Mawar Yang Layu
Bumi masih geli menertawakanku yang menangis layaknya
bayi yang ditinggal pergi ibunya mencuci baju. Semua yang ada di ruangan ini pun
saling berbisik membicarakan aku, gadis 30 tahun yang menangis seperti orang
lupa usia. Namun aku tak peduli karena peristiwa sepuluh tahun yang lalu masih
ada di kepalaku. Ketika Rani, gadis tanpa kaki mati bunuh diri di depan mataku.
Dia rela menusukkan sebuah pisau dapur ke dalam perutnya tanpa menghiraukan aku
yang berdiri di sampingnya. Bodohnya aku, sahabat sejak kecilnya tak kuasa
menahan pisau berdarah menancap di perutnya. Padahal seandainya aku memang
orang yang cerdas dan tanggap mungkin kejadian itu tak mungkin terjadi. Tapi
semuanya memang salahku. Sahabat macam apa aku?
Aku pernah mencelakakan sahabatku, Rina sehingga
membuat kaki kanannya harus diamputasi. Aku izinkan dia naik mobil yang sudah
aku ketahui bahwa remnya tidak berfungsi. Hanya karena aku iri dengannya
gara-gara bakatnya bermaen basket yang bagus dan ibuku yang lebih sayang
dengannya dibanding aku. Dia kecelakaan hebat, mobilnya menabrak warung samping
jembatan. Jadi tidak heran jika Rina memilih mati dibanding hidup tanpa kaki.
Apalagi jika cita-citanya untuk menjadi atlet basket kelas internasional harus putus
di tengah jalan.
Aku tahu keinginannya untuk menjadi atlet basket kelas
internasional itu sangat besar. Bahkan dia rela menjual salah satu ginjalnya
jika dapat menjadikannya seorang atlet basket kelas internasional, tapi tidak
untuk kaki.
Niatku saat itu tidak 100% ingin membuatnya celaka
apalagi membuat kakinya hilang. Aku hanya ingin dia kebingungan karena tidak
tahu bagaimana cara mengoperasikan rem mobil. Apalagi persahabatan kami sejak
TK hingga umur 20 tahun ini telah mengajariku bahwa dia takut kecepatan dan tak
mungkin berani mengendalikan mobil dengan cepat. Bahkan yang aku tahu jika dia
diharuskan adu balap dengan kuda betina mungkin masih menang kuda betina. Yang
aku ingin dia bingung cara mengendalikan rem sehingga membuatnya harus menyetir
mobil seharian sampai bensinnya habis.
Namun nasi telah menjadi bubur dan kini aku hanya bisa
gigit jari. Hidupku terusik akan kesalahan itu dan tidak mungkin aku mampu
menghidupkannya kembali. Tangisku semakin deras ketika mengenang akan
kebaikannya. Ketika dia rela masuk penjara 2 hari gara-gara mengaku menganiaya
anak tetangga sebelah, padahal sudah jelas akulah pelakunya. Dia rela melakukan
itu karena berkorban demi aku yang pada saat itu aku akan menghadapi ujian
masuk Sekolah Tinggi. Kakinya pernah kena paku gara-gara sepatunya aku
pakai ketika aku lupa membawa sepatu waktu latihan basket.
Dia memang sahabat yang luar biasa. Orangtuanya telah
tiada sejak balita. Dan ibukulah wanita yang merawatnya. Aku dan dirinya
seperti saudara. Tidak jarang orang-orang menyebut kami seperti kembar.
Mengingat wajah kita yang hampir mirip. Tapi yang kusesali dia rela memilih
ikut dengan orangtuanya menghadap sang ilahi dibanding bermain basket denganku.
Mungkin dia bosen bermain basket denganku karena kemampuanku yang biasa-biasa
saja atau dia lebih memilih bermaen basket tingkat akherat dibandingkan hanya
tingkat internasional seperti dalam cita-citanya.
Suara-suara aneh itu tiba-tiba muncul. Suara Rina
merengek dan meronta meminta pertanggungjawabku. Dia ingin kakinya kembali dan
akan memotong kaki kananku. Ada suatu keadaan yang memaksaku untuk tetap
bertahan hidup dan tidak bunuh diri seperti Rina, yaitu agar aku tidak jadi
hantu seperti Rina. Namun jika harus mengingat kebaikan-kebaikan yang Rina
berikan kepadaku aku ingin menyusulnya ke surga. Aku memang gadis manja.
Apa-apa Rina. Dia selalu ada di saat aku butuh dirinya.
Imaginasiku pun semakin larut, tiba-tiba terdengar
suara laju mobil. Disusul suara teriakan penonton, meyuruhku memasukkan bal ke
dalam ring. Suara ambulance pun tak kalah meramaikan di telingaku. Tiba-tiba
seorang pria berpakaian putih seperti dokter muda datang dengan membawa gunting
besar. Perasaan takutku memuncak seperti anak laki-laki mau disunat. Namun
ibuku datang dan mengusir dokter itu. Ibuku tidak terlihat asing dengan
kerudung kusamnya yang setahu aku kerudung itu merupakan pemberian mantan
suaminya 5 tahun yang lalu.
“Ayo! Tetap berjuang nak. Teruskan cita-cita ayahmu
menjadi atlet basket internasional! Jadikan penghalang yang ada sebagai alat
latihan menghadapi hidup. Jangan pernah menyerah. Jangan pula terlena dalam
kesuksesan sesaat. Ingat masih ada langit di atas langit. Juga kau harus
waspada terhadap orang di sampingmu. Terkadang istilah pagar makan tanaman
tetap berlaku. Mereka memuji dan menyanjung yang terkadang kau malah tersesat
dalam omongannya nak. Mentalmu kuat seperti bapakmu. Meskipun bapak sudah tiada
tapi semangat, mental, dan impiannya menjadi atlet basket kelas internasional
masih hidup kekal dalam hidupmu. Asal berusaha dan berdoa pasti bisa.” Kata ibu
dengan mata berkaca-kaca. Singkat bicaranya, ibu hilang menembus dinding
seperti arwah dalam sinetron.
Suara itu tiba-tiba hilang semua. Aku berada di dalam
ruangan yang berdinding batang jeruji. Aku memang sudah tinggal di ruangan ini
sekitar 10 tahun yang lalu. Seperi disekap meskipun setiap sore dan pagi aku
diajak keluar jalan-jalan untuk menghirup udara segar pagi dan sore oleh
seorang suster. Hingga aku mengintip di balik dinding jeruji besi. Seorang
suster sedang asyik ngobrol dengan seorang wanita yang aku pikir dia adalah
Rina, sahabatku. Tapi mana mungkin. Rina itu sudah mati. Lagipula mungkin ini
halusinasiku belaka, karena banyak orang yang bilang aku ini gila. Padahal
menurutku mereka sendiri yang gila.
“Maaf Bu Rina, mengapa Anda membawa setangkai mawar.
Saya pikir mawar itu sudah layu. Apakah nggak mending diganti saja. Di depan
rumah sakit ini banyak bunga mawar merah. Masih segar-segar dan indah lagi.”
Rayu suster itu.
”Tidak, terimakasih. Saya sudah tidak berkunjung
selama 10 tahun di kota ini. Saya juga sebelumnya belum pernah ke rumah sakit
ini. Saya takut tersesat.” Tolak Rina.
“Biar nanti saya petikkan.” Bujuk suster kembali.
“Tidak ini gambaran seperti Mawar. Dia adalah gadis
terluka. Impiannya harus putus di tengah jalan. Semua itu gara-gara saya.
Ketika dia menginginkan menjadi seorang atlet basket internasional, saya justru
menghilangkan kaki kanannya yang jelas-jelas kaki kanan bagi seorang
atlet basket adalah syarat. Orangtuanya selalu mendorong dia menjadi atlet
basket kelas internasional. Dia pun akan berjuang demi menggapai cita-citanya.
Tidak hanya untuknya, namun juga orangtuanya. Kecelakaan mobil itu karena
kejailan saya. Ketika dia hendak pergi latihan basket menumpangi mobilnya saya
tidak bilang ke dia bahwa remnya blong. Saya pikir itu tidak berbahaya
untuknya. Lagipula setahu saya dia itu tidak berani naik dengan laju kecepatan
tinggi. Mobilnya menghantam warung pinggir jalan. Kaki kanannya harus
diamputasi karena sudah patah tulang-tulang kaki kanannya dan hanya akan
membuatnya sakit seumur hidup. Dia koma 3 bulan. Seluruh keluarga berfikir dia
akan mati. Tapi ternyata Tuhan berkehendak lain. Dia masih diberi kesempatan
meskipun harus gila seperti sekarang ini. Sungguh cidera yang begitu hebat bagi
seorang atlet basket hingga mustahil baginya untuk bermain.” Kata Rina.
“Mengapa Anda sejahat itu? Orang yang baru saya kenal
pun jika saya mengetahuinya akan ada bahaya menghadangnya entah sekecil apa pun
pasti akan saya ingatkan, apalagi orang yang sudah saya kenal. Memang apa
hubungan Anda dengan Bu Mawar?” Tanya suster penasaran.
“Jahatnya saya. Saya adalah sahabat sekaligus saudara
untuknya. Ketika kecil kedua orangtua saya pergi untuk selama-lamanya. Kemudian
saya dirawat ibunya Mawar bersama Mawar. Hobi saya dengannya yang sama dalam
bermain basket membuat kita semakin akrab. Dia sangat baik dengan saya. Sering
kali dia berkorban untuk saya. Dia mau mengalah demi saya. Begitu pula ibunya
yang tidak membedakan perlakuannya terhadap saya dan anak kandungnya. Tapi saya
malah menghancurkannya. Karena sikap anak kecil saya, saya justru merasa iri
dengan Mawar hanya karena dia punya ibu kandung dan keahliannya bermain basket
yang lebih bagus dibanding saya. Tapi sungguh saya tidak bermaksud membuat dia
celaka besar. Saya hanya ingin menjaili dia. Orangtua Mawar menginginkan Mawar
menjadi atlet basket kelas internasional namun Mawar tidak sanggup memenuhinya.
Setelah Mawar melihat kondisi kakinya yang tidak lengkap, Mawar kalap hingga
dia menderita penyakit ini. Dia sangat sedih dan terus berfikir siang dan
malam. Dia lupa istighfar. Memang yang saya tahu ada saudaranya yang juga
menderita gangguan jiwa. Jadi saya pikir penyakit yang diderita Mawar bukan
hanya karena tekanan mental yang begitu berat namun juga ada faktor keturunan.
Dan sejak saat itu saya merasa menjadi orang terjahat di dunia. Lalu saya
putuskan pergi dari kehidupan keluarga ini. Saya pergi ke Amerika untuk bekerja
sebagai pelayan rumah makan. Saya rela kerja apapun untuk melupakan masa lalu
saya. Baru saat ini saya kembali.” Jawab Rina.
“Tapi Anda sudah menjadi pembunuh. Selain membunuh
impian Mawar dan keluarganya, Anda juga telah membunuh Ibu Siska, ibunya Mawar.
Anda tahu sejak saat itu Ibu Siska menjadi sering sakit-sakitan. Ia tidak
sanggup melihat anaknya mempunyai gangguan mental hingga ajal menjemputnya.”
Tegas suster.
“Itu saya sudah tahu tapi saya tidak sanggup kembali
ke keluarga ini. Saya malu menghadiri pemakamannya. Tahukah Anda kejahatan saya
telah dibalas sang Maha Kuasa. Saya sudah tidak punya penglihatan akibat
kecelakaan mobil yang pernah saya alami juga. Jadi lengkaplah persahabatan
kami, eh salah penghianatan saya. Dua orang cacat yang semua ini adalah akibat
kesalahan saya. Mawar hanya diambil satu kakinya, berbeda dengan saya yang
harus kehilangan dua penglihatan sekaligus. Tapi beruntungnya saya, saya masih
punya suami dan satu anak laki-laki. Tidak seperti Mawar yang harus lupa
ingatan seperti sekarang ini. Mungkin ini menjadi kisahnya yang harus lupa akan
semua tentangnya dibanding harus didera kesedihan yang terlalu dan
berkepanjangan. Itulah Mawar, Mawar yang layu karena harus melupakan impiannya
untuk selama-lamanya dan meneruskan jalan hidupnya sebagai orang linglung. Lalu
bagaimana kondisi Mawar sekarang? Bolehkah saya mengunjungi walaupun saya ragu
apakah dia mampu memaafkan saya atau tidak? Saya memang tidak tahu diri.
Walaupun sebagai sahabat, mana mungkin dia mampu memaafkan kesalahan saya yang
begitu besar.”
“Pantas saja dia terkadang berakting seakan-akan
menjadi atlet basket yang dinobatkan sebagai juara pertama. Oiya kondisinya ada
perkembangan belakangan ini. Dia sering menyebut-nyebut nama Anda dan ibunya.
Dia juga sering mengaku sebagai orang waras satu-satunya. Tapi maaf Anda tidak
bisa mengunjungi. Ditakutkan melihat Anda hanya akan menambah beban mentalnya.”
Sungguh terdengar jelas obrolan mereka namun punya
makna yang membingungkan. Oooh. Aku tidak tahu siapa yang bersalah di sini.
Mengapa orang-orang ini mengatakan seakan-akan aku orang gila. Lalu mengapa
justru Rinalah pelaku antagonisnya. Bukankah aku yang membuatnya celaka. Tapi
mengapa kaki Rina masih lengkap. Justru kakiku yang tinggal kaki kiri.
Entahlah, mungkin ini adalah jalan hidupku. Menjadi orang yang tinggal di dunia
ini sebagai seseorang yang menggelar orang waras satu-satunya. Meski ada rasa
canggung karena hidup dengan banyak orang yang mayoritas orang gila. Tapi tak
apa, Tuhan saja tidak merasa canggung menjadi sutradara yang mengatur segala
kehidupan di dunia ini. Tuhan pula yang mengetahui sebelum dan setelah yang
terjadi. Intinya sudah kumaafkan orang yang berbuat salah terhadapku. Karena
aku hanya ingin bersikap arif saja menjalani kehidupan sebagai orang yang
menggelar predikat orang waras satu-satunya.
Selesai
Sekiaan postingan ini. Tunggu postingan
berikutnya ya. Semoga bermanfaat dan maaf jika ada salah kata. Mampir juga
bagi kalian yang ingin mendapatkan uang dari internet dengan klik di sini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar