mau belajar. Ya mbok belajarnya siang hari wong saya aja yang siangnya membantu bapak masih ada waktu belajar. Lagian kalau anak-anak ibu mau malem atau siang bermain bolanya tetap aja nggak belajar. Wong bodhonya turunan maupun tanjakkan. Hehe,” ejek Raka ke ibu-ibu dari temannya di dalam hati.
Siang itu panas sangat menyengat. Raka masih sibuk menembel ban bocor sebuah sepeda kecil milik anak umur 3 tahun, tetangganya. Kebetulan saat itu pasien otomotifnya hanya itu. Ia sangat bersemangat untuk menyelesaikan proyek ini dan segera bertolak ke lapangan hijau dekat kebun Pak Haji Syamsu.
“Pak nanti kalau ban ini sudah selesai aku mau main bola ya Pak?” izin Raka kepada bapaknya yang baru saja datang.
“Udah nggak usah kemana-mana. Bapak itu mengizinkan kamu keluar malem untuk bermain bola bukan untuk maling. Bapak kecewa dan malu sama kamu. Kamu keliatannya anak baik-baik tapi ternyata kalau di depannya bapak saja kalau di depan orang lain nggragasnya kelihatan. Kamu pikir bapak bangga? Mentang-mentang bapak yang ngasih makan ke kamu terus kamu jadi anak manis di depan Bapak biar Bapak masih ngasih kamu makan sama uang jajan. Udah pergi kamu, bapak kecewa besar sama kamu dan males ngasih kamu makan lagi.” Marah Pak Arsyil yang tiba-tiba pulang.
Raka pun termenung dan berdiam diri meratapi apa yang dikatakan bapaknya. Ia tersadar bahwa ada kesalahan besar yang baru saja ia perbuat. Rupanya bapaknya baru saja sakit hati setelah mendengarkan suara buruk tentang anaknya oleh Pak Haji Kardun. Raka tadi malam khilaf karena mengambil mangga di kebun dekat lapangan milik haji pelit ini tanpa izin meminta. Pohon mangga di kebunnya nyaris habis karena ulah Raka dan teman-temannya. Meskipun tidak seratus persen adalah salah Raka karena ini hanya ajakan salah satu temannya tapi ia tetap saja ikut mengambil mangga tanpa izin. Ia sempat menolak ajakan temannya namun demi kebersamaan ia masih saja mau mencuri. Pak Arsyil termasuk bapak yang tegas sehingga hanya karena satu kesalahan anaknya yang tak termaafkan ia tak segan-segan mengusir anaknya dari rumah. Pak Arsyil hanya tak mau sikap buruk ini menjadi kebiasaan yang akan dibawa hingga dewasa nanti. Pikiran Raka justru kemana-mana. Ia sadar bahwa selama ini dia sudah congkak di hadapan kawan-kawannya yang menurutnya tak sehebat dirinya. Sehingga ia dengan mudahnya memutuskan segala sesuatu tanpa berpikir panjang. Bukan ini sifat yang harus dimili oleh seorang bintang khususnya bintang lapangan hijau. Ketakutan tiba-tiba muncul dalam benaknya jika nantinya didikan bapaknya yang tegas bisa salah kaprah. Menjadi seorang yang jahat dan pengecut serta tak mampu membedakan mana yang benar dan mana yang salah. Meskipun ia hanya dibesarkan oleh seorang ayah sekaligus menjadi seorang ibu, ia tak ingin jika ia menjadi orang tak baik.
Ia segera berlari menuju lapangan tempat ia biasanya bermain bola. Ingin sekali buatnya menangis namun rasa malu lebih berkuasa dan sangat pantang baginya untuk menangis. Diambilnya sebuah bola dan ia mainkan sendiri dengan skillnya yang sudah luar biasa hebatnya. Untung saja belum ia panggil teman-temannya karena pasti akan sangat memalukan begitu temannya tahu bahwa ia sedang bersedih.
“Hai Nak, pintar juga kau bermain bola. Kamu yang bernama Raka?” tanya seseorang tiba-tiba.
“Iya maaf Bapak siapa?” Tanya Rak kepada bapak-bapak yang baru saja datang.
Ternyata bapak ini sudah memperhatikan Raka memainkan bolanya sedari tadi. Bapak ini adalah Pak Syamsu, tetangga Raka yang sudah lama tinggal di kota. Beliau hendak nostalgia ke kampung halamannya. Sudah lama ia bekerja di kota menjadi seorang assisten pelatih suatu tim sepak bola berkelas di Indonesia. Kebetulan siang tadi ia juga mendengar bahwa ada kabar tentang seorang Messi Kampung Selayu yaitu Raka. Pak Syamsu ini adalah sahabat baik dari Pak Arsyil yang dulunya secara bersama-sama ikut berjuang membela daerahnya dalam pertandingan bola. Namun nasibnya jauh beruntung dibanding Pak Arsyil karena masih bisa meneruskan bakatnya bermain bola dengan menjadi pelatih sebuah klub sepak bola.
“Nak, kamu mau nggak ikut bapak ke kota. Bapak sekolahkan kamu di sebuah sekolah sepak bola yang bagus. Nanti kamu bisa saya sekolahkan juga. Jadi selain kamu bisa belajar umum kamu juga bisa meningkatkan kemampuanmu bermain bola.” Ajak Pak Syamsu ke Raka.
Raka pun masih bimbang memikirkan tawaran dari Pak Syamsu. Di satu sisi, besar keinginannya meningkatkan kemampuannya bermain bola, namun di sisi lain ada bapaknya yang membutuhkan dirinya untuk terus di sisinya mengingat kesehatan bapaknya yang terus menurun. Bapaknya sangat bersemangat jika anaknya ikut Pak Syamsu ke kota namun tak begitu dengan Raka. Ia justru lebih khawatir jika bapaknya ditinggal sendiri. Apalagi penyakit bapaknya yang terus mengeluarkan darah dari mulutnya semakin menjadi. Perbedaan pendapat antara dirinya dengan bapaknya menjadikan mereka sering adu pendapat.
Hari telah berganti hari. Perasaan Raka antara iya dan tidak sudah ia putuskan secara bulat.
“Le gimana udah kamu putuskan untuk pergi ke kota? Udah demi cita-citamu bapak rela kamu tinggalkan,” Tegur Pak Arsyil ke Raka.
“Udah Pak, keputusan Raka udah bulat dan ndak bisa diganggu gugat. Di kota biayanya mahal dan itu pasti akan membuat bapak kesusahan. Ya Pakdhe Syamsu mau menyekolahkan saya lha tapi belum tentu mau menjajakan saya. Takutnya kalau saya mau beli apa-apa pasti nggak bisa. Itu akan merepotkan Bapak. Lagi pula Bapak semakin sakit, saya ingin menemani Bapak saja di kampung. Saya ingin jadi insinyur saja biar kaya anaknya Pak Lurah. Bola hanya jadi sampingan saja. Saya hanya ingin belajar niat biar pinter.” Terang Raka panjang lebar.
“Ya kalau kamu mau jadi pemain bola atau mau jadi insinyur tetap saja harus ninggalin bapak. Cuman kalau jadi pemain bola kamu harus pergi sekarang, kalau jadi insinyur perginya besok kalau habis SMA.” Jelas Pak Arsyil buat putra semata wayangnya.
“Ndak mungkin saya tinggalkan Bapak sekarang. Saya yakin kalau suatu hari nanti Bapak akan sembuh jadi pasti akan siap jika saya tinggalkan Bapak untuk sekolah jadi insinyur. Katanya kalau mau jadi insinyur ‘kan perginya nanti.” Terang Raka.
“Ya kalau Bapak masih Le. Udah kamu pergi saja Le. Lagi pula masalah biaya mahal di kota santai saja. Bapak udah jual sawah kita yang 2 ubin buat biaya kamu. Bapak juga udah urus surat kepindahan kamu di kantor desa dan sekolah.” Seru Pak Arsyil ke Raka.
“Bapak nggak boleh ngomong gitu. Bapak kok jadi menjual sawah itu sebelum saya ngambil keputusan?” Tanya Raka dengan kaget.
“Ya makanya to Le. Kamu jangan bikin bapak kecewa. Sawah itu seharusnya laku lima juta tapi bapak jual 3 juta makanya jangan kamu sia-siakan usaha bapak. Lagian bapak tadi udah cek ke dokter katanya Bapak cuma sakit pikiran gara-gara mikirin kamu yang nggak mau nurut. Makanya ya mau ke kota. Ini juga demi cita-cita kamu. Terus kamu janji jangan bandel sama congkak jika kamu mau berhasil nanti.” Perintah Pak Arsyil ke anaknya.
“Ya udah saya mau pergi ke kota tapi Bapak janji nggak boleh mikirin aku berlebihan. Dan boleh ya seminggu sekali aku pulang ke kampung.” Izin raka ke bapaknya.
Berat sebenarnya Raka pergi meninggalkan bapaknya yang masih sakit di rumah. Tapi mendengar bahwa penyakit bapaknya yang hanya pikiran terlebih keinginan bapaknya untuk ia pergi ke kota membuatnya tak bisa mengelak lagi. Ia berjanji akan belajar sungguh-sungguh dan giat berlatih sepak bola agar tercapai semua impiannya menjadi bintang lapangan.

Tag = Tag : #contoh cerbung #contoh cerpen #Cerbung #Cerpen #Cerita Bersambung #Cerita pendek #Cerbung Bahasa Indoenesia #Cerpen Bahasa Indonesia #Cerpen Keluarga #Cerpen Inspirasi #Cerpen Kasih Sayang

Tidak ada komentar: