Senin, 23 April 2018

The Fault of My Life (23 April 2018)

Hari ini hari yang sangat buruk. Yang mana keburukan itu tidak berasal dari atsmofir ataupun nasib tapi karena datang dari akunya sendiri. Aku tahu tidak ada keburukan yang lebih kecuali dari diri sendiri. Dan musuh terbesar dalam hidup adalah diri kita sendiri.
Ceritanya, hari ini aku ada panggilan wawancara di luar kota. Karena aku belum tahu alamat yang pasti, takut nyasar, takut telat, akhirnya aku memutuskan untuk naik kereta dan dilanjutkan untuk naik ojek online. Pagi buta aku niat mandi agar tidak ketinggalan kereta karena kereta menuju kota tersebut berangkat pukul 05.00 pagi sebab itulah aku bangun pukul 03.00. Iya sengaja lebih awal dua jam karena biasanya kalau dandan aku suka lama dan biar ada jeda lama sebelum aku berangkat. Semua keluargaku, bapak, ibu, dan adik ikut bangun pagi agar aku tidak merasa berjuang sendiri. Apalagi ibuku, dia rela bangun pukul 02.00 sengaja untuk membuat makanan sebagai bekal anaknya wawancara di luar kota.
Sebenarnya dalam hati sudah tidak karuan apalagi sebenarnya aku tidak begitu suka kerja di luar kota tapi tahu sendiri sekarang mencari pekerjaan susah dan terpaksa harus keluar kota. Tiba-tiba adikku bilang kalau khusus hari ini semua ojek online sedang off karena ada demo dan hal ini memungkinkan aku akan kesulitan untuk mendapatkan transportasi di sana. Akhirnya niatku untuk pergi hilang seketika karena malas, takut, dan bisa saja melakukan sesuatu yang percuma. Raut wajah ibuku yang begitu kecewa mendengarku berkata “tidak jadi” membuatku agar tetap melanjutkan. Akhirnya adikku berniat mengantarku menggunakan sepeda motor miliknya.
Waw jarak yang lumayan jauh untuk hanya sekedar wawancara pekerjaan yang kita tidak tahu akan diterima atau tidak. Akhirnya ayahku masih tetap menyokongku agar tetap berangkat karena anggap saja jalan-jalan katanya.
Fix kita berangkat pukul 06.00 pagi. Di tengah perjalanan, entah setan apa yang merasuki tubuhku. Tiba-tiba enggan bagiku melanjutkan perjalanan ini. Saat itu kebetulan yang di depan ada adikku. Kita naik motor. Ketika moodku hilang untuk melanjutkan wawancara, aku minta kendali agar aku saja yang di depan. Adikku menolaknya. Baginya aku yang punya hajatan jadi nggak bagus kalau aku lelah duluan. Namun, masih saja aku paksa agar aku saja yang di depan. Akhirnya dia mengalah dan membiarkanku yang di depan.
Sangat pelan aku mengendarai motorku. Hanya 40 km/jam. Sebenarnya sangat mencemaskan akan tiba di tujuan tepat waktu atau tidak. Tapi itu memang niatku. Aku ingin terlambat agar aku tidak diterima di tempat kerja tersebut. Sampai adikku kesal sendiri dan bergumam naik motor bagaikan bekicot. Pikirku hanya biarin. Hingga perjalanan jarak 5 km motor masih kukendarahi, aku melihat sebuah masjid di pinggir jalan. Tanpa ragu aku justru belok ke kiri. Dan dengan kaget adikku menyentakku. Aku tak tahu ini keputusan bodoh atau bagaimana. Tapi sudahlah. Lupakan wawancara itu. Aku masih malas bekerja. Aku masih trauma karena baru 4 bulan yang lalu aku resign dari tempat kerjaku. Apalagi aku masih kesulitan harus terpisah jauh dari keluarga.
Dari situ adikku menghargai keputusanku. Dia tahu bagaimana perasaanku. Tapi justru aku yang tidak menghargai perjuangannya mengantarku. Perjuangan kedua orang tuaku menguliahkan aku. Dan mematikan harapan orang tuaku. Di masjid itu, ketika adikku sedang sholat dhuha, aku menangis teringat pengorbanan kedua orang tuaku. Tapi apalah daya. Moodku sudah hilang tak karuan.
Kami sepakat agar tidak percuma sampai di luar kota, kami berdua justru berkunjung di tempat wisata di kota tersebut. Di sana aku hanya termenung. Menyesali, mengapa aku bisa menjadi anak sepecundang ini. Tidak ada jiwa pemimpin atau bisa dibilang tidak tahu diri. Meskipun bunyi telepon terus saja berbunyi dari ayahku. Hingga kujawab bahwa wawancara telah selesai. Fix, aku bohong.
Kesalahan besar yang aku buat secara sengaja. Satu, aku membuang kesempatan yang ada. Kesempatan tidak datang dua kali. Besok lagi tidak boleh diulangi. Kedua, aku tidak sayang dengan keluargaku, adikku dan kedua orang tuaku. Meskipun aku tidak tahu rasa sayang itu yang seperti apa. Tapi aku telah menyepelekan pengorbanan mereka. Tidak boleh diulangi. Kesalahan ketiga, aku telah berbohong dengan orang tuaku. Yang kutahu orang tauku tidak pernah mengajariku untuk berbohong tapi mengapa aku bisa menjadi pembohong seperti ini. Aku tidak tahu, nyatanya kehidupan dewasa bisa merubah karakter seseorang.
Maafin aku. Aku tahu kesalahan jika dilakukan itu terasa nikmat dan makanya akan besar kemungkinan dilakukan lagi. Ini yang terakhir. Tidak boleh aku berbuat semacam ini. Jangan diulangi lagi. Bismillah. Jadi anak baik. Yang bisa membanggakan kedua orang tua. Mengangkat 

Tidak ada komentar: