Dalam hidup ini beragam. Ada mereka
yang mudah marah dan mudah pula memaafkan. Ada pula yang nggak mudah marah tapi
mudah memaafkan. Yang mudah marah dan nggak mudah memaafkan ini yang perlu
diberi keprihatian. Dan yang terakhir adalah yang nggak mudah marah juga nggak
mudah pula memaafkan.
Hari ini gue sedang memiliki problema
besar. Kepindahan gue ke kos baru gue nggak semulus yang gue bayangkan. Awalnya
gue cukup senang karena kepindahan gue benar-benar disambut oleh seorang anak
yang menurut gue orangnya lumayan friendly.
Di antara penghuni kos yang lainnya
dia itu cukup berbeda. Dia nggak seneng nongkrong bareng anak-anak kos yang
lainnya. Kerjaannya sering banget menyendiri di kamarnya. Dan ini yang sering
buat gue penasaran.
Akhirnya gue mencoba mendekati dia dan
berharap agar dia kau menjadi teman baru gue. Wow orangnya ternyata bener-bener
asyik. Konyol, bercanda kaya orang gila, dan gokil banget pokoknya. Kita sering
habiskan waktu di kos bersama. Berbagi makanan, sholat dan ngaji bareng, masak
berdua, sampai kemana-mana bersama. Gue bener-bener disambut di kos ini dan gue
menjadi semakin betah beradaptasi di lingkungan baru.
Tapi yang namanya orang sering bersama
lama kelamaan sifat buruknya jadi keluar. Gue akuin gue orangnya emang nggak
gampang gitu aja nunjukin kalau gue marah. Sebenarnya gue sering dibuat marah
karena dia yang menurut gue terkadang bercandanya keterlaluan. Tapi gue
berusaha nggak nunjukin perasaan gue akan pertemanan gue tetap terjaga. Gue
bersikap biasa karena gue yakin perasaan marah gue bisa terkikis oleh
berjalannya waktu. Mulai dari gitu aja dia ngebajak handphone gue sampai
facebook gue dibajak seolah-olah nggak cari pacar nggak laku-laku, tugas gue
diumpetin, dan komentar-komentar gue yang sering dibikin salah. Pokoknya
segalanya yang pada akhirnya bisa bikin gue merasa menjadi orang yang terbodoh
dan terjelek segalanya.
Tetapi sikap gue yang seolah nggak
gampang marah justru membuat dia semakin menjadi. Dia terusan aja ngebully gue.
Memang gue orangnya nggak lihai membebaskan diri dari apa yang disebut bully. Padahal gue akuin gue orangnya
paling benci sama orang yang sering ngebully. Menurut gue orang ngebully itu
seperti fu** to the s***t. Kalau gue ceritain juga nih gue jadi punya blog gini
sejak gue sering jadi korban bully makanya gue jadi sering curhat lewat
tulisan.
Gue cuman heran aja kenapa pertemanan
sekarang sering banget adanya peristiwa bully membully. Seakan perteman hanya
tinggal saving image aja. Nggak ada
yang namanya enjoying moment. Kalau
nggak acara pamer, saling hina, ya bully-membully. Ini yang menurut gue mengapa
pertemanan di dunia ini nggak berlangsung lama. Cari temen itu gampang tapi
cari sahabat yang susah.
Okay balik lagi ya. Sampai mana tadi
kok ngomongnya lontar-lantur. Okay ya sifatnya yang sering ngebully gue
lama-lama bikin gue sebel. Padahal sekali pun gue nggak pernah menghina,
menghujat, ngebully, atau pun kata-kata lain yang bisa bikin hatinya terluka.
Iya, ini gue akuin karena gue nggak suka mendapat perlakuan semacam itu. Jadi
nggak ada alasan lain buat gue berbuat semacam itu. Tetapi gue yang selalu
berusaha nggak marah justru dia anggap remeh.
Kali ini dia nganggap rendah impian
gue. Kalau dia ejek gue menurut gue nggak masalah. Tetapi kalau dia rendahin
impian, cita-cita, dan keinginan gue, ini yang nggak bisa gue tolerir. Di sana
terdapat harapan dan nurani untuk bertindak. Gue nggak bisa tinggal diam. Sekali-dua
kali dia memperburuk citra impian gue nggak masalah. Tetapi yang ketiga kalinya
ini yang harus gue buat perkara. Gue mengeluarkan kata-kata yang menurut gue
nggak terlalu pedas buat hinaan dia selama ini. "Sombong lho! Sok yes! Sok
OK!" Nah begitulah kata-kata gue ke dia kala itu dengan maksud bercanda.
Tetapi ternyata dugaan gue salah. Dia
benar-benar marah ke gua dan nggak pernah lagi tegur sapa ke gue. Sampai detik
ini setelah dua minggu belum ada kata maaf dari mulut gue dan dia. Tapi
meskipun demikian gue tetap ngajakin dia bercanda atau sekadar menyapa.
Meskipun nggak ada satu pun reaksi yang dikeluarkan untuk membalas
keramah-tamahan gue. Jujur gue emang males buat minta maaf secara langsung ke
dia meskipun sebenarnya hati gue udah maafin dia. Tapi mau gimana lagi.
Ternyata dia begitu serius menggap ucapan gue kala itu.
Gue hanya nggak ingin dibully aja
makanya gue juga males buat meminta maaf ke dia. Pertemanan saat ini seperti
ajang bully bukan lagi ajang bagi rasa. Dan itu yang buat gue benci. Gue hanya
ingin rasa netral kami berdua aja dan nggak ada rasa kebencian dia ke gue. Tapi
menurut gue sifat gue ke dia dengan bersikap seperti netral dan nggak terjadi
apa-apa nggak ditanggapi secara baik oleh dia. Dan menurut gue biarkan waktu yang
menjawab meluluhlantakkan kebenciannya.
Yang terpenting petistiwa ini sudah mengajarkanku
mengenai orang yang menderita karena mudah tersinggung dan nggak mudah
memaafkan. Coba saja lihat di kos dia nggak punya temen. Dan bisa gue tebak ini
karena anak-anak satu kos punya salah ke dia dan dia nggak semudah itu
memaafkan. Gue tahu karena dia pernah cerita seperti itu ke gue.
Kesimpulannya jadilah pemaaf agar
senantiasa kamu dicintai. Pendendam itu bukan jalan dikasihi meskipun perkataan
maaf tidak bisa mengembalikan sakit yang terlanjur menjadi luka menjadi bersih
seakan tak terjadi apa-apa. Pesan gue yang lain adalah betapa besar arti
perkataan maaf untuk menjalin komunikasi dengan sesama. Selama ini gue emang
diem dan nggak bilang maaf ke dia. But,
it means zonk. Seseorang akan merasa berharga, ketika kata maaf telah
terucap langsung dari bibir mereka yang berbuat kesalahan. Lain dengan mereka
yang hanya diam meskipun sesungguhnya rasa maaf telah ada di dalam hati. Kata
maaf memang berat untuk terucap dan salut dari gue untuk mereka yang bisa
bilang maaf. Hanyalah mereka orang yang tegar dan kuat. Tapi inginkan kalian
menjadi orang yang tegar dan kuat?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar