Ini yang patut disesalkan. Selama
ini etika bangsa Jepang seperti budaya
kedisiplinan, budaya kerja keras, dan budaya kejujuran sangat diagungkan. Tapi,
hal ini justru tidak dilakukan oleh para petinggi salah satu perusahaan besar di Jepang sekelas
Toshiba karena selama enam tahun ini telah membesarkan laba senilai 151,8
milliar yen atau senilai US$ 1,2 milliar. Apalagi kasus penyimpangan ini
dilakukan atas nama lembaga dan perusahan yang mewakili Jepang. Ini artinya
adanya mal praktek akuntansi untuk memalsukan laporan keuangan terhitung sejak
tahun 2008 sampai dengan 2014. Jika pun harus dibenarkan atau menampilkan
laporan keuangan seharusnya tentunya juga akan mempengaruhi laporan keuangan
periode 2015.
Seperti pepatah nila setitik
rusak sebelanga. Selama ini kepercayaan masyarakat yang begitu besar terhadap
Toshiba telah dirusak karena ketidakjujuran praktek akuntansi yang dilakukan
Toshiba. Selama ini Toshiba menduduki peringkat sembilan dari 120 perusahaan
publik di Jepang dalam Good Governance Practice. Toshiba juga telah berkiprah dalam industry teknologi di seluruh dunia sejak
tahun 1875, itu artinya selama 140 tahun Toshiba telah mampu mencuri
hati masyarkat di seluruh dunia dengan produk yang berkualitas, brand
image yang tangguh, dan layanan pelanggan yang excellent. Reputasi yang bagus itu kini
hancur berantakan hanya karena pressure yang sangat tinggi untuk
memenuhi target performance unit.
Sebenarnya di Jepang telah ada
kasus yang serupa yaitu Olympus Corp, sebuah perusahaan produksi kamera di
Jepang. Olympus Corp berhasil menutupi kerugian sebesar US$ 1,7 milliar. Namun
kasusnya tidak begitu mencuat seperti kasus Toshiba. Hal ini dumungkinkan
karena prinsip orang Jepang yang menganggap bahwa masalah sistematis dengan
prosedur hukum perdata dan hukum dagang dikritik orang Jepang sebagai sesuatu
yang tidak efisien dalam artian waktu. Maka hal inilah yang menjadikan kasus
skandal di Olympus tidak begitu menarik mata wartawan.
Belajar dari kasus Olympus, maka
Pemerintahan Perdana Menteri Abe ingin mendorong transparansi yang lebih
besar di perusahaan-perusahaan Jepang untuk menarik lebih banyak investasi
asing. Hal ini untuk mendapatkan kembali kepercayaan investor global dengan
pedoman tata kelola perusahaan yang lebih baik sehingga dapat menarik cash in flow.
Apalagi di tengah pertumbuhan ekonomi yang kian melemah yang kini sedang
dijalani Negara Jepang. Atas saran pemerintah tersebut, para dewan komisaris
(Chairman) Toshiba menyewa panel independen yang terdiri dari para akuntan dan
pengacara untuk menyelidiki masalah transparansi di Perusahaannya. Hal ini
sudah dibenarkan, karena terkadang kepercayaan terhadap pengawasan yang biasa
saja (internal audit atau komite audit) tidak selalu harus diterapkan. Perlu
adanya pengawasan lebih seperti pengadaan panel independen.
Padahal banyak sekali regulasi
yang dikeluarkan OJK-nya Jepang untuk mencegah terjadinya praktik kecurangan
akuntansi pada perusahaan terdaftar di bursa. Namun masih saja, OJK-nya Jepang,
internal audit, bahkan sampai audit independen belum mampu menemukan keganjalan
dalam laporan keuangan selama enam tahun ini. Cara baru pengawasan agar hal ini
tidak ini terulang lagi adalah pengadaan upaya semacam inspeksi dari komisaris
perusahaan atau dari regulator (jika perusahaan terbuka). Inpeksi atau
pemeriksaan khusus bisa dilakukan kapan saja dengan waktu yang tidak tentu.
Pemeriksaan khusus (inpeksi) ini harus dituangkan dalam peraturan resmi
(peraturan OJK atau peraturan pemerintah) agar semua perusahaan melakukannya
secara bersama, termasuk didalamnya siapa yang menanggung biaya inspeksi ini.
Dengan penerapan pengawasan berlapis ini tentunya akan tercipta laporan
keuangan yang lebih accountable, good
corporate governance, dan tentunya kepercayaan para stake holder (termasuk
didalamnya investor) akan semakin tinggi.
Lagi, yang menjadi pemicunya
kasus moral hazard ini adalah karena teori agensi yang berlaku namun tidak
dilakukan sejujurnya. Adanya perbedaan kepentingan antara pihak principle
(superrior) dengan agent (inverrior). Para investor menginginkan agar uangnya
yang ditanamkan di Toshiba tidak percuma dan menghasilkan profit untuk dirinya
sendiri. Juga para manager serta karyawan yang menginginkan agar kinerjanya
nampak bagus, menaikkan laba perusahaan, dan tentunya memberikan keuntungan
untuk dirinya sendiri seperti bonus untuk karyawan dengan kinerja tinggi yang
selama ini berlaku di Toshiba. Sistem kompensasi karyawan yang berlaku di
Toshiba selama ini dihitung dari kinerja keuangan. Jadi para CEO mengelabuhi
para komisaris dengan seolah-olah memberikan laba yang besar sehingga citranya
akan baik di mata publik dan mendapat kepercayaan yang tinggi.
Untuk memberikan kepuasan kepada
para investor, CEO sengaja memasang pencapaian target yang tinggi. CEO seolah
menekan karyawan untuk mencapai target yang tinggi tanpa adanya solusi, yaitu
hanya menekan karyawan. Para bawahan hanya menurut apa yang dimau atasan tanpa
bisa mengkoreksi dan kesalahan manajemen mengambil keputusan. Seharusnya CEO
harus lebih bijak dan realistis dalam mengambil keputusan, apalagi memasang
target yang sangat tinggi dan tidak mungkin dicapai melihat kondisi bisnis dan
perusahaan.
Dalam akuntansi manajemen, ada yang
disebut akuntansi pertanggungjawaban, yaitu bagaimana kepala unit bisnis
melaporkan pencapaian kinerjanya atas tanggung jawab yang diberikan manajemen
puncak perusahaan kepadanya. Dalam dunia akuntansi pertanggungjawaban, ada
empat perspektif kinerja dalam balance score card
yaitu keuangan,
pelanggan, proses bisnis internal, dan pertumbuhan dan pembelajaran. Perspektif
kinerja yang berlaku di Toshiba hanyalah tumpuan penilaian kinerja yang semata-mata
hanya pada sisi kinerja keuangan.
Di tengah pressure yang tengah
berlangsung juga tergiur iming-iming bonus yang diberikan, akhirnya muncullah
ide-ide kreatif dari karyawannya untuk mencapai target yang ditetapkan. Selama
ini Toshiba hanya menilai kinerja perusahaan hanya dari sisi keuangan, sehingga
membuat para karyawan mengabaikan peningkatan kreatifitas riset pengembangan
atau pemasaran. Karyawan Toshiba tidak lagi menginginkan kualitas produk
Toshiba yang semakin meningkat sehingga menarik konsumen yang banyak, jika pada
akhirnya kinerja perusahaan dapat dinilai dari segi keuangannya saja. Untuk
memberikan kesan kinerja keuangan perusahaan yang bagus bisa terlihat dari
laporan keuangannya. Untuk itu diperlukan manipulasi akuntansi yang cerdas tapi
curang untuk memberi kesan bahwa seolah-olah perusahaan memiliki kinerja yang
bagus. Dibuatlah laporan keuangan dengan profit tinggi padahal tidak
mencerminkan keadaan yang sebenarnya.
Untuk mengelabuhi laporan
keuangan tersebut, Toshiba melakukan berbagai cara yang pada intinya menyimpang
dari prinsip akuntansi. Toshiba mengakui pendapatan lebih awal atau menunda
pengakuan biaya pada periode tertentu namun dengan metode yang menurut
investigator tidak sesuai prinsip akuntansi. Toshiba
memaksa supplier menunda penerbitan tagihan meski pekerjaan sudah selesai.
Sehingga seolah-olah biaya yang yang seharusnya ada tidak ada bukti
transaksinya dan tidak bisa dijadikan sebagai pengurang dari pendapatan karena
belum tercatat sebagai hutang atau pun beban. Selain itu penyimpangan terhadap
prinsip akuntansi yang dilakukan adalah bahwa Toshiba salah menggunakan percentage-of-completion untuk
pengakuan pendapatan proyek, yaitu menerapkan sistem cash-based ketika
pengakuan provisi yang seharusnya sistem yang benar dengan metode akrual.
Adanya kemungkinan pula bahwa keuangan Toshiba terlalu dibebani investasi
bisnis nuklir Westinghouse Toshiba sebesar US$ 5,4 miliar yang diakuisisi pada
tahun 2006.
Cash-based adalah metode
perhitungan yang didasarkan atas penghasilan yang diterima dan biaya yang
dibayar secara tunai. Sedangkan metode akrual adalah metode perhitungan
pendapatan dan biaya yang didasarkan saat terjadinya transaksi. Dengan mengubah
pengakuan provisi dari akrual menjadi cash-based seolah tidak mengakui adanya
provisi yang dapat mengurangi pendapatan proyek. Selama beban tersebut belum
dibayar tunai maka tidak boleh diakui sebagai beban meskipun sebenarnya
transaksi itu telah terjadi. Jika beban memang belum dibayar sudah sepantasnya
dianggap sebagai hutang beban sehingga laba dapat terkurangi.
Motiv dibalik pengadaan laba
sebesar US$ 1,2 milliar, selain guna mendapatkan bonus atas kinerja yang
diperoleh para staf pihak management juga ditujukan untuk menarik lebih banyak investor
atau penanam saham untuk semakin banyak menanamkan modalnya. Investor/calon
investor akan senang menanamkan uangnya pada perusahaan yang memiliki kinerja
keuangan yang baik. Mengingat besar deviden yang diterimanya sangat ditentukan
dari kinerja perusahaan. Biasanya mereka akan melihat pada laporan keuangan,
terutama melihat besar profit perusahaan pada laporan laba/rugi komersiil. Laba
yang dihasilkan oleh perusahaan Toshiba sangat menarik para investor untuk menanamkan
sahamnya, apalagi di tengah perusahaan-perusahaan elektronik lain di Jepang
tengah terguncang. Permintaan akan saham Toshiba meningkat sehingga membuat
harga sahamnya pun juga meningkat drastis.
Sangat disayangkan jika skandal
keuangan Toshiba harus diketahui ketika Perdana Menteri Jepang, Shinzo Abe yang
justru sedang menginginkan perubahan tata kelola perusahaan yang ditujukan
untuk menyelamatkan ekonomi Jepang. Cara yang ditempuh Perdana Menteri Jepang
tersebut adalah dengan berusaha meningkatkan transparansi perusahaan-perusahaan
Jepang, terutama perusahaan besar seperti perusahaan sekelas Toshiba. Hal ini
dimaksudkan untuk meningkatkan kepercayaan global, khususnya investor asing
untuk menanmkan sahamnya sehingga ekonomi Jepang dapat lebih semakin kondusif.
Namun hal ini justru terjadinya
sebaliknya. Dengan diketahuinya skandal keuangan Toshiba, citra Jepang justru
semakin melemah mengingat Toshiba sebagai salah satu perusahaan raksasa di
Jepang dan dapat diangaap sebagai wakil dari Jepang. Maksud ingin memperbaiki
ekonomi Jepang justru terjadi sebaliknya. Kasus Toshiba menjadi pukulan berat
dalam upaya perubahan ini.
Jepang, khususnya ditujukan
kepada Toshiba harus kehilangan kepercayaan publik dengan berlarinya para
investor asing. Masyarakat global semakin tidak percaya dengan kondisi ekonomi
di Jepang sehingga sangat mengawatirkan jika uang mereka ditanam di Jepang,
khususnya untuk perusahaan Toshiba. Terjadilan cash out flow. Dengan demikian,
saham Toshiba tidak lagi diancar kalangan investor dan harganya turun 20%.
Untuk perbaiki tata kelola
ekonomi di Jepang, banyak investor dan analis asing meminta untuk
langkah-langkah tata kelola perusahaan yang lebih baik pada Jepang. Untungnya
budaya kejujuran Jepang di Toshiba masih sedikit berlaku. Tidak lama semenjak
kasus itu mencuat, banyak petinggi di Jepang mengundurkan diri untuk
mempertanggungjawabkan apa yang mereka lakukan. Seperti CEO dan presiden
Toshiba, Hisao Tanaka, dan eksekutif tinggi lainnya termasuk mantan CEO
Atsutoshi Nishida dan Norio Sasaki, mengundurkan diri dari perusahaan. Saat ini
Masashi Muromachi mengambil alih sementara kursi presiden perusahaan ini. Untuk
perbaiki kepercayaan global juga, kemungkinan Jepang akan mendenda Toshiba
senilai 300-400 miliar Yen yang besifat belum final. Laporan keuangan periode
April 2008 sampai Maret 2014 yang sempat tertunda juga akan dipublikasikan untuk
menujukan laba Toshiba yang sebenarnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar