Selasa, 13 Oktober 2015

Cerpen Tentang Skripsi : Kenangan Perberat Langkah


Aku masih bingung harus berbuat apa-apa. Disaksikan berlembar-lembar kertas yang berserakan tak beraturan, aku masih termenung dalam kamar berukuran 3m x 3m. Ruangan ini benar-benar pengap dan jenuh aku memandangnya. Setelah hampir enam tahun aku bersemayam dalam kamar ini. Sampai baunya benar-benar khas minyak wangiku.

Aku benar-benar merasa sendiri dan tak ada satu pun yang memberi semangat kepadaku. Teman-temanku satu-persatu telah pergi dengan gelar mereka masing-masing. Sedangkan aku di sini masih mengemis waktu perpanjangan. Aku masih terlalu sulit mencari makna tugas akhir. Jelas iya, melupakan kenangan indah di kampus ini saja aku kesulitan.
Setelah dikecewakan dua tahun yang lalu oleh seseorang yang aku kira dia adalah tempat terakhirku berlabuh. Kita menjalin hubungan sejak kami masuk di kampus ini bersama. Sifatnya ketika itu yang lugu benar-benar menipuku hingga membuatku terperosok dalam jurang begitu dalam. Hingga menyulitkan aku untuk berdiri dan mengayuh untuk bangkit.
Ketika itu adalah musim di mana semua angkatan mulai dikejar waktu untuk segera menyelesaikan tugas akhir. Iya, tepatnya dua tahun yang lalu ketika kami sedang di semester delapan. Aku sengaja tidak langsung untuk menyelesaikan tugas akhirku. Aku ingin membantu calon suamiku terlebih dahulu agar tugas akhirnya lebih selesai duluan. Ini seakan bukan tugas akhir, tapi tugas kelompok yang berkedok tugas akhir. Bagiku tak apa-apa, toh dia laki-laki dan sudah sepantasnya dia harus segera lulus dan mendapatkan pekerjaan untuk bekal hidup kami berdua.
Tapi persepsiku salah. Yang aku kira pengorbananku untuk hidup kami berdua justru hanya ia nikmati seorang. Rencanaku hanya tinggal rencana. Ketika di hari wisudanya seharusnya aku yang berdiri di samping bersama kedua orang tuanya. Tetapi ternyata tidak. Hari itu adalah hari yang begitu mengerikan. Dia mengenalkan kepadaku seorang gadis yang ternyata baru satu minggu ia lamar. Betapa teririsnya hatiku saat itu hingga saat ini. Kenangan itu membuatku jatuh tak sanggup berdiri. Betapa bodohnya aku saat itu.
Tetapi ternyata pengalaman pahit itu tak secara sempurna aku telan. Aku justru semakin terpuruk dan berlama-lama tak segera mengerjakan skripsiku. Seharusnya ada dia yang ikut membantuku. Tetapi mana mungkin. Karena sekarang dia telah memiliki seorang anak yang cantik juga seorang istri. Bahkan undangan pernikahannya masih aku tempelkan di dinding kamarku. Aku di kota ini hanya numpang bermain meskipun siang hari aku bekerja untuk menghilangkan penat. Jangan tanya sampai mana skripsiku, memikirkan tema apa yang tepat saja aku belum.
“Kring...Kring...!” Suara handphone menandakan telpon masuk tiba-tiba terdengar. Lalu aku lihat di layar dan ternyata ibuku ingin berbicara kepadaku.
“Hallo, Assalamualaikum Bu!”
“Waalaikumsalam Nak.”
“Ibu apa kabar?”
“Sudah Nak, jangan berlama-lama. Kapan Kamu akan mencari pekerjaan? Ingat lhoh Nak kamu perempuan. Jangan lama-lama sekolahnya.”
“Iya Buk ini juga udah mau kelar.”
“Sudah sering kamu bicara seperti itu. Tapi nyatanya.”
“Tetapi Bu. Santai dulu. Sedang mengumpulkan mood.”
“Ingat Nak. Bapak sudah tua. Ibu juga nggak mau nasib kakakmu dulu juga menimpamu. Ayolah Nak. Semangat. Bapak dan Ibu udah seharusnya menikmati uang kami untuk masa tua kami. Tidak lagi ngurusin uang kuliah anak kami.”
Potongan percakapan dalam telepon benar-benar membuatku ingin meneteskan air mata. Selama ini aku memang anak bungsu dari kedua orang tuaku. Tak seharusnya aku membuatnya kuatir.
Skripsi bagaikan hidup dan mati mahasiswa tingkat akhir. Ibarat perlombaan lari ia seperti garis finish yang harus dilalui mahasiswa yang ingin mendapat gelar sarjana. Semakin lama ia ditunda, semakin saja ia menikam hati. Tetapi semakin cepat ia dikerjakan, semakin cepat masanya menyiksa batin. Sayangnya, cukup sulit menumbuhkan rasa semangat itu. Padahal orang tua menagih, tetangga bertanya, dan teman-teman mengajak, namun semuanya jelas bersumber dari pelaku. Pada saat itulah gejolak batin memuncak. Mana yang harus didahulukan, antara rasa malas atau rasa sayang keluarga.
Aku jadi teringat cerita kakakku yang dahulu menempuh semester akhir di jurusan akuntansi di universitas negeri yang sama denganku. Keinginannya tak begitu muluk-muluk, hanya cukup menjadi lulusan tercepat. Tak perlu menjadi lulusan terbaik karena IPK tak mungkin memadai. Untuk mewujudkan keinginannya itu, semangat api selesaikan tugas ini kian membara. Hidup menjadi anak kampus akan segera diselesaikan. Bimbingan dengan dosen tiap hari, berlama-lama menghadap layar laptop, serta bolak-balik ke lokasi untuk mencari data masih setia ia upayakan.
Tapi kenyataannya, keinginan sejak kecil menjadi seorang Pegawai Negeri Sipil muncul bersamaan. Kebiasaan kakakku yang memang sejak dulu mencoba lowongan CPNS kembali muncul seperti yang sudah-sudah. Pikirnya telah beralih haluan. Pikirnya, jika hanya lulusan SMA saja sudah bisa menjadi seorang PNS, mengapa harus berlama-lama menempuh pendidikan tinggi. Konsentrasi menjadi terpecah antara selesaikan tugas akhir atau persiapan tes CPNS. Meskipun sebenarnya fokus utama tetap pada lowongan CPNS dan membiarkan skripsinya menunggu hingga berbulan-bulan.
Sayangnya, kakakku dinyatakan gagal dari tes CPNS. Sedangkan nasib skripsinya juga terombang-ambing dan tak tahu ujung-pangkalnya. Ia tak tahu lagi harus memulai dari mana. Mengorbankan hal lain demi fokus terhadap prioritas utama juga dibenarkan. Tetapi jika keduanya sama-sama gagal, ini yang perlu disayangkan.
Akhirnya membiarkan dirinya sama sepertiku saat ini. Hidup tanpa tujuan di kota orang dengan biaya hidup mahal. Pamit kepada kedua orang tua ingin kuliah tetapi kenyataannya hanya numpang bermain. Rasa malas telah bersarang hingga memakan tahun.
Kala itu, uang semesteran masih menagih sedangkan kedua adiknya juga menempuh bangku kuliah di kota yang sama. Kakakku ini seperti buronan. Buronan orang tua yang menagih gelar serta dosen yang terus menagih karya pikirnya.
Pikiran yang bingung karena sudah tak tahu sampai dimana skripsinya terpaksa harus mengulangnya dari awal. Usia menjadi anak kampus yang sudah terlalu tua apalagi sudah menginjak di semester tiga belas. Keluarga yang terus bertanya ditambah kedua adiknya yang juga sudah ingin menyusul membuatnya tak ingin lagi berlama-lama. Kehidupan menjadi buronan tak mungkin lagi terus dijalani. Bukan keinginan lulusan tercepat atau ingin lagi melanjutkan pendidikan S2, melainkan hanya ingin terhindar dari ejekan keluarga, segera mendapat gelar, dan mendapatkan pekerjaan. Apalagi kakakku ini laki-laki.
Kini harus dibuat target matang-matang. Skripsi kebut sebulan dan membuatnya tidur cukup satu jam perhari. Kali ini sudah ada di pengawasan kedua orang tua. Dukungan dari keluarga yang terus berdoa, serta adik-adiknya yang selalu betah membuatkan secangkir kopi untuk sekadar menghilangkan rasa kantuk atau menambah inspirasi. Memang seperti terlihat memaksa tapi jika tidak dilakukan demikian tak mungkin  skripsinya segera selesai.
Tetapi alhamdulillah perjuangannya kurang tidur selama satu bulan menghasilkan. Bimbingan empat kali dan harus bolak-balik Jakarta-Yogyakarta telah membuatnya dinyatakan lulus. Kini kakakku telah bekerja di sebuah bank swasta dan sedang persiapan melanjutkan pendidikannya ke jenjang S2. Memang pada kenyataanya hidup harus terfokus pada satu hal dan menunda-nunda pekerjaan hanya akan membuat pikiran tak tenang. Karena sebenarnya semuanya akan selesai hanya karena niat, doa, serta perjuangan keras.
Mungkin ini yang memang harus aku jalani. Aku harus semangat dan tidak lagi ingin membuat orang tua khawatir. Aku tak ingin seperti kakakku dulu. Pada masanya kakakku yang berjuang aku pun tak tega melihat betapa cemasnya orang tua kala itu. Dan mungkin ini sama yang mereka rasakan. Aku bukan lagi anak kecil yang harus disuruh untuk berbuat kebaikan demi diri sendiri. Jika pun harus dihitung materi mungkin sudah banyak yang dikeluarkan keluargaku mengingat orang tuaku hanyalah pemilik toko kelontong.

Terkadang suatu hal memang bisa selesai hanya dengan waktu. Mereka akan selesai hanya dengan berputarnya waktu tanpa membutuhkan tindakan dari sang pelaku. Tetapi tidak dengan urusanku saat ini. Dia membutuhkan upayaku. Pengalaman yang pahit dan suram sudah tidak asing di telinga orang. Sudah pasti mereka merasakan hal yang demikian. Hanya tinggal bagaimana aku menyikapi segala permasalahan yang ada. Jangan sampai ada kata kenangan memperberat langkah. Pengalaman masa lalu, saat ini, dan yang akan datang ialah suatu moment. Yang sudah pasti akan berpusat bagaimana aku memaknainya.

Tidak ada komentar: