Minggu, 14 Juni 2015

Cerpen Persahabatan : Mawar Yang Layu

Mawar Yang Layu
Bumi masih geli menertawakanku yang menangis layaknya bayi yang ditinggal pergi ibunya mencuci baju. Semua yang ada di ruangan ini pun saling berbisik membicarakan aku, gadis 30 tahun yang menangis seperti orang lupa usia. Namun aku tak peduli karena peristiwa sepuluh tahun yang lalu masih ada di kepalaku. Ketika Rani, gadis tanpa kaki mati bunuh diri di depan mataku. Dia rela menusukkan sebuah pisau dapur ke dalam perutnya tanpa menghiraukan aku yang berdiri di sampingnya. Bodohnya aku, sahabat sejak kecilnya tak kuasa menahan pisau berdarah menancap di perutnya. Padahal seandainya aku memang orang yang cerdas dan tanggap mungkin kejadian itu tak mungkin terjadi. Tapi semuanya memang salahku. Sahabat macam apa aku?

Aku pernah mencelakakan sahabatku, Rina sehingga membuat kaki kanannya harus diamputasi. Aku izinkan dia naik mobil yang sudah aku ketahui bahwa remnya tidak berfungsi. Hanya karena aku iri dengannya gara-gara bakatnya bermaen basket yang bagus dan ibuku yang lebih sayang dengannya dibanding aku. Dia kecelakaan hebat, mobilnya menabrak warung samping jembatan. Jadi tidak heran jika Rina memilih mati dibanding hidup tanpa kaki. Apalagi jika cita-citanya untuk menjadi atlet basket kelas internasional harus putus di tengah jalan.
Aku tahu keinginannya untuk menjadi atlet basket kelas internasional itu sangat besar. Bahkan dia rela menjual salah satu ginjalnya jika dapat menjadikannya seorang atlet basket kelas internasional, tapi tidak untuk kaki.
Niatku saat itu tidak 100% ingin membuatnya celaka apalagi membuat kakinya hilang. Aku hanya ingin dia kebingungan karena tidak tahu bagaimana cara mengoperasikan rem mobil. Apalagi persahabatan kami sejak TK hingga umur 20 tahun ini telah mengajariku bahwa dia takut kecepatan dan tak mungkin berani mengendalikan mobil dengan cepat. Bahkan yang aku tahu jika dia diharuskan adu balap dengan kuda betina mungkin masih menang kuda betina. Yang aku ingin dia bingung cara mengendalikan rem sehingga membuatnya harus menyetir mobil seharian sampai bensinnya habis.
Namun nasi telah menjadi bubur dan kini aku hanya bisa gigit jari. Hidupku terusik akan kesalahan itu dan tidak mungkin aku mampu menghidupkannya kembali. Tangisku semakin deras ketika mengenang akan kebaikannya. Ketika dia rela masuk penjara 2 hari gara-gara mengaku menganiaya anak tetangga sebelah, padahal sudah jelas akulah pelakunya. Dia rela melakukan itu karena berkorban demi aku yang pada saat itu aku akan menghadapi ujian masuk  Sekolah Tinggi. Kakinya pernah kena paku gara-gara sepatunya aku pakai ketika aku lupa membawa sepatu waktu latihan basket.
Dia memang sahabat yang luar biasa. Orangtuanya telah tiada sejak balita. Dan ibukulah wanita yang merawatnya. Aku dan dirinya seperti saudara. Tidak jarang orang-orang menyebut kami seperti kembar. Mengingat wajah kita yang hampir mirip. Tapi yang kusesali dia rela memilih ikut dengan orangtuanya menghadap sang ilahi dibanding bermain basket denganku. Mungkin dia bosen bermain basket denganku karena kemampuanku yang biasa-biasa saja atau dia lebih memilih bermaen basket tingkat akherat dibandingkan hanya tingkat internasional seperti dalam cita-citanya.
Suara-suara aneh itu tiba-tiba muncul. Suara Rina merengek dan meronta meminta pertanggungjawabku. Dia ingin kakinya kembali dan akan memotong kaki kananku. Ada suatu keadaan yang memaksaku untuk tetap bertahan hidup dan tidak bunuh diri seperti Rina, yaitu agar aku tidak jadi hantu seperti Rina. Namun jika harus mengingat kebaikan-kebaikan yang Rina berikan kepadaku aku ingin menyusulnya ke surga. Aku memang gadis manja. Apa-apa Rina. Dia selalu ada di saat aku butuh dirinya.
Imaginasiku pun semakin larut, tiba-tiba terdengar suara laju mobil. Disusul suara teriakan penonton, meyuruhku memasukkan bal ke dalam ring. Suara ambulance pun tak kalah meramaikan di telingaku. Tiba-tiba seorang pria berpakaian putih seperti dokter muda datang dengan membawa gunting besar. Perasaan takutku memuncak seperti anak laki-laki mau disunat. Namun ibuku datang dan mengusir dokter itu. Ibuku  tidak terlihat asing dengan kerudung kusamnya yang setahu aku kerudung itu merupakan pemberian mantan suaminya 5 tahun yang lalu.
“Ayo! Tetap berjuang nak. Teruskan cita-cita ayahmu menjadi atlet basket internasional! Jadikan penghalang yang ada sebagai alat latihan menghadapi hidup. Jangan pernah menyerah. Jangan pula terlena dalam kesuksesan sesaat. Ingat masih ada langit di atas langit. Juga kau harus waspada terhadap orang di sampingmu. Terkadang istilah pagar makan tanaman tetap berlaku. Mereka memuji dan menyanjung yang terkadang kau malah tersesat dalam omongannya nak. Mentalmu kuat seperti bapakmu. Meskipun bapak sudah tiada tapi semangat, mental, dan impiannya menjadi atlet basket kelas internasional masih hidup kekal dalam hidupmu. Asal berusaha dan berdoa pasti bisa.” Kata ibu dengan mata berkaca-kaca. Singkat bicaranya, ibu hilang menembus dinding seperti arwah dalam sinetron.
Suara itu tiba-tiba hilang semua. Aku berada di dalam ruangan yang berdinding batang jeruji. Aku memang sudah tinggal di ruangan ini sekitar 10 tahun yang lalu. Seperi disekap meskipun setiap sore dan pagi aku diajak keluar jalan-jalan untuk menghirup udara segar pagi dan sore oleh seorang suster. Hingga aku mengintip di balik dinding jeruji besi. Seorang suster sedang asyik ngobrol dengan seorang wanita yang aku pikir dia adalah Rina, sahabatku. Tapi mana mungkin. Rina itu sudah mati. Lagipula mungkin ini halusinasiku belaka, karena banyak orang yang bilang aku ini gila. Padahal menurutku mereka sendiri yang gila.
“Maaf Bu Rina, mengapa Anda membawa setangkai mawar. Saya pikir mawar itu sudah layu. Apakah nggak mending diganti saja. Di depan rumah sakit ini banyak bunga mawar merah. Masih segar-segar dan indah lagi.” Rayu suster itu.
”Tidak, terimakasih. Saya sudah tidak berkunjung selama 10 tahun di kota ini. Saya juga sebelumnya belum pernah ke rumah sakit ini. Saya takut tersesat.” Tolak Rina.
“Biar nanti saya petikkan.” Bujuk suster kembali.
“Tidak ini gambaran seperti Mawar. Dia adalah gadis terluka. Impiannya harus putus di tengah jalan. Semua itu gara-gara saya.  Ketika dia menginginkan menjadi seorang atlet basket internasional, saya justru menghilangkan kaki kanannya yang  jelas-jelas kaki kanan bagi seorang atlet basket adalah syarat. Orangtuanya selalu mendorong dia menjadi atlet basket kelas internasional. Dia pun akan berjuang demi menggapai cita-citanya. Tidak hanya untuknya, namun juga orangtuanya. Kecelakaan mobil itu karena kejailan saya. Ketika dia hendak pergi latihan basket menumpangi mobilnya saya tidak bilang ke dia bahwa remnya blong. Saya pikir itu tidak berbahaya untuknya. Lagipula setahu saya dia itu tidak berani naik dengan laju kecepatan tinggi. Mobilnya menghantam warung pinggir jalan. Kaki kanannya harus diamputasi karena sudah patah tulang-tulang kaki kanannya dan hanya akan membuatnya sakit seumur hidup. Dia koma 3 bulan. Seluruh keluarga berfikir dia akan mati. Tapi ternyata Tuhan berkehendak lain. Dia masih diberi kesempatan meskipun harus gila seperti sekarang ini. Sungguh cidera yang begitu hebat bagi seorang atlet basket hingga mustahil baginya untuk bermain.” Kata Rina.
“Mengapa Anda sejahat itu? Orang yang baru saya kenal pun jika saya mengetahuinya akan ada bahaya menghadangnya entah sekecil apa pun pasti akan saya ingatkan, apalagi orang yang sudah saya kenal. Memang apa hubungan Anda dengan Bu Mawar?” Tanya suster penasaran.
“Jahatnya saya. Saya adalah sahabat sekaligus saudara untuknya. Ketika kecil kedua orangtua saya pergi untuk selama-lamanya. Kemudian saya dirawat ibunya Mawar bersama Mawar. Hobi saya dengannya yang sama dalam bermain basket membuat kita semakin akrab. Dia sangat baik dengan saya. Sering kali dia berkorban untuk saya. Dia mau mengalah demi saya. Begitu pula ibunya yang tidak membedakan perlakuannya terhadap saya dan anak kandungnya. Tapi saya malah menghancurkannya. Karena sikap anak kecil saya, saya justru merasa iri dengan Mawar hanya karena dia punya ibu kandung dan keahliannya bermain basket yang lebih bagus dibanding saya. Tapi sungguh saya tidak bermaksud membuat dia celaka besar. Saya hanya ingin menjaili dia. Orangtua Mawar menginginkan Mawar menjadi atlet basket kelas internasional namun Mawar tidak sanggup memenuhinya. Setelah Mawar melihat kondisi kakinya yang tidak lengkap, Mawar kalap hingga dia menderita penyakit ini. Dia sangat sedih dan terus berfikir siang dan malam. Dia lupa istighfar. Memang yang saya tahu ada saudaranya yang juga menderita gangguan jiwa. Jadi saya pikir penyakit yang diderita Mawar bukan hanya karena tekanan mental yang begitu berat namun juga ada faktor keturunan. Dan sejak saat itu saya merasa menjadi orang terjahat di dunia. Lalu saya putuskan pergi dari kehidupan keluarga ini. Saya pergi ke Amerika untuk bekerja sebagai pelayan rumah makan. Saya rela kerja apapun untuk melupakan masa lalu saya. Baru saat ini saya kembali.” Jawab Rina.
“Tapi Anda sudah menjadi pembunuh. Selain membunuh impian Mawar dan keluarganya, Anda juga telah membunuh Ibu Siska, ibunya Mawar. Anda tahu sejak saat itu Ibu Siska menjadi sering sakit-sakitan. Ia tidak sanggup melihat anaknya mempunyai gangguan mental hingga ajal menjemputnya.” Tegas suster.
“Itu saya sudah tahu tapi saya tidak sanggup kembali ke keluarga ini. Saya malu menghadiri pemakamannya. Tahukah Anda kejahatan saya telah dibalas sang Maha Kuasa. Saya sudah tidak punya penglihatan akibat kecelakaan mobil yang pernah saya alami juga. Jadi lengkaplah persahabatan kami, eh salah penghianatan saya. Dua orang cacat yang semua ini adalah akibat kesalahan saya. Mawar hanya diambil satu kakinya, berbeda dengan saya yang harus kehilangan dua penglihatan sekaligus. Tapi beruntungnya saya, saya masih punya suami dan satu anak laki-laki. Tidak seperti Mawar yang harus lupa ingatan seperti sekarang ini. Mungkin ini menjadi kisahnya yang harus lupa akan semua tentangnya dibanding harus didera kesedihan yang terlalu dan berkepanjangan. Itulah Mawar, Mawar yang layu karena harus melupakan impiannya untuk selama-lamanya dan meneruskan jalan hidupnya sebagai orang linglung. Lalu bagaimana kondisi Mawar sekarang? Bolehkah saya mengunjungi walaupun saya ragu apakah dia mampu memaafkan saya atau tidak? Saya memang tidak tahu diri. Walaupun sebagai sahabat, mana mungkin dia mampu memaafkan kesalahan saya yang begitu besar.”
“Pantas saja dia terkadang berakting seakan-akan menjadi atlet basket yang dinobatkan sebagai juara pertama. Oiya kondisinya ada perkembangan belakangan ini. Dia sering menyebut-nyebut nama Anda dan ibunya. Dia juga sering mengaku sebagai orang waras satu-satunya. Tapi maaf Anda tidak bisa mengunjungi. Ditakutkan melihat Anda hanya akan menambah beban mentalnya.”
Sungguh terdengar jelas obrolan mereka namun punya makna yang membingungkan. Oooh. Aku tidak tahu siapa yang bersalah di sini. Mengapa orang-orang ini mengatakan seakan-akan aku orang gila. Lalu mengapa justru Rinalah pelaku antagonisnya. Bukankah aku yang membuatnya celaka. Tapi mengapa kaki Rina masih lengkap. Justru kakiku yang tinggal kaki kiri. Entahlah, mungkin ini adalah jalan hidupku. Menjadi orang yang tinggal di dunia ini sebagai seseorang yang menggelar orang waras satu-satunya. Meski ada rasa canggung karena hidup dengan banyak orang yang mayoritas orang gila. Tapi tak apa, Tuhan saja tidak merasa canggung menjadi sutradara yang mengatur segala kehidupan di dunia ini. Tuhan pula yang mengetahui sebelum dan setelah yang terjadi. Intinya sudah kumaafkan orang yang berbuat salah terhadapku. Karena aku hanya ingin bersikap arif saja menjalani kehidupan sebagai orang yang menggelar predikat orang waras satu-satunya.
Selesai
Sekiaan postingan ini. Tunggu postingan berikutnya ya. Semoga bermanfaat dan maaf jika ada salah kata. Mampir juga bagi kalian yang ingin mendapatkan uang dari internet dengan klik di sini.


Tidak ada komentar: