Tunjukan Jasadnya Part
2
Waktu sudah menunjukkan pukul 08.00
pagi. Baru aku ingat terakhir aku tidur adalah pukul 4 sore kemaren. Itu pun
hanya satu jam. Ini yang membuatku semakin lelah. Di kedua mataku seperti ada
kunang-kunang.
“Kring....Kring...” Terdengar suara
bel pintu seperti ada tamu. Awalnya aku diam saja dan enggan membukakan pintu
itu. Tapi baru aku ingat, ibuku tidak ada di rumah.
“Iya, silakan masuk!” Suaraku halus
mempersilakan masuk tamu yang tak diundang itu. Awalnya aku sedikit mengigau
karena baru kali ini aku terjaga selama ini. Bibirku sulit tersenyum dan mataku
sulit menunjukkan rasa semangat menerima tamu tersebut. Sebenarnya ingin bagiku
menutup kembali pintu itu. Paling dia hanya tamunya ibu dan kebetulan orang
yang dicari sedang tidak ada.
“Nak, boleh Ibu masuk.” Tamu itu
memintaku mempersilakannya. Di tangannya seperti banyak cangkingan. Aku sangat
terkejut. Tamu itu seperti orang yang pernah aku lihat. Tapi tak mungkin kalau
orang ini adalah orang yang pernah aku temui. Maklum mata dan organ tubuhku
sudah merasa letih. Dan aku takut konsentrasiku selama ini telah hilang.
Lagipula aku juga orangnya tidak mudah mengingat wajah seseorang.
“Kamu lupa dengan saya? Saya Bu Marti.
Orang yang pernah kamu temui.” Ibu itu memperkenalkan identitasnya kepadaku.
Ternyata yang aku duga benar. Ibu-ibu tua yang waktu lalu aku kunjungi
benar-benar ke rumahku. Aku agak tertegun dan tidak percaya. Awalnya aku
meragukan pandanganku mengingat kondisiku yang terlalu letih karena bergadang
dalam waktu yang lama. Apalagi kali ini ada merah-merah di bibir di mulut Ibu
Marti.
“Iya Buk, silakan masuk. Ini rumah
saya. Tidak terlalu besar seperti rumah Ibu memang tapi saya sudah terlalu
betah tinggal di sini.” Perintahku terhadap Ibu Marti mempersilakan.Dalam waktu
lama kami berdua hanya berdiam diri. Tidak ada sepatah kata pun setelah kami
saling bertanya kabar. Mungkin karena aku sudah kehabisan akal akan mengenakkan
percakapan seperti apa setelah akalku sudah diperas proposal skripsiku yang
kedua ini.
“Begini Nak, Kamu masih memperkenankan
tawaran Kamu kemaren Ibu jawab?” Tanya Bu Marti kepadaku.
“Tawaran yang apa Buk?” Jawabku
pura-pura lupa. Lagi pula semua sudah terlambat. Kemaren ya kemaren, sekarang
ya sekarang. Tema skripsiku sudah aku ganti. Bahkan aku sudah rela tidak tidur
tiga hari hanya untuk menyelesaikan proposalku yang baru. Untuk apa datang
kemari jika hanya ingin bercerita yang sudah kadaluarsa.
“Masak Kamu lupa? Kamu kemaren kan
bertanya kepada Ibu tentang anak Ibu si Ridho agar mau jadi bahan penelitian
Kamu?”
“Oh yang itu. Iya Buk. Tapi saya sudah
menggantinya. Lagi pula dosen saya sudah menyetujui tema saya yang kedua.”
“Ya sayang sekali ya Nak. Padahal Ibu
mau bercerita ke Kamu?” Tawaran terlambat. Coba kemaren, aku pasti tidak akan
bergadang selama tiga hari seperti ini. “Ya sudah ya, untuk apa saya
belama-lama di sini. Saya mau pergi saja.” Izinnya pamit. Aku lumayan lega
mendengar pamitnya. Tidak ada lagi yang menganggu perjuanganku akan proposalku.
Aku pun mengantarkannya wanita tua
ini. Kupegang tangan kirinya karena tangan kananya sudah memegang tongkat
penyangga. Depan pintu, tiba-tiba naruniku mulai terketuk. Bagaimana bisa aku
seolah mengusir wanita tua ini. Apalagi untuk menuju kesini saja dia sangat
kesusahan jika jalan kaki. Meskipun aku sudah tak butuh, tak seharusnya aku
menyia-nyiakan usahanya ke sini. Aku tahu maksud dan tujuan wanita tua ini ke
rumahku. Selain dia ingin mencoba membantuku pasti dia juga igin bercerita
tentang perjuangannya merawat putranya yang sakit jiwa selama ini. Aku lihat
orangnya terlalu tertutup. Orang tertutup biasanya akan bercerita hanya dengan
orang yang terlalu dipercaya. Sampai jauh-jauh dia datang ke rumahku hanya
untuk bercerita kepadaku menandakan bahwa aku telah menjadi orang yang
dipercaya.
“Ibu kita masuk ke dalam dulu! Ibu
istirahat saja dulu. Jangan buru-buru! Lagi pula rumah Ibu jauh jika ditempuh
dengan jalan kaki. Nanti saya antar saja pakai mobil saya yang lagi dibawa ibu
saya. Kita menunggu ibu saya dulu.” Perintahku sambil menuntunnya ke kursi di
teras.
Ibu itu bekenan duduk di tempat itu.
Di sinilah cerita itu dimulai. Meskipun cerita itu awalnya sudah tidak
membuatku bersemangat namun akhirnya aku mau mendengar ceritanya secara
seksama. Air mata yang mengalir begitu derasnya dari kelopak matanya membuatku
ingin segera menghentikannya saja. Perasaan sedih yang begitu memuncak menular
kepadaku. Aku tak bisa habis pikir ada orang semalang ini.
Pasti benar waktu tidak akan bisa
diputar kembali dan sudah menjadi takdir Tuhan akan hal itu. Manusia hanya bisa
berharap, selebihnya hanya butiran kisah yang tertuai. Selama ini Ridho
hanyalah anak angkat yang tidak tahu siapa bapak dan ibunya. Ridho dibesarkan
ibu ini dengan tanpa pamrih. Bersama anak kandungnya Ranti, mereka hidup rukun.
Hingga kisah memilukan itu terjadi.
Kebahagian yang semu berawal dari Ridho dan Ranti yang tengah duduk di bangku
Sekolah Desar. Saling bersama, saling menjaga, saling menyayangi mereka bina
seolah kakak-adik. Hingga perasaan yang terus berulang membuat mereka sadar
bahwa ternyata selama ini mereka hanya salah memaknai. Perasaan itu bukanlah
selayaknya hubungan saudara, melainkan perasaan kekasih laki-laki dan
perempuan.
“Ini patung ini sengaja aku buat.”
Kata Ridho kepada Ranti.
“Kamu pintar sekali membuat patung.
Maaf aku tidak bisa membuat apa-apa. Padahal ulang tahun kita sama, tapi aku
tidak memberi kamu hadiah apa pun. Aku hanya bisa berdoa untuk yang terbaik
buat dirimu.” jawab Ranti kala itu. Tanggal ulang tahun Ridho yang tidak jelas
membuat Bu Marti memutuskan mereka memiliki tanggal lahir yang sama.
Kala itu Bu Marti masih memiliki kebun
teh yang begitu luas, bahkan yang terluas di kecamatan kami. Dia begitu
terkejut melihat pahatan patung kuda yang dibuat putra angkatnya untuk putri
kandungnya.
“Ridho! Bagaimana bisa kamu memotong
pohon jati di depan rumah. Kamu tahu butuh lima tahun untuk menunggu pohon itu
tumbuh sebesar itu.” Teriak Bu Marti terhadap Ridho.
“Bukan saya yang memotongnya.”
“Lalu siapa heh.” Sembari menjewer
kuping Ridho.
“Paman Sugeng Bu. Tapi saya yang
menyuruhnya.”
Sugguh lucu cerita Bu Marti pada
bagian kisah ini. Hanya karena cinta monyet bocah SD, sang laki-laki sudah
memiliki keinginan senakal ini. Dia rela memotong pohon milik orang hanya untuk
membuatkan patung untuk seorang perempuan. Apalagi Ridho memang memiliki bakat
unik sedari kecil. Mempunyai jiwa seni yang tinggi dalam hal membuat patung.
“Kamu kalau besar mau jadi apa?” Tanya
Ranti kepada Ridho sewaktu kecil.
“Jadi arsitek. Ranti jadi apa?”
Tanyanya balik.
“Aku jadi istri yang baik untuk
seorang laki-laki yang baik. Kalau Mas Ridho kuliah nanti uang Ibu keluar
banyak. Jadi aku di rumah saja. Menunggu orang yang aku nantikan sukses dulu.”
Rupanya Bu Marti masih teringat betul cerita
sewaktu mudanya dulu merawat dua orang anak. Dan begitu marahnya dia mendengar
anak perempuannya seolah bersikap pasrah jika ditanya soal cita-cita. Tapi
cita-cita kecil mereka memang begitu terjadi. Ridho dan Ranti membuktikan apa
yang mereka katakan dulu.
Perpisahan Ridho hendak pergi menuntut
ilmu arsitektur membuat Ranti jadi sering sakit-sakitan. Bu Marti tak habis
pikir bagaimana bisa seorang adik begitu rindunya ditinggal seorang kakak.
Pikirnya mungkin karena terlalu lama mereka sering bersama. Ridho kebetulan
jarang pulang ke rumah. Zaman dulu, orang merantau belum pulang kalau belum
sukses. Ranti jadi lebih termenung dan menyendiri. Hingga sampai ketika mereka
dibelikan telepon selular kala itu. Waktu itu alat komunikasi semacam itu masih
terlalu unik dan sedikit orang yang memilikinya. Semangat Ranti sudah semakin
membaik. Dia lebih sering bersembayang dan belajar memasak. Dia juga sering
menata kamar Ridho dan juga berdandan.
Awalnya, kala itu Bu Marti sering
menjodohkan Ranti dengan saudagar kaya. Tidak hanya satu atau dua, bahkan sudah
puluhan kali. Tapi tak ada satu pun yang memikat hati Ranti. Hal ini yang
membuat Bu Marti kuatir. Seperti ada yang aneh dengan Ranti. Takutnya kalau
putrinya ini tidak suka dengan laki-laki.
“Buk, aku ingin menikahi Ranti.”
Kata-kata yang begitu menyakitkan di telinga Ibu Marti. Ridho memang begitu
nekat jika ingin menikahi adiknya. Mereka sudah sering bersama hingga mungkin
membuat mereka ingin bersama selamanya. Ibu Marti sudah merasa gagal.
“Kamu ingat tidak Ranti itu adikmu?”
Kamu kemasukan setan ya?” Marah Ibu Marti.
“Tidak Buk, saya sadar. Saya masih
sering sholat dan sering sebut nama Ranti dalam doa saya. Izinkan saya
menikahinya Bu.” Kembali pinta Ridho.
Tak habis akal Bu Marti memikirkan
perkataan Ridho. Hal ini yang membuat Ridho diusir tanpa hormat dari rumah itu.
Tiada yang tahu kemana kala itu Ridho pergi. Ranti semakin aneh. Dia jadi lebih
sering termenung dan menyendiri. Hal ini yang sering membuat Bu Marti terkadang
tidak tega. Perlahan dia mulai merestui hubungan mereka. Bagaimana pun mereka
tidak diciptakan sebagai saudara kandung. Dan sudah sepantasnya jika rasa itu
muncul karena sering bersama. Tak mungkin pula baginya memisahkan dua orang
yang saling mengasihi. Mungkin akan dianggap aneh jika mereka harus menikah,
tapi semua akan menjadi wajar jika Tuhan merestui.
Ucapan pertanda baik sudah dia berikan
kepada anaknya kala itu. Ranti begitu sumringah mendengar apa yang dikatakan
ibunya kala itu. Tapi tidak dengan Ridho yang tidak tahu dimana keberadannya.
Entah di Sumatra, Kalimantan, Papua, atau bahkan di luar negeri. Tak ada satu
jejak pun ia tinggalkan untuk megetahui keberadaannya. Handphone, sebagai alat
tercanggih kala itu juga tidak dibawa. Hal ini yang membuat Bu Marti tidak tahu
akan bagaimana memberitahu Ridho bahwa tanggal perkawinannya dengan Ranti sudah
ditentukan secara pribadi. Tapi yang jelas masih ada setahun tenggang waktu
yang diberikan Bu Marti untuk mereka menikah sejak Bu Marti merestui pernikahan
Ridho dan Ranti.
“Bu, Ridho pulang Buk.” Teriak anak
laki-laki dari arah halaman rumah.
“Ya Allah Ridho, kamu pulang?” Teriak
ibunya lebih keras lagi.
“Iya Bu, selama ini aku tinggal di
Jakarta. Di sana aku menjadi arsitek sukses. Aku punya rumah besar di sana.
Lebih besar dari ini. Kita akan segera pindah ke sana. Bersama Ran....” Katanya
tidak dilanjutkan. Bu Marti tersenyum.
“Kenapa tidak dilanjutkan Nak?” Tanya
ibunya.
“Ranti, iya Ranti.”
“Berarti selama ini Kamu jadi orang
sukses. Sudahlah Nak, kita tinggal di sini saja. Sejak dulu Ibu percaya Kamu
bisa jadi orang sukses, bahkan lebih sukses dari ini.”
“Iya selama ini saya sudah pernah
tidur di kolong jembatan sewaktu saya pertama kali tinggal di Jakarta. Sepeser
uang pun saya tidak punya hingga membuat saya makan makanan di bak sampah.
Untung ijazah ini Buk yang saya bawa. Jadi saya pakai saja untuk melamar
pekerjaan. Awalnya bos saya tidak percaya karena sewaktu saya mendaftar
pekerjaan saya hanya memakai kemeja lusuh dan sudah tidak saya cuci selama tiga
hari. Makanya awalnya saya hanya menjadi kuli bangunan saja. Ranti mana Buk?”
Tanyanya kembali.
“Kamu jadi orang sukses di luar sana
tanpa pamit ibu hanya ingin membuat ibu kawatir? Tanpa memberi kabar. Ibu minta
maaf telah mengusirmu tempo dulu. Bukannya ibu tidak sayang kepadamu. Ibu juga
yakin, kamu mau lepas dari kehidupan ibu hanya karena ingin menjadi orang lain.
Seolah bukan keluarga kami. Lalu berlagak melamar Ranti?”
“Iya Buk. Apa Ibu masih ingin
menjadikan ku seorang anak sekaligus menjadi seorang menantu?”
Bu Marti masih tersenyum dengan mata
berkaca-kaca. Dia begitu terharu melihat tekat besar anaknya dalam berucap.
Bahkan ia masih ingin berjuang melampaui batas untuk menikahi adiknya sendiri.
“Iya Nak, Ibu merestui kalian semenjak
setahun yang lalu. Bahkan hari ini seharusnya kalian menikah.”
“Iya Buk, tidak apa-apa Buk. Saya
tidak lelah dan saya masih sanggup untuk menikahi Ranti sekarang juga.”
“Ibu tidak merugi. Ibu memang tidak
merugi.”
“Iya Buk, Ibu memang benar tidak
merugi karena memiliki menantu seperti aku.”
“Bukan, Nak.”
“Lalu apa Buk? Ibu tidak merugi karena
Ibu punya anak seperti aku?”
“Iya Nak. Ibu tidak merugi punya anak
seperti Kamu. Kamu memiliki tekad besar. Dan Sekaligus Ibu juga tidak merugi
kehilangan anak seperti Ranti.”
“Maksud Ibu?” Tanya Ridho penasaran.
Bu Marti menangis begitu derasnya.
“Sebenarnya Ibu tidak ingin mengungkit itu. Karena Ibu sudah melupakannya.”
Suasana kala itu menjadi dramatis.
Ridho tak percaya mendengar perkataan ibunya. Dia terlambat menjemput calon
istrinya. Coba kalau kala itu dia datang lebih awal. Iya, tepatnya enam bulan
lebih cepat dari ini. Mungkin dia bisa mencegah Ranti.
“Lalu jasadnya dimana Bu?” Tanya Ridho
tidak percaya.
“Jasadnya Ibu tidak tahu. Ibu tidak
percaya kalau dia sudah meninggal. Ibu tidak percaya.”
Kala itu jantung Ridho seperti hendak
copot dari tubuhnya. Hatinya hancur berkeping-keping. Air matanya tidak
terbendung lagi dari kelopak matanya. Jika bisa menangis darah mungkin dia akan
menangis darah. Wanita yang begitu ia cintai pergi begitu saja. Apalagi
jasadnya tidak ditemukan. Itu yang membuat Ridho semakin terpukul. Enam bulan
lalu, setelah enam bulan Ridho dan Ranti direstui, Ranti menjadi gadis
bersemangat lagi. Dia sengaja pamit pergi ke pasar untuk membuat masakan yang
resepnya baru ia rancang. Dan semenjak itu sampai sekarang Ranti tidak pernah
kembali. Pernah sesekali, dua kali ibunya mencoba tanya ke orang pintar untuk
mencari tahu keberadaanya Ranti. Masih sama jawabannya, bahwa Ranti sudah di
alam yang berbeda. Ibunya curiga, Ranti menjadi salah satu korban kecelakaan
bus mengingat pada saat Ranti pergi ada bus yang kecelakaan dan terbakar. Tapi
meskipun itu tidak mungkin karena bus yang ia tumpangi berbeda jurusan dengan
bus yang kecelakaan.
Penantian demi penantian terus ia
lalui. Ada harapan besar dalam benak Ridho karena bagaimana pun jasad Ranti
belum diketemukan juga. Ridho lebih sering menyendiri dan memahat patung-patung
kuda. Sungguh tragis memang jika orang yang seharusnya menjadi pengantin baru
batal nikah gara-gara pengantin wanitanya sudah meninggal dan jasadnya belum
diketemukan. Ridho seakan lalai terhadap masa depannya. Penampilannya kusam
tidak terawat karena begitu tulus berpikir tentang Ranti. Pekerjaan arsiteknya
juga dia tinggalkan. Dia jadi sering duduk di halte depan rumah menantikan
Ranti turun dari bus yang baru datang, meskipun itu kecil kemungkinan. Hingga
ketika nasib malangnya datang. Ketiga bus melaju kencang dan membentur ke
kepalanya. Isi kepalanya telah hilang dan membuat dia lupa identitasnya. Begitu
juga dengan ilmu-ilmu arsiteknya yang selama ini ia miliki. Semenjak itu pula,
Pak Ridho lebih sering jalan mondar-mandir ke pasar. Mungkin angannya masih ada
Ranti di sana yang tengah belanja resep makanan barunya.
Aku mencium tangan Bu Marti kala itu.
Bu Marti yang kala itu memakai mukenah ibuku aku ajak bersama sholat goib
mendoakan Ranti. Sudah lima belas tahun Ranti tidak ada. Dan hanya tinggal
Ridho dengan keterbatasannya yang tinggal di pelukan Bu Marti. Selama ini rumah
dan tanah Bu Marti dijual untuk makan keseharian mereka. Untung orang yang
membeli rumah Bu Marti berbuat baik kepada Bu Marti dan Ridho untuk
mempersilakannya mereka tinggal di rumah itu. Mungkin karena letaknya di desa
jadi membuat mereka enggan menempatinya.
“Hallo Indah! Jadi bimbingan tidak?”
Suara dari telepon itu menunjukkan rasa murkanya.
“Iya Prof. Saya belum ke Jogja
sepertinya besok saja ya Prof.”
“Haduh gimana sih Kamu?” Marah dosen
pembimbingku.
Aku masih tidak pikir kenapa ada orang
dengan nasib semalang ini. Sepertinya arah penelitianku akan aku putar seperti
rencana semula. Ceritanya akan aku kemas menjadi menarik sehingga
profesor-profesor di tempatku mau membantu mengembalikan Pak Ridho seperti
semula. Malangnya Ridho dan Ranti. Jika waktu bisa diputar, seharusnya tidak
terjadi seperti ini. Ridho tidak menjadi dirinya sendiri dan masih menyimpan
harapan akan kedatangan Ranti. Begitu juga dengan Ranti yang tidak diketahui
dimana keberadaannya, mungkin masih menantikan Ridho datang menjemputnya. Akal
waras Ridho yang hilang entah kemana, juga jasad Ranti yang tak tahu ada dimana
membuat semakin malangnya nasib Bu Marti. Bu Marti begitu ikhlas menjalani
semua ini. Kasihan Bu Marti. Tapi bagaimana pun Tuhan masih sayang kepada
umatnya dan tahu yang terbaik untuk umatnya. Cepat atau lambat Tuhan akan
menunjukkan kekuasaan-Nya. Menemukan lagi akal sehat Ridho juga segera tunjukan
jasad Ranti berada.
TAMAT
#CerpenCinta
#CerpenMenyedihkan #CerpenKasihSayang #CerpenKetulusan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar