Tunjukan Jasadnya Part
1
Aku masih bingung kenapa orang ini
selalu lalu-lalang di depan rumahku. Orang ini seperti kurang kerjaan. Di
tangannya terdapat sebuah patung kuda yang dipegang erat. Dan nampaknya usianya
tidak begitu tua dan mungkin hampir sama dengan pamanku. Jika dia waras aku
yakin dia seharusnya tidak melakukan hal seperti ini. Bertindak mondar-mandir
tidak jelas. Dia bisa mencari uang, entah itu menjadi tukang kayu, kuli, atau
mencari sampah. Pekerjaan semacam ini mungkin akan lebih baik daripada
melakukan pekerjaan yang tidak jelas seperti ini. Sesekali dia menatapku dan
tersenyum sempit kepadaku. Meskipun aku tahu ini bukan ulahnya melainkan ini
ulah setan, tapi aku balas saja senyumannya.
Orang ini begitu membuatku penasaran.
Apa yang membuatnya menjadi hilang akal sehat seperti ini? Terkadang dia bicara
sendiri, tertawa sendiri, bahkan terkadang menangis sendiri. Apakah beban hidup
yang terlalu berat telah membuatnya gila seperti ini. Atau mungkin keturunan
juga bisa menjadi faktor lain. Pernah kucoba selidiki mengapa sedari kecil aku
pindah dari Surabaya sampai aku sedewasa ini masih saja orang ini tak lelah
lalu-lalang dengan pakaian kumuhnya. Aku mencoba bertanya dengan ibuku. Dia
pasti lebih tahu penyebab penyakit jiwa laki-laki paruh baya ini.
“Ibu kenapa paman itu selalu lewat di
depan rumah kita?”
“Ibu juga tidak tahu. Mungkin dia
sedang olah raga.”
“Ah yang benar Bu?”
“Ibu juga tidak tahu.”
“Lalu kenapa ada sebuah patung kuda di
tangannya?”
Ibuku diam saja. Dia tidak mau
melanjutkan percakapan kami. Mungkin ibu masih bingung akan menjelaskan apa
kepadaku. Dia takut salah, nanti malah jadi fitnah yang tak baik. Tak mungkin
buatku mencari sendiri berita tentang orang yang lalu-lalang tak jelas ini. Bahkan
ini juga bukan kewajibanku mencari tahu penyebab orang ini sakit jiwa. Masih
banyak orang gila lain, kenapa harus dia? Aku tahu bahwa orang ini memang ada
gangguan di kepalanya. Tetangga di sekitar rumahku juga bilang bahwa orang ini
sudah lama sakit jiwa. Ada yang bilang korban pesugihan orang tuanya, ada yang
bilang karena putus cinta, lalu ada pula yang bilang masuk aliran sesat, korban
tabrak lari, bahkan ada yang bilang kalau dia saking pintarnya menempuh
pendidikan di perguruan tinggi. Tapi yang aku tahu orang ini tinggal di desa
tetangga sana.
Saat ini aku sudah dewasa. Kalau pun
cerita tentang penyebab sakit jiwa orang ini merupakan cerita dewasa mungkin
bagiku tak masalah karena aku juga sudah besar. Apalagi aku saat ini sedang
mengambil konsentrasi ilmu psikologi. Sebenarnya aku sangat tertarik mengambil
tema skripsiku tentang penyebab sakit jiwa orang ini. Tapi menurutku itu sangat
sulit karena orang-orang di tetanggaku begitu tertutup bercerita tentang penyebab
penyakit jiwa orang ini.
Akhirnya kuniatkan keinginanku untuk
selidiki penyebab penyakit jiwa orang ini. Aku tidak tahu apa yang membuatku
memilih orang ini sedangkan masih banyak orang gila-orang gila yang lain. Apalagi
judul skripsiku sudah di-ACC oleh dosen pembimbingku. Keinginanku begitu yakin
kalau tema skripsiku pasti akan menarik. Dan apa pun akan aku lakukan demi
mengetahui penyebab penyakit jiwa orang ini. Apalagi kalau aku dapat
membantunya pasti ini akan menjadi suatu hal yang besar dalam hidupku.
Aku menanti peristiwa yang tepat untuk
selidiki orang ini. Meskipun ibu tidak mau diajak kompromi juga berita tetangga
yang simpang-siur dan diragukan kebenarannya, aku masih bisa mencari tahu
sendiri teka-teki ini. Tiba waktu yang tepat. Kuikuti langkah pulang orang gila
ini. Dengan berjalan lumayan jauh di belakangnya, aku yakin ini tidak akan
ketahuan olehnya mengingat penyakitnya jiwanya yang kronis dan berlangsung
sudah lama. Lagipula dia juga sedang sibuk bicara dan bercanda dengan angin.
Rumahnya begitu besar dan megah.
Pantas jika dia tidak bekerja kalau rumahnya sudah sebesar ini. Ingin kulangkahkan
kakiku mendekat ke rumah ini. Sedikit ragu karena takutku hanya dia penghuni
setia rumah ini. Nanti kalau ada apa-apa aku takut keselamatanku terancam. Tak
lama berselang waktu, wanita tua keluar dari bilik pintu rumah besar itu. Orang
tua itu mengeluskan tangannya ke pundah anaknya yang sedikit kena gangguan
mental ini. Terlihat begitu sayang orang tua ini kepada anaknya dan tidak memandang
bagaimana kondisi anaknya saat itu. Mereka segera bergegas menuju rumah dan
menutup pintu dengan rapat.
Aku pun mencoba ketukkan jariku ke
pintu rumah ini seraya membaca basmallah. Pintu terbuka oleh wanita tua itu dan
mempersilakan aku masuk seperti tamu spesialnya. Ibu tua ini begitu ramahnya
denganku. Dia sedikit bingung dengan kedatanganku dan mungkin aku memang
sedikit asing baginnya. Tapi tanpa canggung dia tidak menampakan perasaan
was-was terhadap tamu asing. Bahkan menyuguhkan aku segelas teh dan menawari
aku makanan.
“Maaf Buk. Saya Indah.”
“Oh Nak Indah. Kamu dari mana?”
“Saya dari desa sebelah. Begini Buk.
Kedatangan saya di sini bermaksud untuk....” Belum aku selesai bicara, ibu tua
itu pergi ke dapur. Aku pun terpaksa menghentikan bicaraku.
“Ini ya Nak. Maaf seadanya. Ibu hanya
punya kue ini. Ayo cicipi.”
“Emm. Iya makasih Buk. Begini Buk,
maksud kedatangan saya di sini adalah untuk....”
“Sudah dulu ngobrolnya. Yang penting
De Indah cicipi dulu makanan saya. Nanti begitu Adek cicipi baru kita lanjut
ngobrol lagi.”
Sungguh luar biasa wanita tua ini
hingga bersemangat sekali memberikan aku makanan. Bahkan dia baru mengenalku
dan tidak tahu maksud kedatangan aku di sini sudah saja dia memberikan
makanannya kepadaku. Aku begitu tidak enak hingga membuatku batal untuk
mengatakan maksud kedatanganku saat ini. Aku pulang dengan tangan kosong tanpa
informasi. Hanya perutku saja yang kenyang. Ada sedikit was-was sebenarnya. Aku
teringat ucapan tetanggaku akan gosip bahwa keluarga ini punya pesugihan. Bisa
saja tadi aku diberi makanan sebanyak itu karena wanita tua itu punya maksud
lain. Tapi menurutku tidak mungkin dia berbuat sejahat itu. Seseorang berbuat
baik kepadaku, tapi aku justru membuat fitnah kepadanya.
Dua hari telah berlalu. Aku telah
menyiapkan beberapa perkataan wawancaraku agar tidak membuat wanita tua baik
itu sakit hati karena pertanyaanku. Akhirnya kukunjungi untuk kedua kalinya
rumah besar di desa sebelah itu.
“Senang sekali Nak Indah datang ke
sini lagi. Sebentar ya Nak.” Kata wanita tua itu sembari bergegas hendak
meninggalkanku yang tengah duduk terdiam.
“Emm nggak usah repot-repot Buk. Saya
sudah bawa makanan dan minuman.”
“Lho kok? Yang mertamu siapa, yang
ngasih makanan dan minuman siapa.”
“Iya Buk saya sengaja. Nanti merepotkan.
Lagi pula saya yang sengaja datang ke sini. Dan saya kemaren sudah belajar
membuat kue seperti yang dikasihkan Ibu.”
“Oh jadi ini bikin sendiri. Wah patut
dicoba ini. Kamu masih muda tapi pintar membuat kue.”
“Emm iya Buk, alhamdulillah. Begini
Buk maksud kedatangan saya ke sini adalah untuk menyelesaikan skripsi saya.”
“Hemm, saya tahu apa itu skripsi.
Sepertinya Ridho dulu pernah bilang skripsi.”
“Ridho siapa Buk?”
“Emm nggak apa-apa. Terus saya harus
berbuat apa Nak?”
“Ibu di sini tinggal dengan siapa?”
“Dengan anak saya.”
“Lalu Ridho siapa Buk?”
“Ayo tadi jelaskan saja. Malah tanya
ke saya hal yang lain.”
“Oh iya Buk. Maksud saya datang kemari
adalah untuk meminta bantuan Ibu menceritakan kepada saya tentang penyebab anak
ibu itu sakit. Boleh Ibu bercerita! Jadi begini Buk saya bisa datang ke sini
karena saya mengikuti anak Ibu. Selama ini saya mengikuti beliau hingga sampai
ke rumah ini. Kebetulan saya mengambil jurusan psikologi dan saya ingin membuat
penelitian berkenaan anak Ibuk. Nanti kalau saya berhasil saya berjanji akan
menyembuhkan anak Ibuk.”
“Anak Ibuk siapa? Saya nggak punya
anak. Itu bukan anak saya.”
“Lalu laki-laki yang biasa pulang ke
rumah ini itu siapa?
“Begini saja. Saya sebenarnya tidak
ingin membahas penyebab orang yang sudah saya anggap anak itu sakit. Saya ingin
menyimpan lama memori pahit itu. Tapi Adek ini malah menyuruh saya membahasnya
lagi. Maaf Dek saya tidak bisa membantu. Begini saja saya doakan skripi kamu
cepat selesai, begitu saja.
Perasaan sedikit kecewa membuatku
sedikit terpuruk. Menyerah bukan pilihan. Setidaknya ada pilihan lain, selagi
aku masih punya Allah tidak mungkin aku menyerah begitu saja. Masih ada
narasumber lain yang jauh bisa dipercaya. Laki-laki sedikit gangguan jiwa itu
mungkin bisa aku tanya tentang penyebab dia sakit jiwa. Sementara aku
memanggilnya Ridho meskipun itu belum tentu benar karena tidak ada yang tahu
nama sesungguhnya.
“Pak Ridho! Pak Ridho!” Esok hari aku
mengejar laki-laki sakit jiwa ini. Namun terus saja dia mengacuhkan panggilanku.
Mungkin benar bukan dia yang bernama Ridho. Mungkin ada sosok lain yang bernama
Ridho. Akhirnya kutarik tangannya agar dia mau berhenti.
“Mana Rantiku? Mana Rantiku?”
Teriakannya dengan mata berkaca-kaca.
“Apakah benar Bapak yang bernama
Ridho?” Aku bertanya dengannya meskipun hanya anggukan kepala yang ia berikan.
Sulit aku percaya bahwa namanya Ridho karena dia tidak tahu akalnya sendiri.
“Maaf Pak. Siapa itu Ranti? Apakah
Bapak bisa menjelaskan kepada saya?”
“Tidak tahu.” Balasannya sembari
pergi.
“Siapa itu Ranti Pak?” Kembali
pertanyaanku sembari mengejar.
“Percuma! Tidak tahu! Percuma! Tidak
tahu.” Begitu ucapannya berulang-ulang. Memang percuma aku bertanya dengannya.
Bagaimana bisa orang gila aku jadikan narasumber untuk skripsiku. Bagaimana pun
aku masih waras. Menurutku ada ide lain yang sebenarnya bisa aku jadikan untuk
tema skripsiku.
Tujuh hari telah berjalan. Masih sama,
rutin coba kutegur orang yang mondar-mandir ini untuk bertanya siapa itu Ranti.
Sengaja aku bertanya setiap pagi saja meskipun dia lewat di depan rumahku dua
kali dalam sehari. Tapi jika kutanya sehari dua kali aku takut itu membuatnya
trauma. Mungkin jika aku hanya bertanya setiap pagi saja, keesokannya dia akan
lupa terhadap pertanyaanku yang memaksa. Ternyata percuma usahaku selama tujuh
hari. Jawabannya masih sama. “Percuma! Tidak tahu! Percuma! Tidak tahu.”
Aku semakin terpuruk. Masa
penelitianku sudah akan habis. Satu data pun belum aku temui. Pernah kumencoba
bercerita kepada ibuku. Aku juga mencoba merayu ibuku agar sedikit dia mau
membuka mulut tentang laki-laki gila itu. Meskipun sebenarnya itu bukan
responden yang tepat. Ibuku hanya tetangga jauh, bahkan ibuku tahu namanya saja
tidak tahu.
“Sudah Nak, ganti tema saja. Ibu takut
Kamu lulusnya molor.” Nasihat ibuku.
Sedikit aku mulai mencerna apa
perkataan ibuku. Aku ingin sekali sebenarnya meniliti tentang orang gila itu.
Tapi menurutku itu sangat sulit dan aku takut imbasnya malah mengena terhadap
tugas skripsiku dan alhasil periode kelulusanku ditunda. Aku mencoba kembali
berpikir. Kali ini aku sudah menghentikan penelitianku terhadap orang gila itu.
Aku tidak lagi bertanya dengannya. Iya, selama tiga hari ini aku mencoba
mencari tema skripsi yang lain. Hasilnya sudah ada tapi menurutku tema yang
baru kali ini tidak sesuai dengan kata hatiku. Tapi tidak apalah mengingat
ibuku sudah tua. Skirpsiku tak bagus tidak apa, yang penting cepat selesai.
“Iya Prof, nanti saya akan ke Jogja.
Segera, proposal yang baru akan saya selesaikan!” Suara teleponku terhadap
dosen pembimbingku. Hari ini proposal baruku sudah akan selesai. Mungkin siang
hari aku akan segera pergi ke kampusku di Jogja. Untuk hari ini aku harus kerja
keras selesaikan proposalku. Secangkir kopi hitam berteman toples-toples kue
ringan menghiasi meja belajarku. Kertas berserakan di mana-mana. Bola mataku
akan segera lepas dari piringannya yang berwarna hitam. Mungkin gara-gara tiga
hari ini aku hanya tidur tiga jam. Dan
Si Lupus, panggilan akrabku untuk komputerku sudah bekerja lelah selama tiga hari
ini. Satu yang membuatku bahagia untung buku-bukuku sudah sedia di rumah. Tiga
hari ini semua nomor handphone di kontakku sudah aku blacklist dari panggilan
telepon, kecuali dosen pembimbingku.
Semoga perjuanganku tidak sia-sia.
Skripsiku bisa berakhir happy ending.
Orang yang namanya mungkin Pak Ridho telah berlalu dan kini waktunya membuka
lembaran baru. Aku percaya tidak ada perbuatan baik yang berkahir percuma.
Meskipun menurut kita Tuhan terkadang membalasnya sedikit terlambat. Tapi aku yakin, Tuhan akan
membalasnya, cepat atau lambat. Biarkan Pak Ridho itu tetap bertahan kepada
kebingungannya. Juga Ibu tua itu, biarkan dia pada pendiriannya yang sedikit
tertutup. Juga ibu dan tetanggaku yang sangat tidak peduli untuk sedikit
membantuku selesaikan tugas akhirku. Aku harus cepat, profesorku sudah
menunggu.
#CerpenCinta
#CerpenMenyedihkan #CerpenKasihSayang #CerpenKetulusan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar