Minggu, 22 September 2019

Review Kasus Toshiba 2015



Ini yang patut disesalkan. Selama ini etika bangsa Jepang  seperti budaya kedisiplinan, budaya kerja keras, dan budaya kejujuran sangat diagungkan. Tapi, hal ini justru tidak dilakukan oleh para petinggi  salah satu perusahaan besar di Jepang sekelas Toshiba karena selama enam tahun ini telah membesarkan laba senilai 151,8 milliar yen atau senilai US$ 1,2 milliar. Apalagi kasus penyimpangan ini dilakukan atas nama lembaga dan perusahan yang mewakili Jepang. Ini artinya adanya mal praktek akuntansi untuk memalsukan laporan keuangan terhitung sejak tahun 2008 sampai dengan 2014. Jika pun harus dibenarkan atau menampilkan laporan keuangan seharusnya tentunya juga akan mempengaruhi laporan keuangan periode 2015.

Seperti pepatah nila setitik rusak sebelanga. Selama ini kepercayaan masyarakat yang begitu besar terhadap Toshiba telah dirusak karena ketidakjujuran praktek akuntansi yang dilakukan Toshiba. Selama ini Toshiba menduduki peringkat sembilan dari 120 perusahaan publik di Jepang dalam Good Governance Practice.  Toshiba juga telah berkiprah dalam  industry teknologi di seluruh dunia sejak tahun 1875, itu artinya selama 140 tahun Toshiba telah mampu mencuri hati masyarkat di seluruh dunia dengan produk yang berkualitas, brand image yang tangguh, dan layanan pelanggan yang excellent. Reputasi yang bagus itu kini hancur berantakan hanya karena pressure yang sangat tinggi untuk memenuhi target performance unit.
Sebenarnya di Jepang telah ada kasus yang serupa yaitu Olympus Corp, sebuah perusahaan produksi kamera di Jepang. Olympus Corp berhasil menutupi kerugian sebesar US$ 1,7 milliar. Namun kasusnya tidak begitu mencuat seperti kasus Toshiba. Hal ini dumungkinkan karena prinsip orang Jepang yang menganggap bahwa masalah sistematis dengan prosedur hukum perdata dan hukum dagang dikritik orang Jepang sebagai sesuatu yang tidak efisien dalam artian waktu. Maka hal inilah yang menjadikan kasus skandal di Olympus tidak begitu menarik mata wartawan.
Belajar dari kasus Olympus, maka Pemerintahan Perdana Menteri Abe ingin  mendorong transparansi yang lebih besar di perusahaan-perusahaan Jepang untuk menarik lebih banyak investasi asing. Hal ini untuk mendapatkan kembali kepercayaan investor global dengan pedoman tata kelola perusahaan yang lebih baik sehingga dapat menarik cash in flow. Apalagi di tengah pertumbuhan ekonomi yang kian melemah yang kini sedang dijalani Negara Jepang. Atas saran pemerintah tersebut, para dewan komisaris (Chairman) Toshiba menyewa panel independen yang terdiri dari para akuntan dan pengacara untuk menyelidiki masalah transparansi di Perusahaannya. Hal ini sudah dibenarkan, karena terkadang kepercayaan terhadap pengawasan yang biasa saja (internal audit atau komite audit) tidak selalu harus diterapkan. Perlu adanya pengawasan lebih seperti pengadaan panel independen.
Padahal banyak sekali regulasi yang dikeluarkan OJK-nya Jepang untuk mencegah terjadinya praktik kecurangan akuntansi pada perusahaan terdaftar di bursa. Namun masih saja, OJK-nya Jepang, internal audit, bahkan sampai audit independen belum mampu menemukan keganjalan dalam laporan keuangan selama enam tahun ini. Cara baru pengawasan agar hal ini tidak ini terulang lagi adalah pengadaan upaya semacam inspeksi dari komisaris perusahaan atau dari regulator (jika perusahaan terbuka). Inpeksi atau pemeriksaan khusus bisa dilakukan kapan saja dengan waktu yang tidak tentu. Pemeriksaan khusus (inpeksi) ini harus dituangkan dalam peraturan resmi (peraturan OJK atau peraturan pemerintah) agar semua perusahaan melakukannya secara bersama, termasuk didalamnya siapa yang menanggung biaya inspeksi ini. Dengan penerapan pengawasan berlapis ini tentunya akan tercipta laporan keuangan yang lebih accountable, good corporate governance, dan tentunya kepercayaan para stake holder (termasuk didalamnya investor) akan semakin tinggi.
Lagi, yang menjadi pemicunya kasus moral hazard ini adalah karena teori agensi yang berlaku namun tidak dilakukan sejujurnya. Adanya perbedaan kepentingan antara pihak principle (superrior) dengan agent (inverrior). Para investor menginginkan agar uangnya yang ditanamkan di Toshiba tidak percuma dan menghasilkan profit untuk dirinya sendiri. Juga para manager serta karyawan yang menginginkan agar kinerjanya nampak bagus, menaikkan laba perusahaan, dan tentunya memberikan keuntungan untuk dirinya sendiri seperti bonus untuk karyawan dengan kinerja tinggi yang selama ini berlaku di Toshiba. Sistem kompensasi karyawan yang berlaku di Toshiba selama ini dihitung dari kinerja keuangan. Jadi para CEO mengelabuhi para komisaris dengan seolah-olah memberikan laba yang besar sehingga citranya akan baik di mata publik dan mendapat kepercayaan yang tinggi.
Untuk memberikan kepuasan kepada para investor, CEO sengaja memasang pencapaian target yang tinggi. CEO seolah menekan karyawan untuk mencapai target yang tinggi tanpa adanya solusi, yaitu hanya menekan karyawan. Para bawahan hanya menurut apa yang dimau atasan tanpa bisa mengkoreksi dan kesalahan manajemen mengambil keputusan. Seharusnya CEO harus lebih bijak dan realistis dalam mengambil keputusan, apalagi memasang target yang sangat tinggi dan tidak mungkin dicapai melihat kondisi bisnis dan perusahaan.
Dalam akuntansi manajemen, ada yang disebut akuntansi pertanggungjawaban, yaitu bagaimana kepala unit bisnis melaporkan pencapaian kinerjanya atas tanggung jawab yang diberikan manajemen puncak perusahaan kepadanya. Dalam dunia akuntansi pertanggungjawaban, ada empat perspektif kinerja dalam balance score card yaitu keuangan, pelanggan, proses bisnis internal, dan pertumbuhan dan pembelajaran. Perspektif kinerja yang berlaku di Toshiba hanyalah tumpuan penilaian kinerja yang semata-mata hanya pada sisi kinerja keuangan.
Di tengah pressure yang tengah berlangsung juga tergiur iming-iming bonus yang diberikan, akhirnya muncullah ide-ide kreatif dari karyawannya untuk mencapai target yang ditetapkan. Selama ini Toshiba hanya menilai kinerja perusahaan hanya dari sisi keuangan, sehingga membuat para karyawan mengabaikan peningkatan kreatifitas riset pengembangan atau pemasaran. Karyawan Toshiba tidak lagi menginginkan kualitas produk Toshiba yang semakin meningkat sehingga menarik konsumen yang banyak, jika pada akhirnya kinerja perusahaan dapat dinilai dari segi keuangannya saja. Untuk memberikan kesan kinerja keuangan perusahaan yang bagus bisa terlihat dari laporan keuangannya. Untuk itu diperlukan manipulasi akuntansi yang cerdas tapi curang untuk memberi kesan bahwa seolah-olah perusahaan memiliki kinerja yang bagus. Dibuatlah laporan keuangan dengan profit tinggi padahal tidak mencerminkan keadaan yang sebenarnya.
Untuk mengelabuhi laporan keuangan tersebut, Toshiba melakukan berbagai cara yang pada intinya menyimpang dari prinsip akuntansi. Toshiba mengakui pendapatan lebih awal atau menunda pengakuan biaya pada periode tertentu namun dengan metode yang menurut investigator tidak sesuai prinsip akuntansi. Toshiba memaksa supplier menunda penerbitan tagihan meski pekerjaan sudah selesai. Sehingga seolah-olah biaya yang yang seharusnya ada tidak ada bukti transaksinya dan tidak bisa dijadikan sebagai pengurang dari pendapatan karena belum tercatat sebagai hutang atau pun beban. Selain itu penyimpangan terhadap prinsip akuntansi yang dilakukan adalah bahwa Toshiba salah menggunakan percentage-of-completion untuk pengakuan pendapatan proyek, yaitu menerapkan sistem cash-based ketika pengakuan provisi yang seharusnya sistem yang benar dengan metode akrual. Adanya kemungkinan pula bahwa keuangan Toshiba terlalu dibebani investasi bisnis nuklir Westinghouse Toshiba sebesar US$ 5,4 miliar yang diakuisisi pada tahun 2006.
Cash-based adalah metode perhitungan yang didasarkan atas penghasilan yang diterima dan biaya yang dibayar secara tunai. Sedangkan metode akrual adalah metode perhitungan pendapatan dan biaya yang didasarkan saat terjadinya transaksi. Dengan mengubah pengakuan provisi dari akrual menjadi cash-based seolah tidak mengakui adanya provisi yang dapat mengurangi pendapatan proyek. Selama beban tersebut belum dibayar tunai maka tidak boleh diakui sebagai beban meskipun sebenarnya transaksi itu telah terjadi. Jika beban memang belum dibayar sudah sepantasnya dianggap sebagai hutang beban sehingga laba dapat terkurangi.
Motiv dibalik pengadaan laba sebesar US$ 1,2 milliar, selain guna mendapatkan bonus atas kinerja yang diperoleh para staf pihak management juga ditujukan untuk menarik lebih banyak investor atau penanam saham untuk semakin banyak menanamkan modalnya. Investor/calon investor akan senang menanamkan uangnya pada perusahaan yang memiliki kinerja keuangan yang baik. Mengingat besar deviden yang diterimanya sangat ditentukan dari kinerja perusahaan. Biasanya mereka akan melihat pada laporan keuangan, terutama melihat besar profit perusahaan pada laporan laba/rugi komersiil. Laba yang dihasilkan oleh perusahaan Toshiba sangat menarik para investor untuk menanamkan sahamnya, apalagi di tengah perusahaan-perusahaan elektronik lain di Jepang tengah terguncang. Permintaan akan saham Toshiba meningkat sehingga membuat harga sahamnya pun juga meningkat drastis.
Sangat disayangkan jika skandal keuangan Toshiba harus diketahui ketika Perdana Menteri Jepang, Shinzo Abe yang justru sedang menginginkan perubahan tata kelola perusahaan yang ditujukan untuk menyelamatkan ekonomi Jepang. Cara yang ditempuh Perdana Menteri Jepang tersebut adalah dengan berusaha meningkatkan transparansi perusahaan-perusahaan Jepang, terutama perusahaan besar seperti perusahaan sekelas Toshiba. Hal ini dimaksudkan untuk meningkatkan kepercayaan global, khususnya investor asing untuk menanmkan sahamnya sehingga ekonomi Jepang dapat lebih semakin kondusif.
Namun hal ini justru terjadinya sebaliknya. Dengan diketahuinya skandal keuangan Toshiba, citra Jepang justru semakin melemah mengingat Toshiba sebagai salah satu perusahaan raksasa di Jepang dan dapat diangaap sebagai wakil dari Jepang. Maksud ingin memperbaiki ekonomi Jepang justru terjadi sebaliknya. Kasus Toshiba menjadi pukulan berat dalam upaya perubahan ini.
Jepang, khususnya ditujukan kepada Toshiba harus kehilangan kepercayaan publik dengan berlarinya para investor asing. Masyarakat global semakin tidak percaya dengan kondisi ekonomi di Jepang sehingga sangat mengawatirkan jika uang mereka ditanam di Jepang, khususnya untuk perusahaan Toshiba. Terjadilan cash out flow. Dengan demikian, saham Toshiba tidak lagi diancar kalangan investor dan harganya turun 20%.
Untuk perbaiki tata kelola ekonomi di Jepang, banyak investor dan analis asing meminta untuk langkah-langkah tata kelola perusahaan yang lebih baik pada Jepang. Untungnya budaya kejujuran Jepang di Toshiba masih sedikit berlaku. Tidak lama semenjak kasus itu mencuat, banyak petinggi di Jepang mengundurkan diri untuk mempertanggungjawabkan apa yang mereka lakukan. Seperti CEO dan presiden Toshiba, Hisao Tanaka, dan eksekutif tinggi lainnya termasuk mantan CEO Atsutoshi Nishida dan Norio Sasaki, mengundurkan diri dari perusahaan. Saat ini Masashi Muromachi mengambil alih sementara kursi presiden perusahaan ini. Untuk perbaiki kepercayaan global juga, kemungkinan Jepang akan mendenda Toshiba senilai 300-400 miliar Yen yang besifat belum final. Laporan keuangan periode April 2008 sampai Maret 2014 yang sempat tertunda juga akan dipublikasikan untuk menujukan laba Toshiba yang sebenarnya.

Tidak ada komentar: