KAWAN DUNIA LAIN
Sebenarnya aku benar-benar tak tega
melihat sahabatku ini menangis dengan kerasnya seperti melihat keluarganya
dibakar hidup-hidup oleh warga. Ranti terus saja memohon ampun untuk
teman-temannya. Meskipun kami yang ada pada saat itu yang bersamanya
benar-benar tak melihat apa pun kecuali Ranti, orang di sekeliling kami, dan
pepohonan itu.
Ranti mengalami gejolak hebat untuk
itu akhir-akhir ini ia lebih sering bermain ke ladang dekat pohon besar yang
ada di belakang rumah kami. Di sana, dia mendapat kawan baru dan orang yang
setia mendengar semua ceritanya. Menurutnya, kawannya memang sosok sahabat
terbaik yang juga siap saja untuk melaksanakan semua perintahnya. Dia sudah tak
tahu lagi akan menghabiskan waktu liburnya dengan siapa kecuali dengan sahabat
barunya itu. Sejak neneknya yang agak sering emosi berlebih terhadapnya, juga
Fedi yang sudah tak peduli lagi terhadapnya dan lebih peduli denganku, ia
seakan putus asa dan lebih sering termenung karena keadaan yang menimpanya.
Seakan di dunia ini sudah tak ada lagi yang peduli lagi terhadapnya kecuali
mereka sahabat barunya itu.
Dia gadis dari kota yang pulang ke kampung
hendak menengok sang nenek juga dua sahabat kecilnya, aku dan Fedi. Kami
bersahabat sejak usia kami masih terlalu dini. Dia yang merupakan kakak
sepupuku harus meninggalkan persahabatan dan tanah kelahirannya karena harus
ikut orang tuanya yang dipindahkan tugas ke kota. Berat baginya kala itu
meninggalkan kami. Terlebih harus meninggalkan Fedi yang kala usia sekecil itu
sudah ada rasa simpati terhadapnya. Namun bagaimana pun ia harus meningglakan
kami, dua sahabatnya yang begitu ia cintai untuk tugas menuruti kemauan dari
orang tuanya.
Dia pulang ke desa untuk meneruskan
kisah cinta monyetnya sewaktu SD antara dia, aku, dan Fedi. Iya harus ada aku
karena Fedi lebih tertarik terhadapku. Terlebih Fedi lebih sering bertatap muka
terhadapku ketimbang dengan Ranti yang sudah besar dengan hiruk-pikuk udara
kota. Namun tetaplah persahabatan ini masih harus ada karena bagi kami apa pun
itu tak akan merusak kisah indah tiga anak manusia ini. Biarkan ego Ranti harus
ia pendam sedalam mungkin agar tak lagi ada yang merasa tersakiti kecuali
dirinya.
Teman-teman dan keluarganya di kota
seakan tak peduli lagi dengan gadis ini. Inilah pula yang membuatnya pergi saja
ke tanah kelahirannya sewaktu kecil selain akan menengok aku, Fedi, dan nenek. Orang
tuanya terlalu sibuk dengan urusan bisnis mereka sehingga sulit baginya mencari
waktu untuk berbagi kasih sayang bersama anaknya. Hanya bisnis, uang, dan pamor
yang menjadi buah bibir mereka dan sama sekali bukan pendidikan anaknya atau
pertumbuhan anaknya. Ranti merasa tersia-siakan karena harus terus berteman
dengan pembatunya di rumah. Itu membuat Ranti, sahabatku yang tak bersalah ini
harus bersikap kasar dan menganggap uang adalah segalanya. Ia rela membayar
teman untuk menemani menghabiskan waktu kesehariannya. Seakan dunia hanya ada
uang, sahabat setia bayaran, dan barang mewah. Bahkan untuk berbagi kecerian
dengan orang sekitar saja ia tak minat. Ranti menjadi sedikit otoriter dengan
orang-orang di sekelilingnya dan ini bukanlah watak Ranti saat dirinya kecil.
Sahabat mana yang masih setia dengan
seseorang sedangkan statusnya hanyalah seorang teman bayaran. Perlakuan
semena-mena Ranti yang menganggap dirinya sebagai penguasa dan merasa menjadi
bos membuat teman-temannya seakan pergi dengan sendirinya. Ranti yang kala itu
sering memberikan perlakuan dan ucapan tak mengenakkan hati kepada temannya
membuatnya kehilangan kepedulian. Sekilas hidupnya terlihat sempurna. Dengan
status putri tunggal orang kaya dan calon pewaris tunggal tentunya. Apalagi
dengan wajah yang cantik bak bidadari dengan jasmani yang sehat dan barang
mewah membuat hidupnya terlalu sempurna. Apalagi ketika dia harus dikelilingi
oleh sahabat yang seakan begitu peduli dan begitu menghormatinya. Namun semua
itu salah. Selama ini dia merasa rapuh menjalani kerasnya dunia ini. Peran
orang tua yang hanya sebatas materi juga kawannya yang mengharapkan sesuatu
membuatnya haus kasih sayang.
Itulah yang membuatnya memutuskan
pulang saja ke kota kecilnya dulu. Berharap mendapat kasih sayang dari sahabat
kecilnya kala itu juga peran orang tua meskipun hanya sebatas dari seorang
nenek yang dulunya begitu memanjakannya.
Pikirnya setidaknya semua itu sudah membuat lega gejolak batin yang
hinggap pada di dirinya.
“Fedi?” kita ke sungai yuk! Mencari
ikan.” Ajaknya dengan Fedi yang kala itu tengah sibuk membereskan potongan kayu
serpihan bekas pembuatan kursi.
“Nggak Ran. Aku sibuk.” Tolaknya
secara lembut.
“Alah alesan aja kamu.” Bantah
Ranti.
“Aku sedang bersihkan potongan kayu
ini. Nanti Pak Lurah marah.” Tolaknya kembali.
“Ih kamu. Pak Lurah tidak akan
marah.” Serunya kembali mengajak.
“Sungai sedang kering mana ada ikan
di sana.” Jelas Fedi menolaknya.
“Kamu jahat!” marah Ranti yang langsung
saja berlari.
“Hai Ranti seharusnya kamu jangan
marah! Aku berkata sejujurnya.” Bela Fedi kembali.
“Alah percuma.” Marah Ranti kembali.
“Kamu seharusnya jangan sembarangan
menganggap aku sebagai orang jahat. Tapi kamu yang seharusnya instropeksi! Ini
di desa tidak lagi di kota. Jaga sopan santun kamu juga!” Marah Fedi sambil
menasihati.
Rupanya Ranti belum terlalu mampu
beradaptasi dan membedakan mana suasana kota dan mana suasana desa. Kemarin ia
bertemu dengan sesepuh di kampung ini. Dia terlihat canggung dan bahkan
membalas permintaan sesepuh untuk bersalaman saja dia enggan. Entah tak ingin
melakukan atau ia tak tahu bagaimana etika saat bertemu orang. Hingga membuat
neneknya yang kala itu mengajaknya sampai tak enak hati bertemu dengan sesepuh
kampungnya lagi. Ia merasa malu mempunyai cucu yang adab dan sopan santun saja
tak paham.
Ia kini tak tahu harus bersikap manja dengan siapa. Denganku tak
mungkin karena semenjak sikap Fedi yang tak begitu simpati lagi dengannya
membuatnya sedikit risih dengan keberadaanku. Apalagi dengan Fedi yang
sepertinya sudah sedikit kecewa dengan sikap sahabat kecilnya ini. Fedi sangat
tak suka dengan seorang gadis dengan gelagat kasar seperti Ranti ini. Juga
sifat pemalasnya dan sering membantah perintah neneknya ini membuat perlakuan
neneknya jauh berbeda ketika saat ia pertama kali datang ke sini. Neneknya jadi
lebih sering ngomel dan sangat menunjukan rasa tak senangnya terhadap
keberadaan Ranti.
“Nduk tolong nasinya ditaruk di meja.” Perintah neneknya
terhadap Ranti.
“Nggak!” tolaknya.
“Ya udah kalau nggak mau. Tolong buatin simbah teh.” Perintahnya
kembali.
“Hih Simbah apaan sih? Aku ke desa cuma mau refreshing Mbah!”
kembali tolaknya.
“Kamu disuruh apa-apa nggak mau. Disuruh makan mau. Mbok yo
bantuin simbah. Kamu tuh anak perempuan harus tahu dapur. Kalau kamu nggak mau
bantuin simbah ya percuma kamu pulang ke desa. Seharusnya kamu juga belajar
biar tambah pinter.” Nasihat Simbah.
“Bantuin Simbah? Emang aku pembatu?” tanya Ranti sambil menghela
pergi.
Neneknya saat itu benar-benar sakit hati mendengar ucapan dari
cucunya. Dia lebih sering berdiam diri dan seakan tak peduli lagi dengan
keberadaan cucunya yang dari kota itu. Prinsipnya yang terlalu kental tentang
hakikat sorang wanita sangat berolak belakang dengan karakter Ranti yang
pemalas. Neneknya lebih sering bermuram durja dan perasaan Fedi yang lebih
condong terhadapku membuat Ranti sering termenung di ladang dekat pohon besar
itu. Kala ia pergi karena bosan mendengar nasihat dari neneknya dia pergi ke
ladang dekat pohon besar itu dan justru lebih sering menghabiskan waktu di
situ. Di sana dia mendapat teman baru yang sering disebutnya bernama Galang
saat aku tanyai.
“Kak Ranti, habis dari mana?” tanyaku terhadapnya.
“Mau tahu aja.” Jawabnya ketus.
“Aku harus tahu. Aku saudaramu. Lagi pula aku sangat khawatir
melihat kau jadi sering termenung di pohon besar itu.” Jelasku.
“Sudahlah. Di sana aku sudah mendapat teman baru. Dia bernama Galang.
Sante aja dia lebih tampan dan perhatian ketimbang Fedi. Dia mau saja mendengar
segala ceritaku. Kamu seharusnya bahagia dong aku sudah punya teman baru dan
lebih baik dari kalian dan sahabatku di kota. Bilang simbah perutku sudah
kenyang karena diberi makan tadi sama Galang.” Ucapnya.
Sejak saat itu aku sudah curiga dengan apa yang menimpanya.
Awalnya dia pergi pagi dan pulang larut malam namun keadaannya jadi lebih
sering mengkhawatirkan karena terkadang dia bisa sampai dua hari tak pulang ke
rumah. Sulit bagiku mencegah terlebih dia sepertinya sudah jatuh cinta dengan
pria penunggu pohon besar itu yang dia sebut bernama Galang. Aku sempat
berpikir kalau makanan yang ia makan dan ia sebut itu berasal dari Galang
mungkin saja cacing, ulat, dedaunan, tanah liat, atau serpihan kayu pohon.
Sudah berulang kali dia pergi ke sana hingga sudah satu minggu dan sering aku
tengok dia yang tengah asyik terlibat percakapan dengan angin atau bercakap
tanpa lawan bicara. Dia seperti orang gila dan terlalu berharap punya pacar
atau sahabat khayalan.
Dia seperti mendapatkan pelajaran baru di sana. Sepertinya
perasaan dan minat Ranti untuk bersosialisasi sudah kian tumbuh meskipun itu
berasal dari makhluk luar sana. Dia mejadi sedikit ramah dan meskipun terlihat
aneh karena terkadang menjadi sering tertawa sendiri. Bahkan dia bercakap dan
bercanda sendiri yang kala itu justru tak mempedulikan aku yang berada di sana.
Ketika larut malam kami hendak bermimpi, Ranti yang kala itu juga berbaring di
sebelahku justru tak henti-henti menceritakan tentang Galang yang sama sekali
aku tak tahu siapa dia. Dia terlalu bangga dengan sahabat barunya yang berasal
dari dunia astral. Bahkan yang membuatnya semakin aneh sering ia membawa
makanan dari rumah untuk ia bawa ke pohon besar itu yang katanya akan diberikan
ke Galang. Aku yang sering mengintip dia mencuri makanan dari rumah untuk
diberikan ke Galang cukup saja aku rahasiakan karena jika nenek tahu pasti dia
akan marah besar. Bahkan tak jarang aku lihat sisa makanan yang ia bawa di
pohon besar itu sudah di makan ayam tetangga.
Neneknya semakin khawatir dengannya.
Satu sampai dua minggu mungkin sudah biasa namun jika dibiarkan berlarut-larut
pasti membuatnya semakin tidak baik. Mungkin memang ada perubahan baik dari
Ranti namun tak menutup kemukinan jika makhluk goib yang membawa perubahan
terhadapnya justru akan membuatnya celaka. Aku, Nenek, dan Fedi segera bergerak
untuk mencari orang pintar yang ahli dalam hal demikian. Dengan harapan dapat
mengusir si Galang. Awalnya aku tak percaya dengan hal demikian namun melihat
perlakuan Ranti yang kian aneh memaksaku untuk percaya. Pagi buta aku dan nenek
secara diam-diam pergi ke pohon besar itu untuk melaksanakan ritual bersama
Fedi dan Pak Ustad yang ahli dalam hal demikian. Kami sengaja agar tak
diketahui Ranti.
Namun usaha kami telah diketahui
Ranti sebelumnya. Ketika kami dan warga di desa kami hendak pergi di pohon
besar itu Ranti sudah berada di pohon itu. Kami seakan tak percaya dan dia
lebih terlihat seperti tengah berdebat dengan angin.
“Pergi! Keselamatanmu terancam!”
seru Ranti.
Ternyata ilusinya sudah terlalu
dalam selama ini. Fedi yang langsung bertindak cepat begitu saja menyeret
tangan Ranti untuk pergi menjauh dari pohon itu. Meskipun sangat susah namun
terus saja Fedi berusaha membawanya pergi.
“Jangan bakar!” teriak Ranti dengan
histerisnya. Dia menangis dengan kencangnya dan terus melawan. Tenaganya yang
besar ditambah perasaan emosinya yang berkobar membuatnya terlepas dari
pegangan erat Fedi dan berlari mendekati kobaran api menyala. Hingga tangannya
sedikit terbakar karena masuk ke dalam panasnya api seperti hedak menolong
sahabatnya. Fedi dengan sigap kembali menangkapnya untuk membawa pergi ia dari
daerah situ hingga ia memilih jatuh pinsan.
Sejak itu dia berubah dan lebih
senang berbagi cerita dengan kami yang di sekelilingnya. Dia seakan mendapat
kepribadian baru dengan canda dan tawanya. Biarlah masa lalunya bersama Galang
ia kenang dan menjadi memori tersendiri. Menempel lukisan seorang laki-laki di
kamar kami yang ia beri nama Galang. Terimakasih kalian dunia lain yang sedikit
telah merubah sifat buruk sepupu perempuanku ini. Galang, kawan dari dunia lain
membawa dunia baru untuk Ranti yang kini hidupnya tidak lagi menjadi gadis penyepi.
TAMAT
Tag = #CerpenMisteri #CerpenRemaja #CerpenPersahabatan
#CerpenCinta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar